Mongabay.co.id

Ada Apa di Balik Persidangan Kasus Perdagangan Kulit Harimau di Sumut?

Rifa'i hakim memimpin sidang memegang barang bukti tengkorak kepala harimau Sumatera milik Pardamenta Sembiring. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pardamenta Sembiring, penjual dua lembar kulit dan satu tengkorak kepala harimau Sumatera, menerima vonis delapan bulan, denda Rp10 juta, subsider satu bulan penjara di Pengadilan Negeri Stabat, Sumatera Utara, akhir Oktober lalu.

Ternyata cerita persidangan ini belum usai. Kala itu, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Stabat Rumondang Siregar, menuntut Pardamenta satu tahun penjara, denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim menjatuhi vonis dua per tiga lebih rendah dari tuntutan jaksa.

Jaksa menerima putusan hakim. Ternyata, Pardamenta merasa vonis terlalu lama. Dia mengira hukuman tak sampai lima bulan penjara. Meski begitu dia menerima vonis hakim. Dia sudah jalani tahanan 3,5 bulan jadi 4,5 bulan lagi bebas.

Baca juga: Vonis 8 Bulan buat Penjual Kulit dan Tengkorak Kepala Harimau

Sebuah pertanyaan muncul dari Setia Malem, ibu Pardamenta, warga Dusun Bandarmeria Kutambalu, Langkat. Wagimin, Kepala Desa Koperas, Merike, Langkat, menyatakan itu Kamis siang (31/10/19) usai putusan dibacakan majelis hakim.

Dia bilang, jaksa menemui keluarga Pardamenta, dan diduga menjanjikan menuntut rendah kalau bisa menyiapkan uang Rp15 juta. Kalau dipenuhi, jaksa akan menuntut terdakwa di bawah enam bulan penjara.

Wagimin bilang, ibu Parda panik karena tak punya uang sebanyak itu. Setia Malem akhirnya menemui Wagimin dan meminjam uang untuk sang jaksa yang menangani perkara anaknya. Wagimin menyanggupi.

Ada dua kali pemberian uang kepada jaksa. Menurut Wagimin, pemberian uang pertama oleh Setia Rp11 juta di Kantor Kejari Stabat, bersebelahan dengan Pengadilan Negeri Stabat. Sisanya, Rp4 juta, Wagimin yang berikan langsung

“Uang itu aku berikan langsung pada jaksa,” katanya, seraya bilang penyerahan uang di Tanjung Langkat, dekat Marike. Dia masuk ke mobil jaksa dan memberikan uang kekurangan.

Dia bilang, saat jaksa menentukan harga Rp15 juta untuk meringankan hukuman, sebenarnya keluarga Parda hanya bisa Rp5 juta. Kalau hanya sebesar itu, hukuman penjara 8 bulan. Kalau Rp15 juta, dituntut dan vonis antara 4-5 bulan penjara. Akhirnya sepakat Rp15 juta.

 

Pardamenta pakai baju merah sesaat setelah ditangkap dengan barang bukti 2 kulit serta tengkorak kepala harimau Sumatera. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Saat dikonfirmasi atas pengakuan, Wagimin, raut wajah Rumondang, sontak berubah. Ketika ditanya apakah benar menerima uang Rp15 juta untuk meringankan tuntutan dan hukuman Pardamenta, dia membantah.

“Tidak benar. Tidak benar. Kalau untuk ini, silakan izin ke pimpinan kami dulu,” katanya singkat.

Ketika disebutkan kalau dugaan terima uang itu dari pengakuan si pemberi uang, dia baru bicara. Dia bilang, tak mengenal terdakwa maupun keluarganya. Tidak ada permintaan uang untuk meringankan hukuman, apalagi menerima Rp15 juta agar bisa tuntut rendah.

“Kalau sampai kepala desanya mengaku memberikan uang itu pada saya, dia juga bisa kena.”

Penangkapan Pardamenta oleh petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), pada Selasa (2/7/19) di Desa Marike, Kutambaru, Langkat. Dia memiliki dua lembar kulit harimau Sumatera tanpa izin, dan akan dijual. Dari tangan petani ini, petugas juga berhasil mengamankan satu tengkorak harimau Sumatera.

Saya mengikuti proses persidangan sejak dakwaan hingga vonis hakim. Harimau ini diduga hasil buruan dari Taman Nasional Gunung Leuser.

Pemeriksaan saksi-saksi dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), pemeriksa ahli hingga terdakwa sudah dilakukan. Majelis hakim awalnya dipimpin Rifa’i berganti ke Anita Silitonga, karena hakim Rifa’i berhalangan. Sidang dakwaan hingga memberikan hak pembelaan kepada Pardamenta dengan menghadirkan saksi meringankan.

Jaksa sempat empat kali menunda persidangan. Dua kali tanpa pemberitahuan kepada majelis hakim yang memegang perkara. Majelis hakim menunggu hingga sore pukul 17.00 tetapi jaksa tak menampakkan diri. Hakim sempat marah karena tak ada pemberitahuan.

 

Tengkorak kepala harimau Sumatera yang diamankan dari Pardamenta Sembiring yang mau jual ke petugas menyamar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Terdakwa juga tak tampak di ruang tahanan sementara PN Stabat, padahal di agenda persidangan jadwal tercantum.

“Ini kok gak ada kabar jaksanya sidang atau tidak ini? Coba dulu hubungi JPU Pak Panitera,” kata Anita.

Untuk menelusuri kasus ini, saya menantau Kantor Kejari Stabat, terletak persis bersebelahan dengan PN Stabat. Ada warga juga kerabat terdakwa Pardamenta masuk ke Kantor Kejari Stabat. Orang itu ternyata Wagimin.

Wagimin juga tampak mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Jalan Abdul Haris Nasution Medan.

Julheri Sinaga, praktisi hukum pidana Sumut menyatakan, ada keganjilan dalam perkara perdagangan dua kulit harimau dan tengkorak ini.

Pertama, soal ada keluarga diwakili kepala desa menemui jaksa, jauh-jauh dari desa mereka, menuju ke Kota Medan dengan jarak sekitar tiga jam. Hal ini, katanya, patut dipertanyakan.

Kedua, pasca bertemunya perwakilan terdakwa dengan jaksa penuntut umum, pembacaan tuntutan ditunda berkali kali hanya karena alasan rencana tuntutan jaksa (rentut) belum turun.

“Kalau sampai ada bukti kuat jaksa melakukan negosiasi dan meminta imbalan, itu bisa dikategori dugaan korupsi, karena itu termasuk gratifikasi dan atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal seperti ini sudah jadi rahasia umum,” katanya.

Soal rentut yang jadi alasan, katanya, memang ada aturan tersendiri bagi internal kejaksaan. “Yang dilihat sekarang terkesan kurang bagus ketika sidang ditunda tanpa ada pemberitahuan.”

Dia bilang, perlu ada pemeriksaan internal terhadap jaksa yang menangani perkara ini, karena dianggap memperlama proses persidangan. “Adukan jaksanya ke jaksa bagian pengawasan.”

 

Keterangan foto utama: Rifa’i hakim memimpin sidang memegang barang bukti tengkorak kepala harimau Sumatera milik Pardamenta Sembiring. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version