Mongabay.co.id

Masalah Pembangunan Pelabuhan Segintung Sudah Terendus Lama

Dermaga Pelabuhan Segintung Kabupaten Seruyan yang menjorok ke laut. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Namanya, Pelabuhan Segintung. Pelabuhan di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah ini, pada Oktober lalu jadi buah bibir setelah penetapan tersangka sang mantan bupati, Darwan Ali. Sang bupati dua periode, 2003-2008 dan 2008-2013, ini terjerat Komisi Penberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan korupsi Pelabuhan Segintung.

Darwan diduga mengatur pemenang lelang kontraktor pelaksana proyek pembangunan Segintung, PT Swa Karya Jaya (SKJ). KPK menduga ini terkait balas jasa atas dukungan dalam pilkada 2008. Selain Darwan, KPK juga menyekal Direktur SKJ, Tju Miming Aprilyanto.

Darwan juga memberikan addendum biaya pembangunan melebihi ketentuan regulasi, maksimal 10%. Dari semula Rp112,75 miliar, proyek ini membengkak jadi Rp127,341 miliar. Menurut KPK, negara dirugikan Rp20,84 miliar dalam kasus ini.

Baca juga: Kasus Pelabuhan Segintung, Mantan Bupati Seruyan jadi Tersangka Korupsi

Bagaimana tampilan Pelabuhan Segintung? Sebuah dermaga beton memanjang sekitar satu kilometer menjorok ke tengah laut dengan pola huruf I. Dalam istilah kepelabuhan, ia disebut dermaga dolphin, berdiri di atas tiang pancang atau jembatan trestel. Ini berbeda dengan kebanyakan model dermaga pelabuhan di Kalimantan Tengah, berjenis quay wall, berdiri sejajar tepi pantai atau sungai yang dalam alami. Landainya Pantai Segintung, agaknya jadi pilihan model dolphin ini.

Di sisi darat, hanya ada kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Segintung, dan satu bangunan lain. Masih banyak lahan kosong di sekitar. Selebihnya, hanya jalan dengan pengerasan beton yang menyambung dari pintu masuk ke bibir dermaga.

Hasanudin, Kepala Desa Sungai Perlu, mengatakan, keseluruhan areal inti pelabuhan ini 18 hektar, tempat pelabuhan itu secara administratif berdiri.

Beberapa orang tampak memanfaatkan dermaga bernilai ratusan miliar itu hanya untuk duduk-duduk sambil memancing. Tampak ada empat kapal bersandar di dermaga. Semua kapal berkonstruksi kayu, sejenis kapal layar motor (KLM), satu kapal jenis pinisi.

Tak ada aktivitas bongkar-muat lazimnya pelabuhan komersial. Seorang awak kapal mengatakan, kapal masih bersandar karena menunggu pemuatan kayu. Kendati sudah beroperasi, fungsi komersial belum berjalan.

Pelabuhan ini masih dikelola UPP, bukan Otoritas Pelabuhan (KSOP), yang biasa mengelola pelabuhan komersial. Pagi itu, Kantor UPP Segintung, pun masih tutup.

Suasana pelabuhan begitu sepi sekali. Saat melaju di jalan menuju pelabuhan itu menjelang pukul 07.00, saya hampir tak berpapasan dengan kendaraan lain. Jarak juga lumayan jauh dari Kuala Pembuang, ibukota Kabupaten Seruyan. Segintung terletak sekitar 21 kilometer arah barat Kuala Pembuang. Sepanjang sembilan kilometer sebelum pelabuhan jalan belum beraspal, hanya jalan dengan pengerasan tanah dan batu-batu kerikil.

Sekitar pelabuhan lahan kosong, hanya ditumbuhi ilalang dan belukar. Sebagian kecil tampak kebun pisang. Pemandangan seperti ini pula yang mengapit gerbang selamat datang di Pelabuhan Segintung.

