Mongabay.co.id

Perubahan Iklim Ternyata Berdampak pada Kedaulatan Pangan

 

Kemarau berkepanjangan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia hingga awal November ini bisa berdampak terhadap krisis pangan. Petani perlu mengantisipasi dengan perubahan pola tanam padi, termasuk dengan sistem intensifikasi padi atau system of rice intensification (SRI).

Nana Suhartana, Manajer Sektor Beras Rikolto Indonesia, mengatakan hal tersebut sela konferensi Smart Climate Agriculture di Jimbaran, Bali, bulan lalu. Nana memberikan contoh kejadian di Jawa Tengah, seperti Boyolali dan sekitarnya, di mana petani kini hanya bisa bercocok tanam pada saat musim hujan yaitu Januari hingga April.

“Padahal sebelumnya mereka bisa berganti-ganti komoditas yang ditanam, termasuk buah-buahan,” kata Nana.

Rikolto adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja di isu pertanian berkelanjutan, terutama untuk rantai nilai beras, kopi, kakao, dan rumput laut. Lokasi programnya di Jawa Tengah, Jambi dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

baca : Seratusan Ribu Hektar Lahan Pertanian Kekeringan, Apa Upaya Kementan?

 

Petani di Boyolali, Jateng, menunjukkan lahannya yang mengalami kekeringan akibat perubahan iklim. Foto Nana Suhartana/Rikolto Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Menurut Nana biasanya petani bisa panen mangga pada periode Agustus hingga Oktober. Pada awal November, mereka sudah panen durian. Dua bulan kemudian panen rambutan. Panen buah-buahan pada bulan berbeda mengakibatkan petani bisa memperoleh sumber vitamin terus menerus, sebagai bagian dari kedaulatan pangan.

Namun, seiring terjadinya perubahan iklim, terjadi pula perubahan masa panen buah-buahan itu. Saat ini semua buah cenderung menumpuk di pasar setelah November hingga April. “Akibatnya, setelah April akan terjadi kekurangan buah-buahan yang bisa berdampak pula pada kekurangan gizi,” kata Nana.

“Dampak perubahan iklim makin terasa di tingkat konsumen, dari yang sebelumnya seolah-olah hanya di tingkat petani,” lanjutnya.

Nana menambahkan, selama ini dampak perubahan iklim memang lebih banyak terasa di kalangan petani. Di Jateng, misalnya, jumlah air semakin berkurang padahal petani sangat tergantung pada pasokan air. Waduk-waduk makin mengering.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menyatakan bahwa tahun 2019, Jateng akan mengalami masa kemarau ekstrem lebih lama. Musim kemarau 2019 akan 20 hari lebih lama dibandingkan tahun lalu. BMKG memperkirakan hujan baru akan turun pada minggu kedua Desember. Kekeringan ekstrem itu akan terjadi di lebih dari separuh, tepatnya 63 persen, dari luas wilayah Jateng.

Dampak paling parah terjadi di wilayah-wilayah pertanian yang bergantung pada waduk. Misalnya Waduk Kedungombo yang menjadi sumber air bagi petani di Demak, Kudus, dan sekitarnya.

baca juga : Cerita Bencana Kekeringan yang Terus Berulang

 

Ilustrasi. Dua anak di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bermain di sawah yang kering. Terlihat rekahan tanah karena kemarau panjang. Sebagian besar petani di desa ini tak menanami sawah mereka dan sebagian gagal panen. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Produksi Menurun

Tak hanya Jateng yang mengalami kekeringan. Menurut Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhi terdapat sekitar 100 kabupaten/kota di Indonesia mengalami dampak kekeringan hingga Juli lalu. Total luasnya mencapai 102.746 hektare.

Daerah yang mengalami kekeringan meliputi Jawa Timur seluas 34.006 hektare, Jawa Tengah 32.809 hektare, Jawa Barat 25.416 hektare, Yogyakarta 6.139 hektare, Banten 3.464 hektare, Nusa Tenggara Barat (NTB) 857 hektare, dan NTT 55 hektare.

Lahan terkena puso seluas 9.358 hektare. Sebagaimana ditulis KataData, Jawa Timur adalah daerah yang mengalami puso terluas, 5.069 hektare. Jawa Tengah berada di urutan kedua, 1.893 ha disusul Yogyakarta 1.757 hektare, Jawa Barat 624 hektare dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 15 hektare.

Secara nasional, kekeringan ekstrem itu akan berdampak pula pada ketersediaan pangan karena jumlah produksi padi yang menurun. Bahkan, beberapa sumber menyebutkan bisa mengakibatkan krisis pangan. Guru besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa memperkirakan penurunan produksi padi itu mencapai 2 juta ton.

