Mongabay.co.id

Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Nasional Tidak Beres?

 

Pengelolaan sumber daya perikanan sampai saat ini dinilai masih belum berjalan dengan baik. Meski sudah ada regulasi yang mengatur tentang hal tersebut, tetapi pengelolaannya masih dinilai tumpang tindih. Padahal, pengelolaan yang benar, menjadi kunci untuk pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada di laut Nusantara.

Hal tersebut diungkapkan Penasihat Publik Pusat Transformasi Kebijakan Publik Abdul Halim di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, salah satu indikator ketidakberesan pengelolaan sumber daya perikanan, adalah penyebutan definisi nelayan skala kecil atau tradisional yang ada di pesisir Indonesia sekarang ini.

“Ada dua definisi berbeda tentang nelayan skala kecil ini,” ucap dia.

Pertama, seperti tertuang dalam Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan, definisi nelayan skala kecil adalah mereka yang menjalankan profesi sebagai nelayan pencari ikan di laut dan menggunakan kapal ikan berukuran di bawah 5 gros ton (GT).

Definisi tersebut kemudian diperbarui melalui UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam UU tersebut, nelayan skala kecil disebutkan adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan dengan menggunakan kapal ikan berukuran di bawah 10 GT.

Perbedaan definisi tersebut, bagi Abdul Halim menjadi penanda bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia saat ini. Untuk itu, Pemerintah Indonesia dinilai perlu untuk meninjau kebijakan tentang wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI yang saat ini jumlahnya ada sembilan dan menyebar di 34 provinsi.

“Sebelum diberlakukan ke daerah, perlu peninjauan ulang,” tuturnya.

Menurut dia, peninjauan kembali perlu dilakukan, karena itu menyangkut dengan kepentingan masyarakat pesisir yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan kecil. Dengan peninjauan ulang, maka diharapkan akan ada penyeragaman definisi nelayan skala kecil dan bagaimana perannya dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.

baca : Negara Butuh Pelaku Usaha untuk Kembangkan Potensi Laut

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

 

Sinkronisasi

Dengan dilakukan penyeragaman definisi, Halim menyebut bahwa itu akan menciptakan sinkronisasi regulasi tentang sumber daya perikanan yang berlaku saat ini dan akan datang. Pada akhirnya, regulasi diharapkan akan bisa berjalan baik saat diterapkan di daerah yang menjadi ujung tombak dari pengelolaan sumber daya perikanan.

“Pola kelembagaan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupatena atau Kota juga akan lebih positif akhirnya,” sebutnya.

Bagi Halim, membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat pesisir dan nelayan adalah kunci untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya perikanan dengan baik. Untuk itu, regulasi yang relevan dan sinkron juga sangat dibutuhkan, karena itu akan berdampak pada banyak hal, seperti alokasi dana perimbangan yang disalurkan kepada daerah.

Adapun, dampak yang dimaksud, adalah tidak terlaksananya sasaran pembangunan untuk sektor perikanan yang sebelumnya sudah disusun oleh provinsi. Kemudian, alokasi dana tidak terserap, dan terhambatnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap yang menjadi andalan untuk masyarakat pesisir.

Selain dari regulasi yang belum seragam, Halim menyatakan, pengelolaan sumber daya perikanan juga harus melakukan reposisi dengan menyesuaikan kondisi sekarang. Penyesuaian itu, terutama berkaitan dengan penataan WPP RI yang saat ini berjumlah sembilan dan itu dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.

“Padahal, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/2014 sudah mengamanatkan bahwa WPP RI adalah berjumlah sebelas,” katanya.

Halim menilai, sejak Permen KP tersebut diterbitkan lima tahun lalu, tidak terlihat ada dorongan yang kuat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkaitan dengan rencana tersebut. Padahal, BAPPENAS sudah menyebut bahwa 11 WPP RI menjadi rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

Dengan memaksimalkan potensi WPP yang ada melalui penambahan jumlah, maka itu dinilai akan memberi keuntungan kepada Indonesia dalam mengelola sumber daya perikanan. Terlebih, karena wilayah laut Indonesia merupakan wilayah yang luas dan potensi sumber daya ikan yang ada di dalamnya juga sangat besar.