Mengapa pelabuhan di kawasan sunyi ini dibangun? Ada kaitan dengan perkebunan sawit dibuka besar-besaran di Seruyan?

Darwan memang menjanjikan pembangunan pelabuhan untuk meyakinkan investor perkebunan sawit menanamkan modal di daerah in pada periode pertama menjabat sebagai bupati. Pelabuhan itu dijanjikan dengan berbagai kemudahan regulasi untuk melancarkan ekspor sawit.

Bupati pertama kabupaten yang terbentuk pada 2002 ini mengeluarkan banyak izin untuk perkebunan sawit. Dalam laporan investigasi The Gecko Project dan Mongabay, mengungkap, izin perusahaan sawit itu adalah perusahaan milik keluarga dan kroninya. Perusahaan-perusahaan cangkang itu lalu dijual kepada perusahaan besar lain, baik nasional maupun internasional.

Marianto Sumarto, mantan Ketua DPC PDI Perjuangan Seruyan, pernah mendukung Darwan Ali sebagai bupati Seruyan dulu, mengaku tak heran bila Darwan jadi tersangka. “Kalau dia tersangka, buat saya memang sudah layak. Selama dia menjabat 10 tahun, dua periode, banyak permainan yang sifatnya itu enggak mengikuti mekanisme aturan. Dia main by pass terus, potong kompas,” katanya, di Kuala Pembuang, Rabu (16/10/19).

“Tujuannya baik sih. Dia ingin membangun. Cuma membangun enggak menggunakan mekanisme. Menggunakan ego pribadi sebagai kepala daerah.”

Dia bilang, lebih parah saat dia mengeluarkan izin-izin prinsip untuk perusahaan sawit. Saat itu, katanya, dia sempat mengumpulkan sekitar 57 izin prinsip.

Untuk kasus Pelabuhan Segintung, sebenarnya KPK sejak lama sudah mengendus modus korupsi ini. Dari laporan Antara, menyebutkan, KPK menugaskan tim ke Seruyan pada 2014, untuk mengumpulkan keterangan dugaan penyimpangan pembangunan Pelabuhan Teluk Segintung anggaran 2007-2010.

“Pertengahan Agustus lalu, memang ada Tim KPK ditugaskan ke sana,” kata Johan Budi, juru bicara KPK kala itu.

 

Kapal layar motor yang sandar di Segintung mengangkut kayu. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Bupati Sudarsono, sempat tersangka

Belum jelas bagaimana hasil penyelidikan KPK, ada drama lain. Bupati Sudarsono (2013-2018) yang menggantikan Darwan Ali, jadi tersangka oleh kepolisian terkait Pelabuhan Segintung.

Sudarsono jadi tersangka karena dianggap wanprestasi, tak membayarkan uang kepada kontraktor pembangunan Pelabuhan Segintung, SKJ, sebesar Rp34,7 miliar lebih.

Uang sebesar itu harus dibayarkan Pemkab Seruyan setelah SKJ memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Sampit. Pengadilan meminta sisa pembayaran pekerjaan proyek Segintung harus dibayar. Pemerintahan Sudarsono sebenarnya menganggarkan uang itu pada 2014. Sampai akhir tahun, uang tak dibayarkan pada SKJ. Hal inilah yang membuat kontraktor melapor ke Bareskrim Polri, dan jadi alasan Sudarsono jadi tersangka.

Pada 23 Maret 2016, setelah jadi tersangka penggelapan uang, Sudarsono mengeluarkan siaran pes panjang terkait kasus ini. Berdasarkan rillis itu, Sudarsono menjelaskan penangguhan pembayaran karena ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pelaksanaan proyek multiyears Pelabuhan Segintung.

Dia menjelaskan, pada 15 Agustus 2012, masih era Bupati Darwan Ali, terbit laporan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Seruyan 2011 bernomor: 29.C/LHP/XIX.PAL/08/2012. Dalam laporan itu, banyak temuan terkait proyek pembangunan Pelabuhan Segintung.

