Mongabay.co.id

Para Perempuan Lombok Pelestari Tenun Pewarna Alam

Proses pewarnaan benang menggunakan bahan dari batang pepohonan. Yang banyak digunakan adalah banten, mahoni, kapuk, dan jati. Tanaman ini ditanam di kebun dan pinggir jalan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Empat remaja tampak membawa ember dan parang. Mereka menyusuri pematang sawah di Dusun Penyampet, Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Hari itu sekolah libur. Empat remaja yang masih duduk di bangku SMA ini dapat tugas mencari kulit batang kapuk randu atau kapuk (Ceiba pentranda) yang banyak ditanam di sekitar pematang sawah dan pinggir jalan di kampung mereka.

Desa Setanggor, dengan tanah lebih kering dan cuaca lebih panas, membuat tanaman kapuk jadi pilihan untuk menghijaukan lahan. Kapas kapuk juga bernilai ekonomis tinggi. Ia jadi isi kasur, bantal, dan aneka produk rumah tangga lain.

Parang menebas kulit batang kapuk dan memasukkan ke ember. Mereka terus menelusuri pematang sawah untuk mencari pohon banten (Lannea coromandelica). Kulit pohon yang biasa jadi pagar itu dikuliti, lalu masukkan juga ke ember.

Setelah cukup, remaja ini kembali ke tempat mereka kumpul. Di sana rekan mereka sudah mengumpulkan dedauan dan beberapa jenis tanaman. Ada kangkung Jawa (kangkung pakan ternak), kunyit, daun jambu biji, daun mahoni, daun pacar, daun jati dan kulit batang pisang diiris tipis.

Bahan-bahan ini dipilah di beberapa ember kecil. Perempuan lain, yang tak mencari bahan menyiapkan panci berisi yang mulai dipanaskan. Satu perempuan yang jadi pimpinan kelompok menginstruksikan memasukkan bahan-bahan tadi.

Dia mengecek berulang kali setiap panci dan meminta menambahkan air. Pada panci lain, dia meminta menambahkan bahan. Setelah beberapa menit, air dari hasil rebusan tadi ditiriskan dan tuang ke ember. Setelah itu, benang polos tanpa warna direndam ke ember berisi air rebusan bahan-bahan tadi.

“Masing-masing bahan ini menghasilkan warna berbeda,’’ kata Hernawati, perempuan yang memimpin pewarnaan benang itu.

Hernawati mengatakan, daun tarum (Indigofera tinctoria) hasilkan warna biru kuat. Kangkung Jawa menghasilkan warna hijau. Kulit banten menghasilkan warna merah muda. Dengan tambahan zat fiksasi, warna merah muda berubah jadi coklat.

Kunyit sejak lama jadi perwarna alami untuk kuning. Batang pisang hasilkan warna putih tulang. Daun mahoni untuk warna coklat. Daun jambu biji buat warna kuning pudar.

“Nanti zat pengunci warna itu yang akan menentukan,’’ katanya.

Mereka pakai kapur sebagai zat pengunci warna (fiksasi). Warna benang yang sudah direndam air dari rebusan bahan-bahan alami, kalau diberi kapur akan menghasilkan lebih keras, misal, warna kuning pudar, diberi kapur terlihat lebih keras. Besi sulfat jadi fiksasi untuk warna lebih keras, dan tawas jadi fiksasi untuk warna lebih pudar.

Hernawati bertugas mengontrol fiksasi yang digunakan dan berapa gulung benang harus menggunakannya. Ia terkait rencana corak tenun yang akan dibuat.

 

 

Tanaman kunyit. Hampir seluruh tanaman untuk bumbu dapur bisa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Pewarna alam, warisan leluhur

Hernawati mendampingi kelompok-kelompok penenun di Lombok Tengah, yang ingin pakai pewarna alam. Sebelum ada benang pabrik warna-warni seperti saat ini, leluhur penenun Lombok pakai bahan pewarna alam.

Benang pun dari olahan sendiri dari kapas. Praktik memintal benang dari kapas ini masih ditemui di beberapa rumah penenun. Aktivitas memintal benang dengan mesin sederhana itu jadi salah satu jualan paket wisata di desa tradisional Sade, tak jauh dari Setanggor.

