Mongabay.co.id

Kisah Nelayan Penyelam Kompresor Berburu Ikan Karang

Ikan hasil panah Syam Rondonuwu dijual ke Pasar Rum. Foto: Mahud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Hari masih gelap. Jam menunjukkan pukul 05.40. Meski begitu, Pasar Rum, Tidore Utara, sudah bergeliat. Para penjual pakaian, makanan, ikan dan sayur sibuk menyiapkan dagangan.

Irfat Muhammad, perempuan 26 tahun asal Pulau Maitara biasa disapa Ningsih, bersama suaminya, Syam Rondonuwu, sibuk menyiapkan ikan dagangan.

Ningsih, sehari-hari bisa menjual 100 kilogram beragam macam ikan. Suami dan dan kakak iparnya yang menangkap ikan pakai jubi (panah ikan-red). “Yang saya jual ini sebagian besar ikan karang. Dapat dari bajubi,” katanya baru-baru ini.

Baca juga: Cerita Tragis Para Nelayan Penyelam Kompresor

Pagi di penghujung Oktober itu, Syam Rondonuwu, membawa satu lemari pendingin dari rumah berisi sekitar 40 kilogram ikan. Tubuh biota laut ini terlihat ada luka.

Selain hasil bajubi, kalau pasokan ikan kurang dia kadang membeli ke beberapa pengepul.   Ikan Ningsih beli Rp25.000-Rp30.000 perkg. Setiap kilogram ikan ada margin sekitar Rp5.000.

Alhamdulillah, ada untung sedikit. Per kilogram ikan dapat Rp5.000. Sehari [omzet penjualan] bisa Rp400.000-Rp500.000.”

Ikan yang dijual itu tangkapan oleh Sofyan Rondonuwu dan Syam Rondonuwu, dua kakak beradik yang sehari-hari mencari ikan dengan bajubi di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Mare.

Sudah tiga tahun ini kedua nelayan menangkap ikan dengan jubi di perairan Tidore dan Failonga, Maitara dan Mare.   Hasil tangkapan mereka berbagai jenis ikan karang di laut.

Mereka tak bekerja sendiri, biasa tiga sampai empat orang dalam satu grup. “Kami punya kawan yang bekerja bersama,” katanya.

Nelayan bajubi di Tidore ini, tak hanya menyelam dan menangkap ikan di Pulau Mare. Mereka menyeberang sampai ke Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Morotai, Kabupaten Pulau Morotai, dengan tiga sampai empat hari baru kembali ke Tidore.

Tangkap ikan ala mereka terbilang berisiko karena pakai panah di malam hari dengan alat bantu pernapasan kompresor seadanya. Ia membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka.

Mereka tak punya tabung seperti penyelam profesional. Meski menyadari bahaya, mereka mengaku tak memiliki pilihan lain. “Pakai tabung oksigen terlalu mahal. Kami tak punya anggaran lebih,” katanya.

Hasil tangkapan ikan dengan bajubi terbilang lumayan.   Dengan hasil tangkap perkilogram Rp25.000-Rp30.000, bisa jutaan rupiah sekali jalan.

Sofyan, sehari-hari mangkal di Pasar Rum itu, bilang, memanah ikan lebih baik kareha tangkapan ikan pilihan. “Kami menangkap ikan pakai jubi karena tidak ada alternatif alat tangkap lain,” kata Sofyan.

Syam dan Sofyan, masing- masing punya anggota penangkap ikan. Sekali turun ke laut yang ikut bersama memanah ikan 7-8 orang.

“Kadang ikut saya empat orang. Kakak saya, kadang, kawan lain. Hampir semua ikan karang [ditangkap]. Berbagai jenis,” katanya, seraya bilang, ada kerapu, dolosi, kakatua dan beberapa jenis ikan merah.

