Mongabay.co.id

Mengembalikan Peradaban Bahari untuk Atasi Radikalisme

Pantai, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Fenomena berbagai tindakan anarkis, yang dipahami sebagai radikalisme, dalam menyampaikan keinginan atau pemikiran, baik di keluarga, sekolah, perguruan tinggi, hingga ruang publik, yang berujung kekerasan atau konflik, mencemaskan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Benarkah fenomena tersebut disebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tercerabut dari nilai-nilai peradaban bahari?

Puluhan pemikir dan budayawan dari sejumlah wilayah di Indonesia, coba merumuskan fenomena tersebut dalam Mufakat Budaya Indonesia 2019 di Jakarta, 29-31 Oktober 2019 lalu, yang dihadiri Mongabay Indonesia.

“Tindak kekerasan pada masyarakat kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Mulai di rumah tangga hingga ruang publik. Apakah ini disebabkan paham radikalisme? Lalu, apakah radikalisme harus ditekan pertumbuhannya?” kata Radhar Panca Dahana, budayawan dan penggagas Mufakat Budaya Indonesia 2019, memulai pemufakatan tersebut.

Sebagian peserta yang diposisikan sebagai narasumber menyampaikan pemikirannya. Mereka menilai hadirnya pemikiran radikalisme bukan yang mendorong lahirnya fenomena kekerasan, justru berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong perilaku radikal. Misalnya, pola hubungan antara elite dan grassroot yang super dominatif dan represif menciptakan atau menumbuhkan peluang radikalisme di kalangan masyarakat luas.

Kemudian distrust yang kian dalam dan meluas di masyarakat terhadap pemerintah yang mengakibatkan munculnya praktik-praktik radikal ketika pemerintah dalam bekerja memanipulasi rakyat sipil sebagai alat atau senjata untuk melakukan represi.

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Relief kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Dinilai kurang tepat juga jika pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang menggenalisir secara kasar segala bentuk radikalisme, termasuk di antaranya radikalisme mental sebagai kejahatan.

“Radikalisme cara berpikir sangat dibutuhkan guna mencapai satu kebenaran mendasar, yang dapat melahirkan pemikiran kreatif dan inovatif,” kata Rocky Gerung, filsuf dan pemikir sosial-politik.

Apa solusi yang harus dilakukan untuk mengubah atau mencegah fenomena tersebut?

Para budayawan dan pemikir sepakat, perilaku radikal hadir karena bangsa Indonesia sudah kehilangan akar budaya, sebagai bangsa bahari, yang tergantikan dengan budaya daratan. Kebudayaan bahari melahirkan karakter manusia egaliter dan terbuka, sementara kebudayaan daratan melahirkan karakter manusia individual dan kompetitif.

Artinya, seorang manusia yang berpikir dan bertindak terbuka, memandang semua manusia sejajar, maka perilaku radikal yang menjuruskan kekerasan fisik tidak akan terjadi.

Baca: Ironi, Tidak Ada Kajian Khusus Kerajaan Sriwijaya dan Kejayaan Maritimnya

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pemikiran tersebut disampaikan dalam sejumlah solusi mengatasi persoalan radikalisme. Pertama, mengurangi atau menghapus pola atau budaya berelasi atau berkomunikasi berdasar adab daratan yang banyak ditandai konflik [mental maupun fisikal] dan menggantinya dengan budaya air atau bahari yang lebih toleran dan akseptan.

Kedua, pemerintah wajib mengubah cara berpikir hingga pengambilan kebijakan dalam menghadapi radikalisme dengan tidak lagi menerapkan program deradikalisasi, yang justru membunuh pikiran-pikiran kreatif dan inovatif.

Artinya, pemerintah tidak boleh merasa memiliki hak untuk mengendalikan pikiran dan gagasan sebagai pre-text untuk mengurangi atau menghapuskan radikalisme dan membiarkan radikalisme yang bersifat fisikal atau material [cukup] diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam KUHP.

Ketiga, sikap atau cara [praktik beragama] yang semestinya lebih rendah hati dalam arti tidak high performance, high profile, tidak show off ketika posisinya dianggap dominan atau unggul di satu daerah atau wilayah berhadapan dengan intra dan antar umat agama.

Keempat, menghapuskan kebijakan-kebijakan pemerintah, pusat maupun daerah secara administratif bukan hanya tidak boleh mengganggu atau merusak tatanan adat [sosial atau tradisional] tapi justru mendukung dan mengembangkan sehingga memperkuat potensi hingga kualitas produksi budaya.

Baca: Kedaulatan Maritim, Warisan Sriwijaya untuk Indonesia [Bagian 1]

 

Laut Indonesia yang tidak hanya kaya tetapi juga jalur strategis pelayaran dunia. Foto: Rhett Buter/Mongabay

 

Kembali ke kebudayaan bahari

Mufakat budaya melahirkan sejumlah rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah maupun masyarakat sipil guna mengatasi fenomena negatif tersebut. Pertama, menghentikan kebijakan administratif yang menempatkan desa adat sebagai unit pemerintahan pusat ketika kebijakan itu mengganggu atau mendestruksi tata pemerintahan, atau hubungan sosial di tingkat lokal.