“Sudah barang tentu penurunan luas panen berdampak ke produksi beras kita,” kata Dwi seperti dikutip dari Tirto.

perlu dibaca : Pertanian Berkelanjutan: Untuk Keamanan Pangan atau Untuk Ketahanan Petani?

 

Ilustrasi. Seorang anak ditengah lahan persawahan yang mengering di Lombok Timur, NTB pada Oktober 2019. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Krisis Global

Secara global, perubahan iklim itu pun akan berdampak terhadap ketersediaan pangan dunia. Dalam laporannya Agustus 2019 lalu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan perubahan iklim telah mengancam pasokan pangan dunia. Lebih dari 10% populasi dunia saat ini mengalami kekurangan gizi dan perubahan iklim akan memperburuk situasi tersebut.

Sebagaimana ditulis The New York Times, laporan yang disusun oleh 100 ahli dari 52 negara itu menyimpulkan krisis pangan akibat perubahan iklim itu akan memicu krisis lebih besar, misalnya perpindahan lintas-negara. Akibatnya, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada negara-negara yang mengalami, tetapi juga pada negara-negara lain tujuan imigran.

“Risiko kemungkinan kegagalan pangan di dunia makin meningkat. Semua terjadi pada saat yang bersamaan,” kata Cynthia Rosenzweig, salah satu kepala penelitian tersebut.

Salah satu contoh krisis pangan dan berdampak pada banjir imigran, menurut laporan PBB itu, terjadi di Amerika Selatan. Para imigran dari El Savador, Guatemala, dan Honduras membanjiri Amerika Serikat setelah panas berkepanjangan di negara mereka. Tanpa pasokan pangan cukup, para imigran pun berbondong-bondong menuju negara Paman Sam lewat perbatasan Meksiko.

Meskipun perubahan iklim juga bisa meningkatkan produksi komoditas tertentu, menurut laporan itu, secara umum perubahan iklim tetap berdampak buruk pada pertanian dan pasokan pangan. Parahnya lagi, dampak buruk itu lebih terasa di kawasan pedalaman dan negara-negara miskin.

baca juga : Kemarau Panjang, Lombok Krisis Air dan Gagal Panen, 30 Desa di Sumenep Kekeringan

 

Ilustrasi. Kekeringan lahan pertanian di Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Adaptasi

Untuk itu, menurut Nana, petani di Indonesia juga harus melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. Salah satu cara yang diterapkan adalah dengan menggunakan teknologi pengelolaan air, pengairan basah kering (PBK) atau alternate wetting and drying (AWD). Secara sederhana, kata Nana, teknologi memungkinkan petani untuk mengairi sawah lebih efektif.

Situs Kementerian Pertanian menyebutkan prinsip teknologi ini adalah mengurangi aliran air yang tidak efektif, seperti rembesan dan penguapan. Untuk itu, teknologi AWD ini memantau kedalaman air melalui pipa yang ditanam di sawah sehingga bisa melihat air di bawah permukaan.

Setelah lahan sawah diairi, kedalaman air akan menurun secara perlahan. Ketika kedalaman air mencapai 15 cm di bawah permukaan tanah, lahan sawah kembali diairi sampai ketinggian sekitar 5 cm. Ketika padi berbunga, tinggi genangan air dipertahankan 5 cm untuk menghindari stres air yang bisa menurunkan hasil.

Batas kedalaman air 15 cm ini dikenal dengan PBK Aman. Artinya, kedalaman air sampai batas tersebut tidak akan menyebabkan penurunan hasil yang signifikan karena akar tanaman padi masih mampu menyerap air dari zona perakaran.

Setelah itu, pada fase pengisian dan pemasakan, PBK dapat dilakukan kembali. Apabila terdapat banyak gulma pada saat awal pertumbuhan, PBK dapat ditunda 2 sampai 3 minggu sampai gulma dapat ditekan. “Penggunaan AWD ini bisa mengurangi biaya produksi petani, seperti memompa air, sekaligus mengurangi karbon karena tidak pakai pompa mesin,” kata Nana.

Meskipun demikian, adaptasi seperti AWD hanya salah satu cara di tingkat petani. Tidak kalah pentingnya, menurut Nana, adalah adanya kebijakan dan teknologi lain untuk membantu petani menghadapi dampak perubahan iklim. “Karena ketika pasokan pangan mulai terganggu, kita semua juga akan merasakan. Bukan hanya petani,” tegasnya.

 

Exit mobile version