Salah satu rekomendasi, BPK meminta Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Seruyan mempertanggungjawabkan pembayaran klaim proyek pembangunan Pelabuhan Segintung yang terealisasi Rp12 miliar. Rekomendasi itu meminta uang kembali ke kas daerah, dan sisanya tak dibayarkan.

Sebelumnya pada 2011, bupati dan DPRD Seruyan menyetujui perjanjian pembayaran atas klaim SKJ sebesar Rp46,747,4 miliar untuk pekerjaan periode 2007-2010 yang telah selesai. Pada 28 November 2011, Pemkab Seruyan membayar Rp2 miliar. Pada 21 Maret 2012, Pemkab Seruyan kembali menggelontorkan pembayaran Rp10 miliar.

Karena temuan BPK itu, pembayaran tersendat. Ini yang membuat SKJ menggugat Pemkab Seruyan secara perdata ke Pengadilan Negeri Sampit. “Pada 3 Mei 2013, Pengadilan Negeri Sampit mengabulkan sebagian gugatan SKJ dan memerintahkan kepada Pemerintah Seruyan membayarkan klaim sisa pembayaran Rp34,747 miliar,” kata Sudarsono, ketika itu.

Pada 13 Mei 2013, Pemerintah Seruyan banding atas putusan PN Sampit. Belakangan, pada 28 Juni 2013, permohonan banding dicabut sendiri oleh Pemerintah Seruyan, hingga putusan PN Sampit memiliki kekuatan hukum tetap (inkrahct).

Pada 23 Juli 2013, Sudarsono yang berpasangan dengan Yulhaidir dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Seruyan. Bupati pertama di Kalimantan Tengah dari jalur perseorangan ini pun mewarisi masalah utang proyek Segintung. Menghadapi dilema antara peringatan BPK dan putusan pengadilan, Sudarsono mengaku berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dirjen Anggaran Daerah.

Dia meminta petunjuk terkait penganggaran dan pembayaran utang kepada pihak ketiga. Dia juga meminta fatwa Mahkamah Agung soal penundaan eksekusi. Mahkamah Agung malah menyerahkan masalah ini ke PN Sampit.

Sudarsono lalu menyiapkan anggaran Rp34,7 miliar itu pada 2014 untuk persiapan pembayaran. Namun, dia memutuskan, sebelum pembayaran, meminta BPK untuk audit investigasi terhadap pelaksanaan proyek Segintung.

 

Pintu gerbang ke kawasan Pelabuhan Segintung. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Audit BPK

Hasilnya, BPK menyampaikan banyak temuan dalam proyek ini. Dalam proses lelang hingga pengerjaan banyak disebut tak sesuai ketentuan. Proses ini meliputi, perusahaan (ada enam) yang terlibat pelelangan tidak memenuhi syarat, kemampuan dasar pemenang lelang tak mencukupi, empat penawar lelang yang dimintai konfirmasi menyatakan tak pernah memasukkan penawaran.

Lalu, SKJ tak memiliki pengalaman teknis dalam pembangunan dermaga di tepi laut, terindikasi pembuat keenam dokumen penawaran hanya satu pihak, pemenang lelang ditetapkan oleh kepala dinas. Juga, penandatangan kontrak tak menggunakan pendapat ahli hukum profesional, dan jaminan pelaksanaan dikeluarkan oleh perusahaan asuransi.

Selain itu, ditemukan masalah lain seperti, addendum (penambahan nilai) kontrak lebih dari 10% dari nilai awal. Addendum itu juga tidak diikuti penambahan jaminan pelaksanaan, dan tak diikuti perpanjangan jaminan pelaksanaan. Kemudian, dinilai ada kerugian dan pemborosan keuangan daerah karena kesalahan hitung secara kompleks, antara lain terdapat perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang dalam analisis dihitung ganda Rp4,02 miliar lebih. Juga ada pemborosan daerah Rp12,6 miliar lebih.