Kedua, mengajarkan kembali praktik-praktik cara hidup atau tradisi yang berbasis kebudayaan atau peradaban air [bahari] yang dibuktikan oleh sejarah lokal menciptakan kerukunan di antara warga atau rakyat, ketimbang menerapkan tiruan cara hidup daratan yang ada pada masyarakat kontinental di Eropa, Asia maupun Amerika.

Ketiga, menghapus atau menghentikan program deradikaisasi yang secara keliru justru membunuh daya nalar atau pikiran kritis publik, dan menggantinya dengan pembukaan ruang-ruang ekspresional dalam mengutarakan gagasan, baik secara intelektual maupun mental.

Keempat, pemerintah mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan empatik terhadap praktik-praktik yang terkategori radikal ketimbang satu penindakan yang bersifat represif.

Baca juga: Kedaulatan Maritim, Warisan Sriwijaya untuk Indonesia [Bagian 2]

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Belajar kepada alam

Sejumlah praktisi dan penggiat lingkungan setuju jika upaya menghentikan fenomena radikalisme diatasi dengan mengembalikan atau menumbuhkan kebudayaan bahari.

“Kebudayaan bahari dipahami sebagai kebudayaan yang melahirkan manusia tidak egois, merasa bangga jika dirinya memberi manfaat bagi banyak orang. Bukan bangga setelah berkuasa atau mengalahkan manusia lainnya atau mampu menaklukan alam. Kebudayaan ini intinya didasari hubungan harmonis manusia dengan alam,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Minggu [10/11/2019].

Artinya, kebudayaan bahari itu bukan hanya kebudayaan yang tumbuh pada masyarakat pesisir, juga masyarakat yang berada di daratan Nusantara. “Bahari itu kebudayaan yang melihat air, dan air dipahami sebagai daya hidup dan ruang untuk berinteraksi dengan manusia lain. Daratan dipahami sebagai bagian dari laut atau sungai. Sementara budaya daratan melihat ruang memiliki batas. Laut dan sungai sebagai batas. Karena ruang terbatas, pola pikir didorong untuk mendahului atau mengalahkan yang lain agar tidak terbuang dari ruang terbatas tersebut,” ujarnya.

Yusuf Bahtimi, peneliti lingkungan dari CIFOR, Minggu [10/11/2019], mengatakan, kita menghadapi fakta jika berbagai upaya pembangunan ekonomi di Indonesia cenderung merusak alam. Sementara peradaban bahari itu dapat dikembalikan salah satunya belajar dengan alam.

“Kembali kondisi alam menjadi baik,” ujarnya.

 

Pantai, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Keadilan mengakses sumber daya alam

Berbagai fenomena kekerasan tersebut salah satunya disebabkan masyarakat mengalami kekalahan dalam mengakses sumber daya alam. Misalnya, kehilangan lahan pertanian, tidak merasakan dampak positif dari aktivitas ekonomi yang ekstraktif seperti perkebunan, migas, dan pertambangan, serta tersumbatnya ruang untuk menyampaikan keluhan atau persoalan yang mereka rasakan tersebut. Frustasi terhadap perubahan iklim yang dikarenakan kerusakan alam.

“Kebudayaan bahari memang menempatkan semua manusia atau makhluk hidup lainnya memiliki hak yang sama terhadap alam. Keseimbangan,” kata Yusuf Bahtimi.

Sederhananya, guna mengatasi berbagai fenomena radikalisme itu kembalikan alam Indonesia menjadi lebih baik, dan beri akses yang adil masyarakat terhadap sumber daya alam. “Manusia akan belajar kembali dengan alam,” katanya.

Dr. Najib Asmani, Ketua Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan menjelaskan, mereka yang cenderung melakukan kekerasan atau radikal itu karena kehilangan gambaran masa depan. Misalnya mereka kehilangan lahan, pekerjaan, dan identitas.

“Menjalankan tata kelola lanskap berkelanjutan, yang menjamin hidup masa depan setiap manusia Indonesia, maka fenomena radikalisme dalam tindakan tersebut tidak akan terjadi.”

Sebenarnya, sejumlah skema yang ditawarkan pemerintah, seperti perhutanan sosial, rehabilitasi atau restorasi lahan dan hutan, ekonomi hijau, merupakan skema yang menjanjikan harapan tersebut.

“Hanya pelaksanaannya harus benar-benar diupayakan sesuai harapan. Mental pelaksana, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat, memang harus dibangun kembali dari peradaban luhur kita, peradaban bahari. Karenanya, pendidikan kita hendaknya tidak bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi, juga pemahaman budaya luhur. Bahkan pemahaman budaya luhur ini jauh lebih utama dibandingkan ilmu pengetahuan dan teknologi,” terang dosen Universitas Sriwijaya ini.

 

 

Exit mobile version