Proses memintal benang perlu kesabaran tinggi. Sedikit keliru bisa menyebabkan benang putus. Pewarnaan pun memakan waktu cukup lama. Untuk proses pencelupan warna saja perlu sehari penuh. Benang belum bisa langsung ditenun. Perlu beberapa hari agar benar-benar warna menyatu dengan benang.

Untuk proses menenun dengan benang pewarna alam ini harus hati-hati khawatir warna rusak ketika ditenun. Apalagi, kalau benang dari olahan sendiri, harus lebih hati-hati karena lebih rapuh.

“Kalau sudah jadi kain, warna ini akan bertahan. Malahan makin lama makin bagus. Kelihatan klasik,’’ kata Hernawati.

Para penenun di Lombok Tengah, mulai sadar, warisan leluhur, tenun ikat dengan pewarna alam mulai hilang. Kebanyakan mereka pakai benang dari pabrik karena dinilai lebih praktis dan murah.

Berbeda jauh dengan mengolah sendiri benang dan pewarna alam. Harga jual tenun pewarna alami lebih mahal, sebanding dengan proses yang lama.

“Bisa dua kali lipat harganya.”

Hernawati aktif mengkampanyekan penggunaan benang dipintal sendiri dan pewarna alami sejak 2013. Dia juga aktif melatih para penenun untuk meramu warna-warna alami. Awalnya, hanya hasilkan sedikit warna, seiring waktu warga makin variatif.

Temuan warna-warna baru ini hasil diskusi dengan para penenun senior dan ujicoba di lapangan. Para orangtua masih ingat bahan-bahan kulit pohon, daun, biji, akar, dan bahan pohon lain yang menghasilkan warna tertentu.

Untuk memudahkan mengingat bahan untuk menghasilkan warna itu, mereka membuat katalog berisi jenis bahan alam dan fiksasi.

Katalog ini juga untuk memudahkan mencari bahan pewarna alami baru. Kalau ada tanaman sekitar yang belum dicoba, bisa ujicoba. Kalau hasilkan warna baru bisa masuk daftar katalog. Kalau warna sama dengan bahan lain, akan jadi daftar tambahan.

Bahan-bahan yang dipakai untuk pewarna alam ini berasal dari tumbuhan di sekitar rumah warga. Ada yang tumbuh liar, ada juga ditanam dari sayuran, bumbu masak, sampai pakan ternak.

Selain pakai bahan-bahan dari alam, perempuan di Setanggor ini juga membuat motif tenun terinspirasi dari alam. Salah seorang perempuan yang dianggap sebagai “master” dalam membuat motif adalah Minasih.

Perempuan lulusan SD ini belajar menenun dari nenek dan ibunya sejak sekolah dasar. Awalnya, dia menenun sesuai pesanan orangtua. Dia diminta menenun motif-motif yang sudah dikenal. Setelah tamat SD, Minasih tidak melanjutkan sekolah. Orangtuanya tak ada biaya. Dia fokus jadi penenun.

 

Warna biru dan hijau biasanya didapatkan dari hasil rebusan dedaunan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Awalnya, dia mencoba membuat motif sendiri. Motif ini dikenal dengan sebutan gun. Minasih mengamati binatang sekitar. Dia tidak menulis atau menggambar motif. Dia langsung membuat gun, rangkaian sulaman benang yang akan jadi motif.

Minasih mencoba membuat motif kepiting. Beberapa kali mencoba berhasil. Dia mencoba motif naga, matahari, cangkir, bulan, bulan kuring, bulan anggrek. Nama-nama motif itu diberikan oleh warga, sesama penenun yang melihat hasil kerja Minasih.

“Kalau saya lihat sesuatu saya pikirkan, lalu besoknya saya coba,’’ kata Minasih.

Di kalangan penenun di Desa Setanggor, Minasih salah satu kreator berbagai motif. Dia mengajarkan motif itu ke penenun lain. Kadang kala, dia diminta untuk membuatkan motif.