Seluruh temuan itu, jadi bahan bagi Pemerintah Seruyan di bawah Sudarsono untuk Peninjauan Kembali di MA. “Temuan audit investigasi BPK RI ini kemudian jadi novum (bukti baru) oleh Pemerintah Seruyan. Selain itu, temuan audit investigasi BPK juga jadi salah satu landasan hukum, bupati dan DPRD Seruyan, sepakat tak lagi mengalokasikan anggaran Rp34,7 miliar pada APBD 2015.

Argumentasi rinci itu tak lantas membuat peninjauan kembali berhasil. Pada Januari 2017, Pemkab Seruyan akhirnya membayarkan utang pada SKJ. Pemkab Seruyan harus membayar sekitar Rp50 miliar, termasuk denda keterlambatan. Rupanya, hampir tiga tahun setelah itu, KPK membuktikan proyek Segintung memang bermasalah. Darwan Ali dan Direktur SKJ, Tju Miming Aprilyanto jadi tersangka.

Saya sempat mengontak Sudarsono soal kasus yang pernah menimpanya. Lewat pesan Whatsapp , menjelaskan kasus dia sudah ditutup oleh Mabes Polri. Dia tak mau komentar banyak soal Darwan terjerat KPK. “(Menjadi) tersangka dengan tidak salah saja sakit. Apalagi.. Jadi no coment,” tulis Sudarsono, pada 19 Oktober lalu.

 

Beroperasi dan pengembangan

Kendati sarat masalah, pimpinan daerah Seruyan saat ini tetap meneruskan cita-cita Darwan Ali. Kementerian Perhubungan pun sudah menetapkan status pelabuhan baru ini sebagai pelabuhan pengumpul. Status ini sama dengan Pelabuhan Sampit dan Pelabuhan Kumai, yang jadi andalan Kalimantan Tengah, sejauh ini.

Per Agustus 2019, pelabuhan itu telah resmi beroperasi. Yulhaidir, Bupati Seruyan meresmikan Pelabuhan Segintung pada 2 Agustus 2019. Hari itu, ada uji bongkar barang di Dermaga Segintung. Satu kapal tongkang, mengangkut material berbobot 10.000 ton sukses merapat dan bongkar di dermaga. Uji sandar dan bongkar-muat itu meyakinkan Yulhaidir, Pelabuhan Segintung, sudah bisa berfungsi.

Zuly Eko Prasetyo, Ketua DPRD Seruyan saat ini, berharap, pembangunan Pelabuhan Segintung terus lanjut. Dia menyayangkan, kalau dana besar yang sudah tersedot sia-sia. Lebih-lebih, pelabuhan ini perlu untuk mengatasi kelesuan ekonomi Seruyan. Sama dengan keinginan pendahulunya, buat melancarkan lalu lintas hasil perkebunan sawit.

“Bisa dilihat di Kuala Pembuang, kalau enggak ada pelabuhan ya begitu- begitu saja. Maka, pemda terus menggenjot jalan arah Kuala Pembuang ke Telaga Pulang.”

Dia berharap, pelabuhan bisa berfungsi maksimal jadi pelabuhan sawit atau mintak sawit mentah (crude palm oil/CPO). “Di Seruyan kan banyak PBS (perusahaan besar sawit-red). Siapa tahu, pemda bisa mengalihkan bongkar muat itu ke pelabuhan. Dampaknya, bagi masyarakat itu ekonomi menguntungkan dengan ada akses pelabuhan,” kata Zuly, melalui sambungan telepon.

Senada disampaikan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Seruyan, Budi Purwanto. Dia bilang, Seruyan yang terbentuk pada 2002 memerlukan percepatan pembangunan. Dia melihat, Kuala Pembuang merupakan ibukota kabupaten di Kalteng paling dekat dengan laut hingga layak ada pelabuhan.

Budi juga menganggap, Pelabuhan Segintung penting karena akan jadi pelabuhan ekspor potensial, terutama CPO, selain pelabuhan penumpang dan barang-barang lain.

