Mongabay.co.id

Bom Waktu: Api yang Menghancurkan Habitat Harimau dan Gajah Sumatera

 

 

Kebakaran hutan yang seperti mengamuk di musim kemarau di Indonesia, pada September dan Oktober, telah menyebabkan kerusakan bahkan di kawasan lindung. Dampak kebakaran yang sangat merusak di Sumatera Selatan, telah membakar sekitar delapan persen Taman Nasional Sembilang, menurut data satelit dan pengamat setempat.

Kebakaran yang juga sekaligus terjadi bersamaan dengan pembalakan liar di daerah tersebut beserta konversi hutan sekunder dan lahan semak menjadi perkebunan sawit, terus mengancam kelangsungan hidup satwa liar terancam punah seperti gajah sumatera, subspesies dari gajah asia, dan harimau sumatera. Tapir yang juga terancam punah, serta beberapa spesies primata umum lainnya, juga memang diketahui menghuni kawasan taman nasional tersebut.

Sebelumnya, tidak diketahui jumlah pasti populasi gajah di Taman Nasional Sembilang. Tetapi, sebuah penelitian yang diterbitkan Mei di Jurnal Biovalentia: Penelitian Biologis telah menemukan empat individu gajah di taman nasional itu selama lebih enam hari pengamatan, awal 2019.

Studi ini memperkirakan, ada enam hingga 10 individu gajah di area taman nasional. Mulai dari bagian utara Sungai Sembilang ke selatan Sungai Bungin dan pedalaman ke arah barat, yang taman tersebut berbatasan dengan perkebunan sawit PT. Raja Palma.

 

Kelompok gajah liar di Hutan Desa Sebokor, bagian Suaka Margasatwa Padang Sugihan – Sebokor, yang terletak dekat Taman Nasional Sembilang. Foto: Faizal Abdul Aziz/CIFOR

 

Donny Gunaryadi, Sekretaris Forum Gajah Indonesia, mengatakan kepada Mongabay bahwa pemerintah saat ini sedang menyelesaikan rencana aksi 10 tahun untuk perlindungan gajah sumatera yang diharapkan dimulai tahun depan.

Rencana tersebut kemungkinan akan berkonsentrasi pada pelestarian populasi gajah di Provinsi Aceh, di ujung utara Sumatera, Riau di tengah-tengah pulau, dan Jambi, yang terletak di selatan Riau dan utara dari Provinsi Sumatra Selatan, yang merupakan rumah bagi Taman Nasional Sembilang.

“Populasi kian menurun,” kata Gunaryadi, yang telah memberikan konsultasi dan rekomendasi pada rancangan kebijakan, diperkirakan sekarang ada 1.400 gajah di Sumatera, yang menurun dari 2.400 individu dibandingkan satu dekade lalu.

Pada 1980-an, ketika Indonesia meluncurkan program transmigrasi besar-besaran untuk memukimkan orang-orang dari daerah yang lebih padat di Jawa ke pulau-pulau lain seperti Sumatera, diperkirakan ada 4.000 gajah di pulau itu. Namun, konflik antara manusia dan gajah atas lahan dan tanah meningkat dengan adanya pembangunan permukiman, dan populasi gajah menurun.

“Ini adalah penurunan sangat drastis dalam 10 tahun,” kata Gunaryadi. “Beberapa masalahnya berasal dari perburuan liar, tetapi juga [gajah] tidak memiliki habitat yang aman di kebanyakan daerah.”

 

Habitat harimau dan gajah yang kemungkinan terdampak kebakaran

Kondisi populasi harimau di Sembilang selama kebakaran belum diketahui pasti. The Zoological Society of London memiliki tim yang terus mengikuti perkembangan populasinya di wilayah tersebut, tetapi mereka belum dapat diwawancarai.

“Meskipun kami bekerja langsung di lapangan dan terkena dampak kebakaran hutan seperti yang lainnya, [staf kami di sana] belum melakukan analisis atau pemantauan spesifik terhadap kebakaran hutan di Berbak Sembilang,” terang Emma Ackerley, staf pers ZSL, kepada Mongabay.

Namun, data dan citra satelit menunjukkan kebakaran mungkin berdampak besar pada harimau di taman nasional. Total, ada sekitar 20.000 hektar – sekitar 30 persen – habitat harimau di Sembilang terbakar antara Agustus dan September, menurut data University of Maryland, NASA, dan LSM WWF dan RESOLVE, dan citra dari Planet Labs.

 

Data satelit menunjukkan luas area deforestasi yang disebabkan kebakaran di kedua ujung Taman Nasional Sembilang. Kebakaran di utara telah menyapu sebagian hutan primernya, yang merupakan habitat harimau dan gajah sumatera yang terancam punah. Sumber: GLAD/UMD, diakses melalui Global Forest Watch

 

Citra satelit menunjukkan api telah meluas ke hutan primer akhir Oktober. Sumber: Planet Labs.

