Mongabay.co.id

Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya?

 

 

Siang panas penyengat. Tidak terlihat tegakan pohon besar, hanya tanaman kopi mendominasi. Wilayah ini adalah Pekon Tebaliokh, Kecamatan Skala Brak, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, yang posisinya dikelilingi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].

Edi Mulato, Pendamping Program Sekolah Lapang Pekon Tebaliokh dari Yayasan Badak Indonesia [YABI] mengatakan, sebanyak 156 keluarga menggantungkan hidupnya pada kebun kopi.

Setiap warga memiliki 1-2 hektar lahan marga yang turun-temurun mereka kelola. Tetapi, produktivitasnya hanya 6-7 kuintal per tahun, dengan jumlah tegakan pohon sebanyak 2.500 batang.

Menggarap kawasan hutan serta membangun gubuk-gubuk, dilakukan masyarakat untuk menjawab persoalan yang mereka alami, meningkatkan panen kopi. Tapi, kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu rusaknya hutan TNBBS.

Baca: Mangrove Pasir Sakti yang Kini Hijau Lagi

 

Sejumlah petani di Tebaliokh, Lampung Barat sedang mempraktikkan cara memangkas ranting pohon kopi. Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia

 

Edi mengatakan, berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sekitar 21.900 hektar kawasan TNBBS dirambah masyarakat. Sementara, 57 persen dari 39.000 hektar hutan lindung kondisinya rusak.

“Produktivitas kopi yang menurun membuat mereka naik ke kawasan dan berkebun di sana,” katanya, baru-baru ini.

Hadirnya sekolah lapang, menurut dia, memberikan solusi optimalisasi panen kopi agar tidak lagi menggantungkan perekonomian pada hutan.

“Di sekolah lapang, ada pembelajaran memperbaiki genetika tanaman, mengendalikan penggunakan pupuk kimia, menghadapi hama, dan layanan penyuluhan,” katanya.

Baca: Ada Badak Sumatera di Motif Batik Lampung, Begini Kreasinya

 

Kopi yang menjadi andalan masyarakat Lampung Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kopi agroforestri

Saat kami datang ke Pekon Tebaliokh, bertepatan dengan jadwal pelaksanaan sekolah lapang. Hampir separuh peserta yang hadir adalah kelompok perempuan. Mereka membawa tas berisikan buku tulis, pena, serta gunting ranting dan arit.

Kartini, siswa sekolah lapang mengatakan, banyak hal yang tidak diketahuinya tentang kebun kopi. “Selama ini, apa yang kami praktikkan salah. Kopi tidak berbuah seperti yang diharapkan dan tidak jarang kami menggantungkan nasib kepada bos [tengkulak] untuk menyambung hidup,” katanya.

Mereka tak hanya belajar merawat kebun dengan memotong ranting untuk merangsang tunas baru. Tetapi juga, belajar menghidupi perekonomian kelompok di bawah naungan Koperasi Simpan Usaha [KSU] Kopi Bubuk.

Hal yang sama dikatakan Samsi, petani kopi sekaligus peserta pelatihan yang kebunnya dijadikan plot sekolah lapang. “Selama ini cara kami mengelola kebun kopi kurang tepat. Kami belum berani memangkas ranting, akibatnya daunnya banyak dan rantingnya panjang, sementara buahnya tidak maksimal,” ujarnya.

Ahmad Erfan, pelatih sekolah lapang, memaparkan yang menjadi masalah utama kebun kopi di Lampung Barat, khususnya Desa Tebaliokh, bukan paska panen. Tetapi, jumlah produksinya yang rendah, saat ini hanya 600 kg/hektar.

“Peserta sudah bisa menilai produksi kebunnya. Misal, di lahan seluas 20×20 meter yang menjadi plot, ternyata hanya 22 dari 100 batang kopi yang baik. Sementara, untuk mencapai produksi buah yang optimal diperlukan 16-18 cabang pada setiap batang pohon,” jelasnya.

Selain kopi yang hanya panen setahun sekali, Erfan juga mendorong lahan dikelola dengan sistem agroforestry, untuk memberikan pemasukan tambahan. Misalnya, dengan menanam cabai dan pohon penaung yang dapat dimanfaatkan seperti alpukat, durian, sengon, semendo, dadap, dan lamtoro.