“Kota-kota yang memiliki pelabuhan laut akan cepat tumbuh dan berkembang. Akan jadi pintu gerbang laut untuk masuk ke Kalteng,” katanya, melalui pesan WhatsApp.

Selain itu, kata Budi, dibanding pelabuhan lain di Kalteng, Segintung berjarak relatif lebih dekat ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa. Kondisi ini, katanya, bisa membuat biaya angkut lebih murah, cepat, dan efisien.

Bupati Yulhaidir pun mengemukakan optimisme saat membuka operasional Pelabuhan Segintung. “Ini pelabuhan laut dan tak sulit lagi bagi kapal ataupun tongkang-tongkang bongkar muat di sini. Tidak perlu lagi masuk ke sungai. Tidak nunggu pasang-surut. Dalam keadaan surut pun masih bisa bongkar muat. Sandar pun masih bisa,” katanya, seperti disiarkan kanal Youtube SMTV Seruyan.

Seruyan tampaknya memang memerlukan terobosan jitu dalam pembangunan. Marianto juga berpandangan serupa. Menurut Ketua Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Seruyan ini, sejak era penebangan kayu berakhir, ekonomi masyarakat lebih buruk. Kehadiran sawit tak serta-merta mendongkrak ekonomi mereka. Mayoritas masyarakat hanya jadi buruh sawit, dan tak memadai.

Sebelum berbeda sikap politik dari Darwan Ali, Marianto pernah mengusulkan pembangunan pabrik CPO mini. Tujuannya, mengakomodasi masyarakat pekebun kecil agar mendapat penghasilan, dan lapangan pekerjaan tersedia. “Saya bilang, ginilah, sekarang kayu alih fungsi jadi perkebunan. Masyarakat suruh ikut.”

 

Sungai Seruyan di tepi Kuala Pembuang, tak jauh dari muara laut Jawa. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Kalau dibanding era keemasan kayu, pendapatan buruh lapangan sawit tak lebih baik bila dibandingkan dengan mereka yang hanya bekerja di penggergajian kayu (sawmill)–tak turut menebang kayu di hutan.

Namun, katanya, masyarakat terlalu terlena dengan penghasilan mudah dari kayu saat itu. Ketika larangan kayu diperketat, mereka tak siap.

Marianto bilang, Kuala Pembuang tak banyak perubahan karena ekonomi masyarakat tak banyak berubah. “Sekarang duit yang beredar di ibukota Seruyan cuma duit gaji ASN. Memang ada proyek pembangunan, tapi belanja enggak 100% di daerah. Ada di Sampit, di Jawa.”

Pada era kayu, peran Kuala Pembuang, cukup vital. Hasil produksi kayu sepanjang DAS Seruyan pasti bermuara di Kuala Pembuang. Kayu bisa di-loading di Muara Sungai Seruyan, lalu ke Kuala Pembuang pindah kapal besar atau kecil.

Era sawit, situasi berbeda. Jalur transportasi darat lebih ekonomis dibanding sungai. Tak heran banyak produksi sawit Seruyan mengalir melalui Pelabuhan Sampit, Kotawaringin Timur dan Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat. Kedua pelabuhan ini terkoneksi sangat baik dan dekat dengan jalan nasional yang melintasi Kalimantan Tengah.

Meski disebut relatif punya keunggulan sebagai pelabuhan di tepi laut lepas, Segintung jauh dari sumber utama yang hendak diangkut. Saat ini, untuk sampai ke Kuala Pembuang, sebagian besar orang Seruyan, harus memutar lewat Sampit, Kotawaringin Timur. Jarak jalan darat Sampit–Kuala Pembuang lebih dari 150 kilometer. Jarak dari Kecamatan Seruyan Tengah, Hanau, Danau Seluluk, Danau Sembuluh, dan Seruyan Raya, merupakan penghasil sawit terbesar di Seruyan pun, makin jauh. Aspek inilah yang jadi kelemahan Pelabuhan Segintung. Banyak hasil sawit Hanau, Seruyan Tengah dan hulu, justru diangkut ke Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, karena jarak lebih dekat.