 

Otoritas Taman Nasional Berbak Sembilang tidak menanggapi beberapa permintaan untuk memberi komentar atas situasi tersebut.

Yoga Travolindra, peneliti dari Forum Konservasi Gajah untuk studi yang mengidentifikasi gajah di taman nasional, telah berada di area sekitar taman nasional beberapa minggu terakhir. Dia mengatakan kepada Mongabay bahwa api kecil kemungkinannya membunuh gajah karena umumnya kebakaran terjadi di daerah bakau, yang bukan merupakan habitat utama gajah.

Travolindra mengatakan, sementara harimau yang menggunakan area bakau, tidak ada bukti kematian dalam pengamatan di lapangan baru-baru ini.

“Masalah utama gajah sumatera saat ini adalah habitat dan ekosistemnya terganggu konversi lahan, dari hutan sekunder dan semak belukar menjadi perkebunan sawit, yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang beroperasi di sekitar taman nasional,” kata Travolindra.

“Saat ini, beberapa masalah di taman nasional merupakan perambahan kawasan, pembalakan liar, dan juga penggunaan kapal pukat [cantrang] besar dalam penangkapan ikan,” menurutnya.

Namun, data satelit menunjukkan bahwa sementara api terkonsentrasi di dalam dan sekitar hutan bakau pada awal tahun, kemudian kebakaran berpindah menuju ke hutan pedalaman – termasuk area yang oleh Organisasi Pangan dan Pertanian [FAO] PBB dinyatakan sebagai habitat gajah.

 

Kekeringan yang lebih kering dari biasanya

Travolindra mengatakan, api kemungkinan berasal dari kebakaran yang sengaja dibuat untuk membuka lahan pertanian. Ditambah musim kemarau yang lebih kering dari biasanya dan cadangan gambut bawah tanah, kebakaran ini menyebar di luar kendali, menambah luas area yang jauh lebih besar dari yang awal diprediksi.

“Secara umum, kebakaran tahun ini jauh lebih kering dibandingkan beberapa tahun terakhir,” kata Arief Wijaya dari World Resources Institute Indonesia kepada Mongabay. “Daerah-daerah di Sumatra Selatan menampung sejumlah besar lahan gambut dan sangat rentan terhadap kebakaran, dan keduanya [Taman Nasional Sembilang dan Berbak di utara] cukup didominasi gambut.”

 

Bagian dari Suaka Margasatwa Padang Sugihan di Sumatera Selatan yang rusak akibat penebangan liar dan kebakaran hutan. Foto: Faizal Abdul Aziz/CIFOR

 

Indonesia memiliki simpanan gambut di bawah tanah yang luas, hasil vegetasi yang mati ratusan hingga ribuan tahun. Biasanya, tergenang air dan terbatas pada rawa, upaya di seluruh negeri untuk mengeringkan rawa dan membuatnya cocok untuk pertanian dan penebangan telah mengeringkan banyak lahan gambut Indonesia.

Ketika kering, gambut sangat mudah terbakar, dan kebakaran gambut sangat sulit dikendalikan. Krisis kebakaran Indonesia tahun 2015, yang berkontribusi pada kematian dini lebih dari 100.000 orang sebagian besar menyalahkan pada kebakaran hutan di lahan gambut yang dikeringkan, disebabkan oleh pertanian tebang dan bakar.

Bukti Bagja, land-use accountability manager di World Resources Institute Indonesia, mengatakan ada korelasi kuat antara kebakaran baru-baru ini dan kegiatan deforestasi ilegal dekat Taman Nasional Sembilang.

“Pola kebakaran di daerah ini iasanya terjadi satu atau dua bulan sebelum musim hujan datang,” kata Bagja. “Bagi saya ini menunjukkan bahwa orang-orang sedang mempersiapkan tanah untuk musim hujan [ketika musim hujan tidak mungkin dibersihkan].”

Bagja mengatakan pemerintah telah berusaha mengembalikan lahan gambut tersebut setelah kebakaran 2015 yang menghancurkan dan membakar penjuru Indonesia, tetapi pemulihannya terbukti sulit dilaksanakan. “Pemblokiran kanal drainase yang telah digali di seluruh wilayah belum cukup untuk memulihkan tingkat air karena musim kemarau yang hebat, dan beberapa lahan gambut telah diklaim dan dibuka oleh penduduk setempat untuk pertanian dan penggunaan lainnya,” kata Bagja.

 

Kurang dari 1.000 individu harimau sumatera hidup di Sumatera saat ini, dengan perkiraan sekitar 330 individu. Foto: Steve Wilson/Wikimedia Commons [CC BY 2.0]

 

“Masalah utama adalah selama musim kemarau, dari apa yang kita pahami, ada penurunan muka air yang terus menerus,” kata Bagja. “Ketika daerah tersebut menghadapi musim kemarau panjang, maka permukaan air berkurang 1 atau 2 cm per hari, dan dengan sistem saluran saat ini, pertanyaannya adalah bagaimana menjaga daerah gambut dan area budidaya tetap lembab.”’