Selain mendapatkan uang dari hasil tenunan, Minasih juga dibayar atas jasa membuat motif. Salah satu motif cukup rumit adalah motif naga. Minasih mendapat jasa Rp40.000 dari bikin motif ini.

“Saya belajar otodidak, kalau ada contoh kain juga saya lihat besoknya saya coba,’’ kata Minasih menuturkan proses kreatifnya membuat motif.

 

***

Lale Fatma adalah perempuan yang menghabiskan masa kecil di desa dengan warga banyak menenun. Dia pernah bekerja di sektor pariwisata sambil kuliah di Turki. Kemudian mendapatkan beasiswa S2 di Australia. Setamat dari Australia, Lale Fatma kembali ke kampung halaman.

Di sela-sela jadi dosen di salah satu kampus swasta di Mataram, bersama suaminya, Toni, sering pulang kampung. Dia mengajak para remaja termasuk mahasiswanya belajar tenun ikat pewarna alam ini.

Sebagai barter mereka mau ikut dalam kegiatan belajar tenun ikat pewarna alam ini, Lale Fatma dan Toni, memberikan kursus bahasa Inggris gratis.

“Selain belajar bahasa, mahasiswa dan pelajar ini juga bisa mempelajari langsung proses tenun ikat,’’ katanya.

 

Para perempuan penenun di Desa Setanggor, Kabupaten Lombok Tengah, menjemur benang yang sudah diwarnai dari pewarna bahan alam. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tidak semua perempuan di desa mau menjadi penenun. Makin tinggi pendidikan, makin tidak mau jadi penenun. Pekerjaan penenun identik dengan perempuan tak berpendidikan dan miskin.

Padahal, katanya, menenun ini bukan sekadar pekerjaan juga bagian dari merawat tradisi. Hal itulah yang jadi alasan Lale mau terjun mendampingi kelompok perempuan yang mengembangkan tenun perwarna alam.

Kalau anak-anak muda tak mau meneruskan tradisi ini, dia khawatir tenun ikat Lombok akan hilang, berganti buatan mesin. Sekarang, katanya, sudah bisa terlihat, kain oleh-oleh produksi luar Lombok dan buatan mesin.

Untuk meningkatkan nilai tambah tenun, para perempuan ini juga didorong mengembangkan produk lain, seperti tas, dompet, dan hiasan lain.

Pelatihan pembuatan produk inilah yang jadi kendala. Belum banyak pelatihan, kalau adapun sangat terbatas. Padahal, katanya, dengan pembuatan produk berbahan tenun ikat ini bisa menaikkan keuntungan dibandingkan sekadar menjual kain.

Beberapa perancang busana juga gunakan produk tenun ikat mereka. Menurut Lale, pameran dari desainer itu hanya membantu promosi, mengenalkan ada tenun ikat satu daerah.

Keuntungan besar bisa didapat, katanya, kalau penenun sendiri yang membuat produk dari bahan tenun mereka.

Lale juga membantu pemasaran kain tenun ini. Dia memanfaatkan jaringan alumni kuliah dan pelaku wisata, dengan mempromosikan tenun ikat pewarna alam ini sebagai gaya hidup baru. Dia bilang, dengan merawat tradisi lewat tenun sekaligus peduli lingkungan.

Kain tenun ikat pewarna alam ini mengurangi beban lingkungan dari proses pembuatan benang maupun kain oleh pabrik-pabrik. Proses penyadaran ini, katanya, memang tak mudah.

Lale yakin, kalau konsumen makin sadar betapa penting menjaga lingkungan, mereka akan beralih ke tenun ikat pewarna alam.

“Sekarang makin banyak yang membuat tenun pewarna alam ini,’’ katanya.

 

Keterangan foto utama: Proses pewarnaan benang menggunakan bahan dari batang pepohonan. Yang banyak digunakan adalah banten, mahoni, kapuk, dan jati. Tanaman ini ditanam di kebun dan pinggir jalan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menenun adalah pekerjaan utama para perempuan di beberapa desa di Kabupaten Lombok Tengah. Bagi perempuan kepala keluarga, menenun adalah hidup mereka. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version