“Tanaman cabai, durian, dan lainnya dapat memberikan pemasukan saat paceklik, sehingga hasil produksi lahan optimal,” ujarnya.

Baca juga: Pertanian Berkelanjutan: Untuk Keamanan Pangan atau Untuk Ketahanan Petani?

 

Konsep keamanan pangan harus sejalan dengan ketahanan petani. Di sisi lain masih banyak petani kecil di Indonesia yang hidupnya dalam kerentanan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Beras organik menekan laju perambahan

Sekolah lapang juga dikembangkan di Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh [BNS] dengan pendampingan WWF, untuk pengembangan produktivitas beras organik sejak 2012.

Sugihartono, pengajar dalam program Sekolah Lapang Beras Organik mengatakan, pengembangan beras organik sejak dua tahun terakhir diminati dua Kecamatan di Lampung Barat. Total lahan 50 hektar.

“Awalnya mengalami kendala, karena kebanyakan petani ingin hasil instan. Sementara, pengelolaan padi organik butuh kesabaran yang hasil panennya lebih maksimal,” ujarnya.

Mengembangan beras organik, dalam dua kali panen hanya butuh Rp500 ribu, sedangkan pertanian konvensional lebih Rp1 juta. “Sekali panen bisa memproduksi 4,5 sampai 6 ton per hektar saat musim kemarau. Jika memasuki penghujan, sawah saya panen hingga 9,8 ton,” katanya lagi.

Praktis, pertanian beras organik di dua kecamatan tersebut, mampu menyediakan 2-3 ton per bulan dengan harga berkisar Rp12 ribu sampai Rp17 ribu per kilogram, di tangan konsumen.

“Petani padi oranik sangat sibuk, sehingga mereka tidak lagi berpikir untuk merambah hutan. Kami menekankan pengurangan kerusakan ekosistem, kemudian kualitas produk serta meminimalisir biaya produksi,” tuturnya.

Kesibukan petani organik sekitar empat bulan lamanya. “Mulai mengamati perkembangan tanaman, hama dan penyakit budidaya, membuat pupuk sesuai kondisi tanaman, mengembangkan jamur bakteri pengendali hama dan penyakit, penyiangan rumput di sawah, membersihkan pematang sawah, panen lalu menjemur padi,” terangnya.

 

Padi organik yang menguning di Kecamatan Suoh, Lampung Barat, Lampung. Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia

 

Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi

Kabupaten Lampung Barat memiliki luas 4.950,40 [13,99 persen dari luas Provinsi Lampung]. Sekitar 57 persennya berupa kawasan hutan dan hutan lindung. Sementara 43 persen merupakan lahan yang dialokasikan untuk permukiman, pertanian, dan lainnya.

Sekretaris Bappeda Kabupaten Lampung Barat, Eric Enrico mengatakan, sebelum dimekarkan, Kabupten Lampung Barat memiliki ekosistem hutan paling lengkap. Lampung Barat juga sebagai penghasil oksigen dan juga cachment area yang berperan sebagai penyangga kehidupan. Kabupaten ini merupakan hulu tiga daerah aliran sungai [DAS] di Lampung yakni DAS Semaka, DAS Tulang Bawang, dan DAS Musi [Danau Ranau].

“Tiga filosofi ini yang menjadi dasar strategis Kabupaten Lampung Barat menjadi kabupaten konservasi. Keinginan ini sudah dirintis sejak 2004 dan telah tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 48 Tahun 2009 tentang Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi,” kata Enrico.

Peraturan tersebut, diperkuat kebijakan pemerintah dengan mewujudkan setiap pembangunan berwawasan lingkungan dan mitigasi bencana. “Dalam peraturan itu ditekankan, setiap penggunaan anggaran pemerintah harus berspektif konservasi,” terangnya.

Dia menambahkan, yang menjadi tantangan Kabupaten Koservasi adalah mewujudkan ekonomi dan sosial masyarakat berpandangan konservasi. “Kami menerima banyak masukan berbagai pihak agar hutan tetap terjaga dan masyarakat sejahtera,” ujarnya.

Pemerintah Lampung Barat pada tiga tahun terakhir fokus pada peningkatan indeks kualitas lingkungan yang diukur dari kualitas tutupan lahan, udara dan air. Upaya tersebut dilakukan melalui gerakan menanam pohon dengan harapan kualitas lingkungan semakin baik.

 

 

Exit mobile version