 

Sofyan Rondonuwu (kaos singlet biru) menjelaskan kepada beberapa peserta pelatihan USAID-SEA soal menangkap ikan dengan panah dan gunakan kompresor. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Nelayan, seperti Syam dan Sofyan, tak menangkap ikan dilindungi karena khawatir terjerat hukum. Mereka mendapatkan informasi dan sosialisasi mengenai ikan atau satwa laut yang dilarang tangkap, seperti duyung, penyu, hiu sampai napoleon fish atau ikan mamin dalam bahasa Maluku Utara.   “Kita sudah dapat banyak informasi ikan dilindungi,” katanya.

Dinas Kelalutan dan Perikanan Kota Tidore Kepulauan, katanya, biasa sosialisasi biota laut dilindungi. Organisasi masyarakat sipil yang konsern isu ini juga kampanye dan sosialisasi.

“Ada WCS (Wildlife Conservation Society-red) masuk Tidore, banyak memberikan advokasi model penangkapan ikan keberlanjutan. Karena itu, kami panah ikan lebih pertimbangkan ukuran lebih besar dan jenis sesuai   ketentuan. Kalau kami temukan ikan dilarang tangkap, kami biarkan.”

Sofyan bilang, menangkap ikan dengan panah itu tak dilarang.

Ada yang beranggapan, tangkap ikan dengan panah hanya alasan, sebenarnya mereka pakai berbagai bahan untuk meracuni ikan karang, seperti bom atau potas. Tudingan ini ditampik Sofyan.

“Kami tidak menggunakan potassium atau bom saat menangkap ikan. Kami sore sampai malam hari. Jika gunakan potassium maupun bom   akan membahayakan. Kami bekerja   dengan cahaya terbatas. Kalau pakai potassium bisa saja kami korban,” katanya.

Syam bilang, kalau gunakan bahan terlarang, bibit ikan mati dan karang hancur.   “Bahkan jika potassium atau cyanide dan zat terlarang lain, akan terbawa arus, bisa saja kami jadi korban.”

Baginya, menangkap ikan pakai panah sebenarnya lebih selektif karena memilih ukuran ikan. “Kita biasa memilih ikan yang agak besar saja,” katanya.

Tangkap ikan dengan menyelam pakai kompresor, katanya, memang berbahaya. Mereka mau lakukan ini demi memenuhi keperluan rumah tangga dan memang memiliki keterampilan pakai jubi atau panah.

Peralatan layak, seperti tabung dan gas, katanya, sangat mahal hingga mereka tak mampu membelinya.

“Anak-anak kita butuh biaya pendidikan dan kebutuhan sehari- hari. Menggunakan alat tangkap seperti ini akan lebih cepat dapat hasil. Turun ke laut beberapa waktu sudah bisa mendapatkan hasil lumayan,” kata Syam.   .

Mereka sudah melihat beberapa korban dari pemakaian kompresor. Rekan mereka, kata Syam, beberapa bulan lalu terancam lumpuh, bersyukur membaik setelah terapi.

Dia bilang, dalam sehari mereka biasa dalam laut selama tiga jam, kemudian naik lagi. Selama dalam laut bernapas pakai kompresor. Kalau sudah tiga jam, naik istrahat satu jam dan turun lagi.

 

Irfat Muhammad membersihkan ikan karang dagangannya. Ikan-ikan ini hasil tangkap ikan suaminya, dengan memanah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Satu kompresor, katanya, dijaga dua orang. Satu jaga mesin dan satu lagi menjaga selang yang mengalirkan udara ke penyelam. Mereka menyelam sore hingga tengah malam bahkan jelang pagi.

“Di malam hari, ikan mudah kena panah. Ikan bahkan menuju cahaya senter penyelam,” katanya, seraya bilang, pernah mengurus izin tangkap ikan dengan memanah tetapi tak pernah dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan.

Karena sadar bahaya tangkap ikan dengan kompresor, Sofyan maupun Syam rajin memeriksakan diri ke dokter guna mengecek kondisi mereka termasuk dengan terapi.

Sofyan sendiri, sudah 12 tahun menyelam menggunakan kompresor. Dia bersyukur tak mendapatkan penyakit berarti. “Tiap bulan kontrol kondisi paru-paru ke dokter,” katanya.