Dengan menambah jumlah WPP RI, Halim menyebut bahwa itu juga menjadi langkah yang baik untuk menyeimbangkan kebijakan serupa yang sudah dilakukan oleh negara tetangga, Filipina. Sejak Januari 2019, negara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Utara itu sudah mengubah peta WPP mereka menjadi 12.

“Salah satunya itu yang berpusat di General Santos, kepulauan Mindanao, yang berhadapan langsung dengan Sulut. Di sana, mereka menyiapkan kapal ikan hingga berukuran lebih dari 100 GT untuk menjelajahi potensi laut di wilayah laut lepas mereka,” jelas dia.

“Mereka menyiapkan kapal hingga berukuran lebih dari 100 GT,” katanya.

baca juga : Optimisme Para Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan dengan Program Menteri Baru

 

Pekerja mereparasi kapal nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Maluku Utara

Salah satu WPP RI yang dinilai memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan, adalah WPP RI 715 yang meliputi Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau. Dalam Keputusan Menteri KP No.107/2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP-TCT), WPP RI 715 ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan RPP-TCT.

Provinsi yang masuk dalam WPP RI 715 itu, menurut Peneliti Transformasi Aizah Fajriana, tidak lain adalah Maluku Utara yang sejak lama menjadi pemasok TCT untuk kebutuhan pasar dalam negeri. Selain Malut, provinsi lain yang masuk dalam WPP RI 715 adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua Barat. Sesuai kewenangan, provinsi-provinsi tersebut memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya ikan di sana.

Adanya kewenangan tersebut, mengacu pada UU No.23/2014 tentang perubahan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah karena pengelolaan urusan perikanan tangkap di wilayah perairan lebih dari 12 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Begitu juga dengan penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai 30 GT, itu kewenangan Pemprov.

Sementara, untuk pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil dan penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT, dan di bawah 30 GT yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing, maka kewenangannya ada pada KKP.

Hanya saja, Halim menambahkan, meski wilayah laut Malut memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, sampai saat ini masih ada sejumlah kendala yang sering kali muncul. Terutama, berkaitan dengan pola hubungan komunikasi antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan juga masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan.

perlu dibaca : Tangkap Ikan Pakai Bom dan Potasium Masih Marak di Maluku Utara

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Di Malut, nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan kapal ikan berukuran di bawah 30 GT, biasanya mereka akan masuk ke wilayah perairan di atas 12 mil laut. Meski itu tidak dibolehkan, namun para nelayan biasa beralasan bahwa mereka mencari ikan dengan menghitung titik koordinat dari asal keberangkatan.

Biasanya, kata Halim, setelah surat laik operasi (SLO) dari Syahbandar kepelabuhan diterbitkan, para nelayan akan berangkat dan tidak akan kembali ke pelabuhan asal. Sebagai gantinya, biasanya para nelayan akan berlabuh ke pulau dan setelahnya kemudian melanjutkan pelayaran mencari ikan dari titik awal keberangkatan di pulau tersebut.

“Dengan alasan dihitung dari titik berangkat tersebut, mereka bisa berlayar lebih dari 12 mil laut,” tegasnya.

Selain hal di atas, Halim menambahkan, hal lain yang juga bisa ditemukan di Maluku Utara, adalah keberadaan nelayan andon yang tidak lain adalah nelayan pendatang dari luar Malut yang mencari ikan di wilayah perairan Malut. Sejauh ini, nelayan andon yang mendapatkan izin resmi berasal dari Jawa Barat.

Tetapi, menurut dia, keberadaan nelayan andon juga berpotensi akan bermasalah di kemudian hari. Terutama, jika dikaitkan dengan penghitungan hasil tangkapan yang didapat para nelayan pendatang itu. Bisa jadi, hasil tangkapan tersebut langsung dibawa ke Jabar, meski itu berasal dari laut Malut. Dengan demikian, pendataan hasil tangkapan juga berpotensi sulit didapatkan dari mereka.

 

Exit mobile version