Mongabay.co.id

Hukuman Berat untuk Pelaku Kejahatan Satwa Liar, Kapan Diterapkan?

 

 

Teriakan memelas dua anakan lutung jawa [Trachypithecus auratus] yang belum putus tali pusar itu terdengar dari kandang, saat polisi mengekspos hasil kejahatan perdagangan satwa ilegal di Markas Polda Jabar, Kota Bandung, akhir Oktober 2019.

Saat konferensi pers berlangsung, sorot mata tenaga Medis Pusat Primata Jawa Aspinal Foundation, Ida Mansur memerah, menahan amarah. “Umur lutung itu pasti tidak lebih dari dua minggu,” kata Ida. “Ini terlihat dari tali pusarnya yang belum putus.”

Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus [Diskrimsus] Polda Jabar mengamankan penjual satwa dilindungi itu di Pangandaran. Polda menyita enam anakan lutung jawa, dua surili dan satu anakan owa jawa [Hylobates moloch].

“Kami menangkap dan menetapkan tersangka berinisial DN,” kata Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Trunoyudho Wisnu Andiko.

Menurut Trunoyudo, perdangan ilegal ini memiliki jaringan tersendiri. DN adalah penjual sekaligus pembeli satwa dilindungi untuk di jajakan secara online.

Satwa-satwa merupakan pesanan para pelanggan. Satu anakan lutung dibeli Rp200 ribu, lalu dijual dua kali lipat. “Kalau owa jawa saya beli dari orang Bogor sekitar Rp2 juta, sementara surili seharga Rp300 ribu,” ucap DN.

DN mengaku tak paham soal perburuan. Ia hanya menyuruh pemburu di sekitar hutan untuk menangkap primata pesanannya.

Baca: Pentingnya Analisis DNA untuk Perangi Kejahatan Satwa Liar

 

Satwa sitaan ini seharusnya hidup di hutan, bukan untuk diperdagangkan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wadireskrimsus Polda Jabar, AKBP Hari Brata mengatakan, perbuatan tersangka melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Ancaman hukuman lima tahun.

“Yang bersangkutan kami tahan. Satwa sitaan sudah diserahkan ke BKSDA Jabar dan lembaga konservasi Aspinal untuk dititiprawatkan,” terangnya.

Menurut Ida Mansur, anakan owa yang hendak dijual itu baru berusia 3 hingga 6 bulan. Mestinya, ia nyaman dipelukan induknya sampai masa penyampihan 2 tahun. “Induknya pasti dibunuh,” terangnya.

Umumnya, owa hidup berkelompok dalam suatu keluarga, terdiri induk dan jantan berikut anakan yang belum disapih. Rata-rata berpopulasi 2 sampai 4 individu tiap kelompok.

Cara berbiak owa terbilang lambat, butuh jarak minimal 3 – 4 tahun. Usia matang seksual owa antara 6-7 tahun. Setelah itu owa pra-dewasa mesti meninggalkan teritori kelompoknya. Pergi mencari teritori baru sekalian cari jodoh untuk membuat kelompok baru. Setidaknya, owa membutuh 33 hektar kawasan sebagai teritori.

Owa tidak akan bertahan jika tak memiliki pasangan. Ini mengkhawatirkan, sebab menangkap satu sama dengan membinasakan satu kelompok.

“Ini butuh proses rehabilitasi panjang. Mungkin, 4 atau 5 tahun anakan tersebut dapat dilepasliar ke habitatnya,” terangnya.

Baca juga: Melawan Kejahatan Satwa Liar Tidak Bisa Sendirian

 

Perdagangan satwa liar dilindungi tetap terjadi. Jaringan ini biasanya rapi dan menggunakan modus tersendiri. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ketegasan hukum

Ketua Jakarta Animal Aid Network [JAAN] Benfika belum puas dengan penegakan hukum saat ini. Alasannya, hukum baru menyentuh pelaku lapangan. Pemodal maupun penadah bahkan pembeli tak tersentuh.

Padahal UU No 5 Tahun 1990, Pasal 40 ayat 2 mengatur: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat [1] dan ayat [2] [menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup] serta Pasal 31 ayat [3] dipidana penjara paling lama 5 [lima] tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 [seratus juta Rupiah].”

Dikatan Benfika, dari sisi denda pidana, misalnya, nilai maksimal Rp50 juta – Rp100 juta untuk pelaku pembunuhan satwa liar, tak memberi efek jera pada konteks saat ini. Itu terbukti dari hasil pengamatan JAAN membuntuti pelaku yang sudah residivis kembali, memperjualbelikan satwa dilindungi dengan jumlah lebih besar

“Sejauh ini hukuman paling lama di bawah dua tahun, masih di bawah ketentuan hukuman maksimal UU No 5 Tahun 1990. Kebanyakan malah satu tahun sudah bebas. Mungkin bagi mereka itu bukan apa-apa ketimbang untung yang didapatkan,” ungkapnya.

