Mongabay.co.id

Petani Swadaya di Melawi Mulai Benahi Kelola Kebun Sawit

 

 

 

 

 

Hamparan perkebunan sawit tampak di kiri dan kanan jalan kala menuju Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Kabupaten ini punya puluhan ribu hektar kebun sawit.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Melawi 2018, sawit pola perkebunan inti rakyat (PIR) seluas 23.118 hektar dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) 39,83 ton. Untuk perkebunan sawit mandiri tercatat seluas 4.225 hektar.

Hingga kini, petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah.

Baca juga: Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang

Sahet, warga Dusun Sebaju, Desa Nanga Kebebu, Kecamatan Nanga Pinoh, menceritakan masalah yang dia hadapi. Hari itu, dia tampak sibuk membersihkan pelepah sawit.

Sahet mulai menanam sawit pada 2015, seluas dua hektar. Setiap hektar, ada 120 batang, dengan rata-rata jarak tanam antara 6-8 meter. Kini, tanaman sawit Sahet, tak tumbuh baik. Sebagian daun dan pelepah menguning, buah juga kerdil.

“Ini penyebabnya bibit. Karena kita tidak tahu mana bibit bagus, dan tak bagus,” kata Sahet sembari menunjuk satu batang sawit yang mulai menguning.

Selama ini, katanya, dia sudah pakai bibit bersertifikat dari toko perkebunan. Sayangnya, tak semua bibit menghasilkan tanaman bagus.

Sahet juga mengalami keterbatasan dana untuk mendapatkan pupuk. Dia pakai pupuk bersubsidi seperti urea per karung Rp120.000 atau Puska Rp150.000 per karung.

“Untuk pupuk saja antara Rp5-Rp6 juta. Sawit kan beda dengan tanaman lain. Kalau tidak dipupuk tidak ada hasilnya,” kata Sahet.

Masalah serupa juga dialami petani lain, tak hanya Sahet. H Amul Bakri, asal Dusun Kebebu, Desa Kebebu, Kecamatan Nanga Pinoh, punya keluhan tak jauh beda.

Baca juga: Upaya petani Swadaya Benahi Tata Kelola Kebun Sawit

Bakri lebih dulu menanam sawit swadaya dibandingkan petani lain di desanya, pada 2012. Tanaman sawit sudah berbuah. Awalnya, Baksi berkebun karet.

“Awalnya, saya melihat petani trans (transmigrasi) banyak sukses menanam sawit. Saya pun tertarik. Ingin menanam juga. Waktu itu, saya belum tahu bagaimana caranya,” katanya saat saya ditemui di kebun sawitnya.

Dari tabungan hasil kebun karet, Bakri mulai mengolah lahan dan membeli bibit. Dia belajar otodidak dari pengalaman petani-petani lain, dengan harapan, sawit bisa menambah penghasilan. Kala itu, harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani terbilang cukup bagus.

Dia menyulap sebagian kebun karet jadi perkebunan sawit. Setidaknya, ada lima hektar lahan karet ditebang, berganti sawit.

“Di sini dulu kebun karet. Pelan-pelan saya ganti dengan sawit,” katanya.

Dia tebang karet dan ganti bibit sawit.“Saya tidak bakar. Saya langsung tanam. Memang lahan sudah cukup bersih. Karena tidak dibakar itu, anakan karet masih suka tumbuh,” katanya.

Menurut Bakri, menanam sawit perlu energi lebih dibanding karet. Untuk mengolah lima hektar sawit, dia harus merogoh celengan (tabungan). Mulai dari pembelian bibit, penanaman, pemupukan, hingga perawatan, lebih Rp10 juta harus dia keluarkan.

“Kalau bibit saya beli di toko pertanian di Nanga Pinoh. Sudah bersertifikat. Pupuk beli yang bersubsidi.”

 

Petani sawit Desa Nanga Kebebu , Melawi masih hadapi berbagai masalah. Meskipun begitu, mereka mulai berupaya berbenah diri . Foto: Arief Nugroho/ Pontianak Post

 

Ada juga, katanya, yang membeli ke Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Sub Stasiun Parindu. Satu bibit sawit, dia beli seharga Rp30.000. Untuk pupuk bersubsidi per karung Rp120.000-Rp140.000.

“Kalau pemupukan ini harus rutin. Idealnya, dalam satu tahun tiga sampai empat kali. Kalau tidak dipupuk pertumbuhan tidak baik. Gampang terserang penyakit juga,” katanya.