“Sekarang yang nyata jalannya itu belum. Kenapa pelabuhan dulu?   Paling enggak kuatkan dulu akses jalannya. Ini kok pelabuhan dulu? Ada apa? Kalau bagi saya, pertanyaan juga. Kalau akses jalan sudah dibikin bagus permanen, kira-kira untuk tangki 8 ton, 10 ton bisa lewat, baru pikirkan pelabuhan,” kata Marianto.

Pemkab Seruyan, menyadari kelemahan aspek darat itu. Budi Santoso menjelaskan, saat ini dibangun jalan darat dari Segintung ke Jalan Trans Kalimantan. “Untuk menuju ke kecamatan di atas akan melewati Desa Bangun Harja, hingga Simpang Bangkal (jalan nasional poros selatan) kurang lebih 140 kilometer. Jadi tidak melewati Ujung Pandaran (Kotawaringin Timur).”

“Ini jalan provinsi, yang akan menghubungkan dengan kecamatan-kecamatan kami yang ada di utara. Nantinya, jalan ini akan dilalui untuk mengangkut hasil-hasil dari Seruyan dan sekitar menuju Pelabuhan Segintung. Jalan ini sudah ada badan jalannya, sudah fungsional. Cuma di beberapa ruas belum bisa dilalui kendaraan bertonase besar, seperti truk CPO. Ruas jalan ini sekarang sedang digarap, baik oleh dana APBD Seruyan maupun APBD provinsi,” kata Budi.

Selain aspek darat, sejatinya yang bersentuhan langsung dengan fungsi kepelabuhan pun masih perlu banyak pembenahan. Kolam sandar Pelabuhan Segintung, misal, belum dibentengi pemecah gelombang (break water). Dengan dermaga yang menjorok ke tengah laut, melintang utara-selatan di Laut Jawa, tiupan kencang angin dari barat atau timur bisa menimbulkan gelombang yang dapat menghempas lambung kapal ke dermaga.

Andi Patinggi, nakhoda KLM yang sandar mengatakan, saat musim angin barat, kapal menanggung risiko lebih tinggi untuk sandar ke Segintung. Menurut dia, bila berlindung di sisi dermaga yang menjauh dari ombak, tambatan kapal pun berpotensi putus.

Andreas Sarita, Kepala Dinas Perhubungan Seruyan, menyadari kekurangan ini. Dia belum dapat memastikan kapan pemecah ombak di Pelabuhan Segintung, bisa dibangun karena biaya sangat mahal.

“Bikin pemecah gelombang itu sama dengan membuat pelabuhan lagi satu. Jadi, mungkin nanti tetap diperhatikan. Cuma berbicara masalah anggaran, itu yang sampai sekarang belum,” katanya.

Dari sisi kedalaman pun, meski di tepi laut lepas, Pelabuhan Segintung, sebenarnya juga punya keterbatasan. Tak lantas dengan dermaga menjorok jauh ke laut, membuat kapal besar bisa sandar tiap saat. Hal itu Toto Hardianto, nakhoda kapal tongkang bermuatan 10.000 ton, saat uji sandar pertama 2 Agustus 2019.

“Kedalaman kita maksimum kalau lagi muat full, 5,50 meter. Tapi di sini kemarin saat air surut 4,6 meter. Saat air surut tidak bisa penyandaran, karena tongkang kita besar. Kalau untuk penyandaran kita tunggu saat air pasang,” katanya, di hadapan Bupati Yulhaidir, sebagaimana disiarkan SMTV Seruyan.