 

Koridor habitat vital ditengah ancaman

Kebakaran juga dilaporkan merusak habitat gajah di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, yang terletak di tenggara Sembilang dan berfungsi sebagai koridor gajah liar di Sumatera Selatan.

Sebuah laporan memperkirakan, setengah dari wilayahnya mengalami kerusakan akibat kebakaran. Karena gajah di Sumatera Selatan memiliki jangkauan luas, sulit untuk menentukan dengan tepat bagaimana dampak terkini populasinya.

Seperti halnya Sembilang, Padang Sugihan mengalami masalah terkait pengeringan lahan gambut dan perambahan hutan oleh industri dan masyarakat. Di masa lalu, sebagian besar telah dilindungi, bahkan dengan anggaran terbatas untuk konservasi, menurut Michael Allen Brady, pimpinan ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional [CIFOR].

 

Gajah ini bernama Ken. Ia lahir di Suaka Margasatwa Padang Sugihan dan menikmati berenang di rawa gambut, yang terancam karena kebakaran dan konversi lahan. Foto: Rifky/CIFOR.

 

Namun, perlindungan ini tidak membantu mencegah kebakaran yang merusak hutan tahun ini.

“Kami dapat memastikan, ada banyak kebakaran di Padang Sugihan dua bulan terakhir,” kata Brady.

“Salah satu alasannya, pembakaran yang sering terjadi karena mereka menggali saluran tersebut melalui tujuh kanal utama, dan ratusan kanal tersier,” katanya. “Yang juga ditebang tahun 70-an dan dikonversi menjadi lahan transmigrasi dan kemudian mereka memutuskan untuk tidak mengembangkannya dan mengembalikannya ke Kementerian Kehutanan. Sayangnya, mereka mengeringkannya tetapi mereka belum menebangi hutan, dan hutan gambut yang sudah dikeringkan itu pada dasarnya bom waktu.”

Setelah daerah tersebut ditetapkan sebagai suaka margasatwa, militer menggiring gajah ke daerah tersebut awal 1980-an dan pemerintah menyatakan suaka tersebut sebagai habitat gajah. Brady mengatakan bahwa setelah ini, pemerintah menunjuk unit manajemen untuk gajah, membangun kompleks perkantoran di perbatasan taman nasional dan mendorong kunjungan publik, tetapi situasi “telah memburuk” dalam beberapa tahun terakhir ke titik unit tersebut tidak lagi berfungsi.

“Sayangnya, tidak ada pemantauan sistematis terhadap populasi [gajah] di cagar alam, tetapi jelas populasi itu telah berubah dari sekitar 400 menjadi sekitar selusin,” kata Brady.

Yusuf Samsudin, spesialis gajah CIFOR, setuju: “Polisi setempat mengatakan hanya ada sekitar 12 individu tersisa sekarang.”

 

Dua langkah ke depan, menjadi satu langkah kemunduran

Peraturan yang diberlakukan setelah kebakaran 2015 secara luas melindungi lahan gambut yang kaya karbon dengan harapan menghentikan kebakaran terjadi lagi. Tetapi, peraturan ini direvisi April tahun ini, membatasi perlindungan pada “kubah gambut,” atau area lapisan gambut lebih tinggi secara topografis daripada tepi lahan gambut sekitarnya. Beberapa sumber mengatakan eksploitasi lahan gambut dan kebakaran semakin intensif setelah kebijakan dibatalkan.

 

Pemandangan pagi Sungai Sebokor di Sumatera Selatan, diselimuti kabut dan pepohonan. Foto: Faizal Abdul Aziz/CIFOR.

 

Menurut Wijaya, masalah tata kelola penggunaan lahan jangka panjang perlu ditangani di daerah yang terkena dampak kebakaran. Termasuk, peningkatan kejelasan tentang akses ke tanah yang dilindungi, penyelesaian masalah yang melibatkan klaim yang tumpang tindih, dan memperkuat kebijakan perencanaan tata ruang.

Bagja merekomendasikan penjangkauan melalui sistem pendidikan. Dia mengatakan, masyarakat lokal dan penegakan hukum lambat beradaptasi dengan perubahan kondisi, dan perlu lebih sadar bahwa lahan gambut sekarang lebih kering ketimbang dua atau tiga tahun lalu.

“Harapan kami di Indonesia adalah adanya kesadaran dan pengetahuan menghindari kebakaran, di setiap rumah tangga di seluruh Indonesia,” kata Bagja. Mereka harus memahami bahwa kerugian dalam penggunaan api lebih besar dari keuntungannya. Faktanya adalah masih ada kesenjangan besar dalam pemahaman atas pengetahuan tersebut.

“Mereka pikir mereka dapat mengendalikan api, tetapi pernyataan ini tidak valid karena situasinya berubah.”

 

Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

 

Exit mobile version