Setelah empat tahun tanam, dia mulai panen. Sayangnya, dia kebingungan saat akan menjual buah sawit.

“Saya bingung. Setelah panen ini, mau jual kemana?”

Akhirnya, dia menjual buah sawit kepada tengkulak dengan harga sedikit lebih murah dari harga jual ke perusahaan atau harga pemerintah. Setidaknya, bisa menutupi biaya operasional kebun.

“Saya jual di pinggir jalan. Biasa ada yang ambil (tengkulak),” katanya.

Belakangan harga jual tandan buah segar (TBS) tingkat petani mengalami penurunan. Bahkan, kata Bakri, harga buah sawit sekitar Rp400-Rp800 perkilogram.

Kondisi ini, membuat Bakri kecewa. Dia dulu antusias mengembangkan sawit mandiri sebagai anternatif pendapatan harus merugi. “Kalau harga sawit Rp400, gimana saya bisa membeli pupuk dan perawatan kebun?”

Nasib serupa dialami H Djusman, petani sawit asal Desa Semadin Lengkong, Kecamatan Nanga Pinoh. Djusman bahkan membiarkan buah sawit membusuk di batang.

Dia enggan panen karena merasa harga jual buah sawit sangat rendah, tak sebanding dengan operasional.

“Saya biarkan saja dulu. Meskipun sudah banyak buah yang semestinya bisa panen. Menunggu harga bagus,” kata Djusman.

 

***

Desa Nanga Kebebu dan Semadin Lengkong, Kecamatan Nanga Pinoh, punya kebun sawit cukup luas. Berdasarkan data monografi Desa Nanga Kebebu, tercatat ada 432 hektar dari luas wilayah 4.545,8 kilometer persegi untuk perkebunan sawit. Di Desa Semadin Lengkong, ada 1.552 hektar lahan perkebunan, baik karet maupun sawit.

Akhmad Yani, Kepala Desa Nanga Kebebu, mengatakan, sektor perkebunan jadi sumber terbesar perekonomian masyarakat. Hanya, peningkatan sumber daya manusia dalam pengelola perkebunan masih sangat kurang. Hal itu, katanya, karena tak ada pendampingan dan penyuluhan dari pihak terkait.

Menurut Yani, petani kebun sawit mandiri belajar tanam secara otodidak tanpa ada pendampingan.

“Contohnya, Pak Bakri. Beliau boleh dikatakan orang pertama yang menanam sawit di sini. Sejak 2012, sampai sekarang, sawit juga sudah panen. Beliau dulu justru belajar otodidak dari petani lain,” kata Yani.

Desa Kebebu, pernah didatangi investor perusahaan perkebunan sawit. Warga bersama-sama menolak. Mereka ingin kembangkan sawit secara mandiri.

Saat ini, petani sawit mandiri di Desa Kebebu ada 38 orang, dengan luasan lahan bervariasi. Mereka mengembangkan sawit dengan minim pengetahuan soal itu.

Menurut dia, tak sedikit petani sawit mandiri mengalami persoalan, baik pada ketidaktahuan dalam pengelolaan lahan, pemilihan bibit sampai pada mendapatkan pasar.

“Kami masih mengalami ganjalan. Terutama mendapatkan akses pasar.”

Kesulitan lain, katanya, mengurus surat tanda daftar budidaya (STDB) dan lain-lain. Dalam mengurus dokumen ini antara lain menyertakan, surat pernyataan usaha budidaya perkebunan, surat keterangan lokasi kebun, surat keterangan asal atau sertifikat benih, surat keterangan status kepemilikan lahan sampai surat pertimbangan teknis Dinas Perkebunan dan Kehutanan.

“Kami dari pemerintah desa mencoba memfasilitasi, mendata dan pelatihan sederhana bekerjasama dengan lembaga lain,” katanya.

 

Petani sawit Desa Nanga Kebebu , Lelawi. Foto: Arief Nugroho/ Pontianak Post

 

 

Tata kelola

Dalam mengelola lahan, warga tak sembarangan. Ada buat pemukiman dan berkebun atau bercocok tanam. Ada wilayah lindung.

Yani mengatakan, di Dusun Sebaju, Desa Kebebu ada hutan adat Rasau Sebaju. Hutan dengan sekitar 200 hektar ini dinamai Pasak Sebaju.

Bagi masyarakat di sana, hutan adat Rasau Sebaju memiliki fungsi penting, antara lain, zona lindung, zona pemanfaatan, penanaman dan zona tradisional. Setiap zona memiliki luasan yang berbeda.