Belum lagi kekurangan fasilitas lain, seperti terminal, gudang penyimpanan, instalasi air, dan bahkan listrik. Yang jelas, Pemkab Seruyan tetap mendesain pelabuhan ini untuk pengembangan lebih luas. “Telah dicadangkan lahan seluas lebih kurang 2.500 hektar sebagai kawasan pengembangan pelabuhan,” kata Budi.

Andreas bilang, dalam master plan sudah ada alokasi peruntukan lahan, misal, ada kawasan hijau. “Bahkan, zaman Pak Sudarsono, ada komitmen investor yang mau menanamkan modal. Itu cadangan lahan insentif bagi investor yang mau menanamkan modal di dalam itu.”

Sepintas lalu, Pelabuhan Segintung seolah-olah berdiri di lahan kosong tak bertuan. Tak begitu. Secara administratif, pelabuhan ini masuk Desa Sungai Perlu. Desa ini memiliki hamparan pantai yang panjang.

Kepala Desa Sungai Perlu, Hasanuddin, bilang, panjang pantai sekitar 100 kilometer, sampai perbatasan Kotawaringin Barat, di dalam Taman Nasional Tanjung Puting.

Pemukiman awal Desa Sungai Perlu, berada dalam TN Tanjung Puting kini hanya dihuni segelintir warga. Sebagian bermukim di sekitar Pelabuhan Segintung. “Yang aktifnya di sana kalau tidak salah tujuh keluarga. Kalau dulu 30-an, 20 tahun lewat. Sekarang, pindah ke Kuala, KTP tetap Sungai Perlu. Di sana 32 keluarga dulu. Di sini, 38 keluarga,” kata Hasannudin.

Dua titik pemukiman itu berjarak sekitar 57 kilometer. Tidak ada akses jalan darat memadai di sana. Hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor saat air laut surut. Keinginan warga memperoleh jalan darat terganjal status taman nasional. “Tiga puluh dua kilo tidak ada akses jalan,” kata Hasanuddin.

Sungai Perlu dihuni sejak 1916. Samudin, adalah nama leluhur Sungai Perlu dan tokoh sejarah di Kuala Pembuang yang membuka perkampungan itu. Samudin diabadikan jadi nama jalan di kota Kuala Pembuang. “Datuk saya, Samudin membuka Sungai Perlu untuk kebun kelapa dan mencari ikan,” kata Hasanudin.

Segintung sampai dengan 1980-an masih kebun kelapa. Hasanuddin tak tahu mengapa pelabuhan dipilih di Segintung. “Sebenarnya rencana awal pelabuhan itu di Kuala (Pembuang), di Teluk Jamban, tambak orang banyak itu. Terus rencana kedua Sungai Patin. Perubahan ke sini tak ada sosialisasi pada masyarakat yang memiliki tanah.”

Masyarakat Sungai Perlu, katanya, tak keberatan pembangunan Pelabuhan Segintung. Namun, katanya, mereka ingin tanah yang dikuasai warga mendapat ganti rugi. Saat ini, proses pendataan oleh pemerintah kabupaten untuk pembebasan lahan.

“Kemarin sudah diumumkan, yang punya surat tanah, suruh kumpul ke desa, yang bersangkutan dengan Sungai Perlu untuk pendataan,” katanya.

 

***

Mendung menggantung kala saya berada di Pelabuhan Segintung, pertengahan Oktober lalu. Pagi itu, suasana sepi meski sudah beroperasi. Hanya ada petugas ticketing di gerbang menuju dermaga. Akankah Pelabuhan Segintung tetap sepi sesunyi proses lelang proyek ini?

Rencana pengembangan kawasan pelabuhan sampai 2.500 hektar, jangan sampai jadi ruang-ruang korupsi baru, kerusakan lingkungan dan konflik di masyarakat…

 

Keterangan foto utama: Dermaga Pelabuhan Segintung Kabupaten Seruyan yang menjorok ke laut. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Dermaga Pelabuhan Segintung Kabupaten Seruyan yang menjorok ke laut. Pelabuhan begitu sepi, hanya ada beberapa kapal sandar. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version