Tiga tahun terakhir, KLHK menindak 187 kasus terkait tumbuhan satwa liar dengan menyita 12.966 satwa dan 10.233 bagian satwa sebagai offset-an. Benfika berharap, komitmen para penegak hukum tetap terjaga. Apalagi modus pelaku sering berubah semisal menggunakan rekening bersama dalam transaksi atau menggunakan kurir untuk mengantarkan pesanan satwa.

“Dibutuhkan peningkatan kapasitas penegak hukum. Ini sebagai persiapan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang bagi pelaku perdagangan satwa liar, agar ada efek jera,” terangnya.

 

Hukuman berat harus diberikan untuk pelaku kejahatan satwa liar dilindungi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perburuan trenggiling

Kasus perdagangan sisik trenggiling sebanyak 6,3 kilogram, melibatkan tiga pelaku, yang ditangkap 19 Agustus 2019, telah memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Sidang pertama dengan agenda pembacaaan berkas perkara oleh Jaksa Penuntut Umum [JPU] Rima Eka Putri dan Maulijar dilaksanakan pada 8 Oktober 2019.

Dalam berkas perkara JPU mengatakan, terdakwa pertama, Khairul Furqan pada Agustus 2019 dihubungi seorang dari Medan, Sumatera Utara, yang ingin membeli sisik trenggiling.

“Lalu, Khairul Furqan menghubungi Ahmad Zaini dan Ahmad Zaini, yang mengaku menyimpan tiga kilogram,” sebut Rima.

Karena Khairul ingin lebih banyak, maka Ahmad Zaini menghubungi seorang penampung, Anto yang tinggal di Kota Langsa, Aceh, saat ini masuk daftar pencarian orang [DPO].

“Dari Anto, Ahmad Zaini mendapatkan 2,8 kilogram sisik trenggiling. Selanjutnya Ahmad Zaini mendapatkan lagi trenggiling dari Fauzul dan setelah diolah, total berhasil dikumpulkan 6,3 kilogram sisik trenggiling,” ujar Rima.

Lalu sambung Rima, Ahmad Zaini menghubungi Khairul dan sisik trenggiling itu diserahkan di Jembatan Peunayong, Kota Banda Aceh.

“Khairul ditangkap di penginapan Kota Banda Aceh saat menunggu pembeli. Ahmad Zaini ditangkap di warung kopi, sementara Fauzul ditangkap di Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar,” ungkapnya.

 

Perburuan trenggiling untuk diambil sisiknya terus terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bireuen, Aceh, pada 22 Oktober 2019, memvonis Husaini Hasballah, warga Desa Pulo, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie bersalah karena memperdagangkan kulit trenggiling. Dia dihukum 2,6 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.

Husaini ditangkap 7 Juli 2019 malam di Kecamatan Peusangan, Kabupaten Pidie saat bus yang ditumpanginya dari Kabupetan Pidie, Provinsi Aceh menuju Medan, Sumatera Utara dihentikan dan digeledah personil Subdit Tipiter Dit Reskrimsus Polda Aceh.

Dari Husaini, polisi menyita 3,5 kilogram sisik trenggiling. Kepada penyidik dan kepada majelis hakim, Husaini mengaku sisik tersebut hendak dijual ke pembeli di Medan, Sumatera Utara, bernama Udin.

“Saya mengumpulkan dari masyarakat di Kabupaten Pidie selama dua hari,” ujar Husaini kepada majelis hakim.

Husaini yang berumur 61 tahun ini, sebelumnya pernah ditangkap di Kota Langsa, karena kasus yang sama. Dalam berkas perkara Nomor: 77/Pid.B/2013/PN-LGS yang dibacakan 5 Mei 2013, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Langsa memvonis Husaini bersalah memperdagangkan sisik trenggiling, dihukum empat bulan penjara dan denda Rp1 juta.

 

Trenggiling, satwa liar dilindungi ini nasibnya Kritis. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah mengatakan, di Aceh perburuan trenggiling dilakukan menggunakan jerat atau perangkap berbentuk kandang yang dipancing dengan makanan.

“Selain itu, biasanya pemburu juga memasang jerat di jalur lintasan satwa dengan ukuran sesuai target buruan. Jerat kecil yang terbuat dari kawat baja, biasanya untuk berburu trenggiling atau landak. Namun, jerat ini juga dapat membunuh atau melukai satwa besar seperti rusa dan harimau,” ujarnya.

 

Jerat yang dipasang untuk menangkap trenggiling dan satwa liar lainnya di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit [WCU] menyebutkan, perburuan trenggiling di Indonesia termasuk di Aceh terjadi, bukan hanya sisik tapi juga dalam keadaan hidup, yang akan dijual secara ilegal ke luar negeri.

Beberapa kali penegak hukum membongkar kasus ini, namun perburuan tetap terjadi karena pendapatan mereka sangat besar.

“Pedagang atau penampung trenggiling bekerja sangat rapi. Ketika tidak memungkinkan menyelundupkan, mereka menyimpan dulu sisik itu, dan tetap menampung dari penadah di berbagai pelosok,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version