Mongabay.co.id

Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara

 

Sektor kelautan dan perikanan masih menyimpan pekerjaan rumah yang belum juga terselesaikan sampai sekarang. Yaitu perlindungan para pekerja perikanan yang ada di dalam atau luar negeri, agar tidak ada lagi perlakuan diskriminasi di masa mendatang.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan perlakuan diskriminasi masih sering diterima para pekerja perikanan yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) di dalam dan luar negeri. Kondisi itu memaksa para AKP yang sedang bekerja harus bertahan dengan caranya masing-masing.

“Kurangi diskriminasi awak kapal perikanan,” ungkapnya, pekan lalu di Jakarta.

Menurut dia, agar diskriminasi dalam bentuk apapun bisa ditiadakan, diperlukan instrumen dan aturan ketenagakerjaan yang akan berfungsi untuk memenuhi aspek keadilan bagi AKP. Bentuk diskriminasi yang diterima para AKP selama ini terkait dengan sistem pengupahan yang ada di bawah regulasi upah minimum provinsi (UMP).

Kemudian, diskriminasi seperti kelebihan jam kerja, dan perjanjian kerja laut (PKL) yang hingga saat ini masih belum berlaku secara efektif bagi mereka. Bentuk diskriminasi tersebut, harus segera diperbaiki dengan melakukan integrasi bersama sistem ketenagakerjaan pada sub sektor perikanan tangkap.

“Itu akan memberi dampak kesejahteraan bagi AKP,” tuturnya.

baca : Perlindungan ABK Indonesia di Luar Negeri Masih Lemah

 

Buruh nelayan di kapal purse seine termasuk para perempuan dan anak-anak di perairan Alok Maumere kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Suhufan menjelaskan pengaturan pengupahan bagi AKP wajib untuk diperbaiki, karena saat ini sistem pengupahan diterapkan dengan mengadopsi sistem bagi hasil untuk mayoritas AKP. Sedangkan, untuk AKP yang menerapkan sistem gaji itu lebih banyak diterapkan dengan mengadopsi sistem UMP yang berlaku untuk setiap provinsi di Indonesia.

Padahal, sistem UMP ataupun bagi hasil dinilai tidak relevan untuk diterapkan pada sistem pengupahan bagi AKP. Karena resiko pekerjaan AKP lebih besar besar dibandingkan resiko pekerja yang ada di daratan.

“Mekanisme pengupahan dan jam kerja di laut yang selalu berlebihan dan tanpa kompensasi waktu istrahat yang cukup,” ucapnya.

Salah satu provinsi dengan AKP terbanyak adalah Jawa Tengah, yang banyak bekerja baik di kapal dalam dan di luar negeri. Fakta tersebut membuat Jateng harus mendapat perhatian lebih serius dari Pemerintah.

baca juga : Ini Usaha Pemenuhan Hak Dasar Tenaga Kerja Perikanan yang Terabaikan Sejak Lama

 

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Penipuan

Bagi Suhufan, kehadiran Pemerintah Indonesia diperlukan karena bisa mengatur tahapan hulu ke hilir yang harus dilalui oleh seorang awak kapal kapal ikan yang akan dan sudah bekerja. Tahapan tersebut, dimulai dari proses rekrutmen pekerja, penempatan lokasi pekerjaan, pengawasan di lokasi pekerjaan, dan setelah proses bekerja berlangsung.

“Dalam ketiga tahap tersebut, rawan terjadi praktik kerja paksa atau perdagangan orang yang menimpa dan merugikan awak kapal ikan,” jelasnya.

Beberapa praktik penipuan yang sering dialami oleh AKP adalah gaji yang tidak sesuai, penipuan kontrak kerja, kekerasan fisik dan mental. Bentuk penipuan tersebut, bisa membuat AKP mengalami trauma secara fisik dan psikis.

Secara terpisah, Project Coordinator SAFE Seas Nono Sumarsono menyatakan Pemerintah Indonesia semakin paham bahwa resiko yang ditanggung oleh AKP sangatlah besar. Untuk itu, Pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan pada kapal perikanan.