Untuk zona lindung, misal, merupakan zona inti dengan luasan 54,234 hektar. Zona pemanfaatan, seluas 90.83 hektar, merupakan kawasan dengan kayu masih dimanfaatkan dengan pembatasan kubikasi.

Untuk zona penanaman, untuk tujuan peningkatan ekonomi masyarakat seluas 25,69 hektar, Sisanya zona tradisional sekitar 18, 50 hekar.

Pengelolaan zona lindung ini, kata Yani, untuk perlindungan kawasan, flora, fauna, sumber bibit dan dapat untuk kepentingan penelitian, dan pendidikan.

“Intinya, tak boleh ada aktivitas penebangan dan perburuan. Kalau ada, akan kena hukum adat.”

Saat ini, masyarakat Adat Sebaju, telah diakui pemerintah daerah, melalui Surat Keputusan Bupati Melawi Nomor. 660/171 tahun 2019. Surat ini tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Komunitas Dusun Sebaju (Dayak Katab Kebahan), Desa Nanga Kebebu, Kecamatan Nanga Pinoh.

Warga juga membentuk kelompok tani, antara lain sebagai wadah petani berbagi seputar permasalahan mereka.

SuaR Institute dan WWF Indonesia, mendampingi, petani desa-desa ini. Sukartaji, Direktur SuaR Institute, mengatakan, sedang menyusun database jumlah dan luasan petani sawit mandiri di Desa Semadin Lengkong dan Desa Nanga Kebebu. Data sementara, ada 56 petani mandiri.

“Kami sedang menyusun database. Berapa jumlah dan luasan,” kata Sukartaji.

Menurut pria yang akrab disapa Taji ini, sebagai langkah awal, masyarakat Desa Semadin Lengkong dan Kebebu, membentuk kelompok tani.

Setidaknya, ada tiga kelompok tani sudah terbentuk. Kelompok Tani Sebaju Mandiri, Dusun Sebaju, Desa Nanga Kebebu, ada 25 orang, Kelompok Tani Sungai Batu, Desa Semadin Lengkong, 25 orang dan Kelompok Tani Kayo Bersama Dusun Nanga Kebebu, Desa Nanga Kebebu, anggota 13 anggota. Luasan lahan tani kedua desa ini lebih 100 hektar.

Selain konsen perkebunan sawit mandiri, SuaR Institute bersama WWF Indonesia juga menyusun draf wilayah adat di Dusun Sebaju, Desa Nanga Kebebu seluas 2.606 hektar. Tujuannya, membentuk wilayah dengan tata kelola berkelanjutan, antara lain, untuk memproteksi perkebunan sawit dari luar masuk.

Muhammad Munawir, WWF Indonesia mengatakan, yang perlu didorong bagaimana perkebunan sawit, terutama pekebunan mandiri bisa diperkuat, baik pendaftaran di pemerintah, sampai tata kelola termasuk dukungan pasar bagi petani.

Untuk perkebunan sawit berkelanjutan, katanya, sudah semestinya jadi perhatian pemerintah daerah. Perbaikan tata kelola perlu dilakukan. Langkah itu, perlu diawali dengan menyusun rencana dan database masalah perkebunan sawit.

“Kebun sawit ada dengan tetap menjaga keseimbangan. Bagaimana ekosistem tetap terpelihara. Kalau ekosistem tak seimbang, kita juga yang akan merasakan dampaknya,” katanya.

Daniel, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Melawi mengatakan, tengah menyusun rencana kerja tahun 2020 terkait penerbitan STD-B untuk petani sawit mandiri.

Menurut dia, menuju perkebunan sawit berkelanjutan harus memenuhi berbagai aspek, seperti penerbitkan STDB dengan melihat lahan masyarakat berada di dalam atau luar kawasan.

“Kalau berada di luar kawasan dan milik sendiri (sertifikat hak milik), bisa mudah terbit STDB. Kalau ternyata dalam kawasan, kita perlu membuat formula, untuk mengaturnya. Kan tidak mungkin kita mematikan petani juga. Tentu harus ada sosialisasi,” katanya. Meskipun begitu, dia mengeluhkan Dinas Perkebunan Melawi, kekurangan tenaga penyuluh.

“Saat ini, kami kekurangan tenaga penyuluh. Namun, kami optimis, karena sudah bekerja sama dengan lembaga lain.”

 

*Arief Nugroho adalah adalah wartawan Pontianak Post. Liputan ini mendapatkan dukungan dari Mongabay Indonesia.

 

Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version