Dia membandingkan dengan di Manado, Sulawesi Utara, mereka lebih mudah kontrol kesehatan karena ada fasilitasnya. Dia juga memiliki kartu kontrol kesehatan.

Buyung Radjiloen, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Malut membenarkan, penggunaan alat tangkap memanah (spare gun ) tidak ada larangan tetapi ada pembatasan penggunaan armada atau kapalnya.

“Kita batasi hanya armada di bawah tiga GT. Kalau di atas tiga GT   ada larangan,” katanya.

Khusus Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Mare dan sekitar, pada zona tertentu akan ada pelarangan. “Kita [akan] buat regulasi melalui peraturan gubernur.”

Selama ini, katanya, DKP tertibkan termasuk cara penangkapan dengan kompresor. DKP, katanya, sudah berikan pemahaman dan sosialisasi bahaya pakai kompresor terutama bagi kesehatan.

“Kita akan terus informasikan bahaya kesehatan menyelam dengan kompresor.”

Pemerintah Malut, katanya, juga sedang bikin Peraturan Gubernur (Pergub) dan mengkaji larangan penangkapan dengan alat tertentu, tetmasuk panah untuk kakap dan kerapu.

DKP Malut, katanya, menunggu laporan hasil kajian rencana pengelolaan melalui konsep harvest strategy yang sedang digodok bersama proyek USAID-SEA.

Adita Agoes, Pengelola Nasijaha Dive Center (NDC) Ternate mengatakan, penggunaan kompresor seperti di kilang minyak. Mereka pakai kompresor dan selang regulator panjang (bukan tank scuba), dengan jenis perlengkapan dan prosedur yang benar.

Kompresor mereka juga memiliki filtrasi udara yang benar, termasuk regulator tekanan udara dari kompresor ke penyelam.

Sedang penyelam tradisional, katanya, biasa pakai kompresor tambal ban, tak ada filtrasi udara standar. Dengan begitu,    udara yang dihirup penyelam bisa mengandung zat-zat berbahaya, baik dari udara maupun asap mesin.

Bahkan, katanya,    tekanan udara yang keluar ke penyelam juga tak standar. “Ini karena selang panjang jadi perlu tekanan tertentu agar penyelam tak kesulitan menghisap udara.”

Selain itu, katanya, nelayan penyelam kompresor biasa tak mengetahui prosedur penyelaman yang benar seperti teori dekompresi, maksimum kedalaman bila pakai udara biasa (risiko oxygen toxicity), maximum bottom time di tiap kedalaman, surface interval, dan banyak lagi.

Kondisi ini, katanya, sering jadi penyebab kecelakaan penyelam kompresor tradisional, misal, jadi lumpuh, pingsan dalam air, meninggal di permukaan karena naik terlalu cepat, dan lain-lain.

Selain itu, tak ada bailout system bila sistem utama mengalami masalah seperti kompresor mati, selang regulator terlilit atau putus, dan lain-lain. Jadi, bila ada kejadian tertentu, penyelam biasa akan naik cepat ke permukaan dan bisa berakibat fatal.

Dia bilang, kalau penyelam kompresor tradisional dibekali tiga hal,   yakni, alat memadai, pengetahuan penyelaman, dan bailout system serta mematuhi, maka bisa meminimalisasi risiko-risiko itu. “Juga, faktor-faktor alam seperti cuaca, arus, kontur titik penyelaman dan lain-lain.”

Dikutip dari Kumparan, Zulficar Mochtar, Dirjen Perikanan Tangkap,—kala itu Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia–Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, penggunaan mesin kompresor sebagai alat bantu pernapasan oleh nelayan penyelam, tak dibenarkan karena risiko sangat tinggi.

Penyelaman kompresor ini, katanya, bisa menyebabkan kelumpuhan, dekompresi, ketulian bahkan berujung kematian buntut tata cara penyelaman tak standar.

 

 

Keterangan foto utama:  Ikan hasil panah Syam Rondonuwu dijual ke Pasar Rum. Foto: Mahud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version