“Pada kegiatan bisnis perikanan tangkap yang dilakukan oleh perusahaan, peran dan posisi tiga pihak harus setara dan sejajar yaitu pemerintah, perusahaan dan pekerja. Sehingga masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan jalan dialog dan mediasi,” ungkapnya.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Pemerintah Indonesia memang berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Untuk itu, Negara akan terus memperbarui standar keamanan awak kapal perikanan untuk lebih baik lagi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).

Luhut menjelaskan, lahirnya Perpres tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Perlindungan itu dimulai dari proses persiapan awak kapal untuk memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.

perlu dibaca : Indonesia Butuh Peta Jalan Perlindungan ABK di Luar Negeri

 

Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Ratifikasi

Standar tersebut, mencakup standar nasional dan internasional yang dibutuhkan para AKP. Sehingga semua AKP bisa mendapatkan posisi dan pekerjaannya dengan benar, baik, dan tidak ada perlakuan tidak benar yang akan diterima oleh mereka saat sedang bekerja di atas kapal.

“Agar awak kapal bisa bekerja dengan baik, maka perlu juga penerapan 3D, yakni dirty, dangerous dan difficult. Selain itu juga akan diberikan pelatihan, ada juga di sini, ada di mana-mana dan macam-macam ada berapa puluh tempat itu,” ungkapnya.

Selain diberikan pelatihan, Luhut memastikan bahwa Pemerintah Indonesia juga tengah berusaha memperbaiki regulasi untuk mewujudkan standar keamanan yang tinggi bagi para AKP di atas kapal perikanan. Saat ini, sudah ada dua pilar yang selesai dan disahkan, yaitu Port State Measures Agreement to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing; dan Konvensi Standard on Training, Sertification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F).

Sementara, dua pilar lainnya saat ini masih sedang diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Konvensi Cape Town Agreement on Safety of Fishing Vessel; dan Konvensi ILO Convention No. 188 on Work in Fishing. Kedua pilar tersebut, saat ini terus dikebut pembahasannya dan diharapkan paling lambat pada akhir 2020 sudah bisa disahkan dan diberlakukan.

“Saya minta lebih cepat, kalau bisa tengah tahun depan (selesai),” tegas dia.

baca juga : Cara Identifikasi Pelanggaran HAM di Atas Kapal Perikanan

 

4 dari 14 nelayan yang berhasil dipulangkan oleh KKP bersama Kementerian Luar Negeri yang ditangkap pemerintah Australia. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, pekerjaan di atas kapal penangkap ikan merupakan jenis pekerjaan dengan resiko tinggi. Oleh itu, Negara wajib hadir untuk memberikan pelindungan terhadap para pekerja berkewarganegaraan Indonesia di sana.

Menurut dia, Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) memperkirakan setiap tahun ada 24 ribu kapal perikanan di seluruh dunia yang mengalami kecelakaan fatal. Musibah tersebut terjadi, karena faktor kesalahan manusia, keterampilan dan keahlian AKP yang rendah, serta karena faktor lain seperti kerusakan kapal.

Yudha menambahkan, setiap tahun kasus yang dialami oleh AKP juga diketahui terus mengalami peningkatan. Itu bisa dilihat dari data yang dirilis Kementerian Luar Negeri RI, di mana pada 2015 ada 495 kasus dan meningkat pada 2016 menjadi 554 kasus, dan meningkat lagi menjadi 927 kasus pada 31 Oktober 2018.

“Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah Indonesia mekakukan percepatan ratifikasi konvensi STCW-F dan kemudian melahirkan Perpres 18 Tahun 2019 yang disahkan awal 2019,” jelas dia.

Hingga sekarang, tercatat sudah 28 negara yang menandatangani konvensi tersebut melalui ratifikasi, aksesi, approval, ataupun acceptence sesuai Pasal 11 Konvensi. Mereka adalah Belgia, Kanada, Kongo, Denmark, Islandia, Kiribati, Latvia, Lithuania, Mauritania, Maroko, Namibia, Nauru, Selandia Baru, Belanda, Norwegia, Palau, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia, Saint Lucia, Sierra Leone, Afrika Selatan, Spanyol, Suriah, Tunisia, Uganda, dan Ukraina.

 

Exit mobile version