- Sebuah kajian menemukan, energi terbarukan dapat menjadi pilihan kompetitif dan hemat biaya daripada pembangunan bertumpu bahan bakar fosil. Kajian yang melibatkan Danish Energy Agency ini dilakukan di empat daerah, yakni, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Gorontalo (SulutGo).
- Laporan ini menyajikan tiga skenario “what-if” hingga tahun 2030 untuk jangka pendek, dan 2050 untuk jangka panjang, yang bisa digunakan melihat dampak potensi dan dinamika evolusi sistem energi dalam kondisi tertentu.
- Kajian ini merekomendasikan keempat daerah meninjau kembali kebijakan PLTU dalam RUED mereka, bukan hanya alasan lingkungan dan perubahan iklim juga keekonomian. Daerah juga diminta mempertimbangkan bikin kajian lebih detil soal potensi pembangkit energi terbarukan yang bisa dibangun.
- Alberto Dalla Riva, analis energi dari Energy Agency mengatakan, pembiayaan batubara akan makin sulit ke depan. Saat ini, setidaknya, 100 lembaga keuangan sudah tak mau membiayai proyek batubara baru.
Kedutaan Denmark bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLN daerah dan Dewan Energi Nasional membuat kajian potensi pembangunan sistem tenaga listrik dalam jangka menengah dan jangka panjang. Mereka menganalisis jalan paling murah, terjangkau, dan ramah lingkungan. Hasil kajian ini menemukan, energi terbarukan dapat menjadi pilihan kompetitif dan hemat biaya daripada pembangunan bertumpu bahan bakar fosil.
Kajian yang melibatkan Danish Energy Agency ini dilakukan di empat daerah, yakni, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Gorontalo (SulutGo).
Mengapa energi terbarukan, bukan fosil? Alberto Dalla Riva, analis energi dari Energy Agency mengatakan, pembiayaan batubara akan makin sulit ke depan. Saat ini, setidaknya, 100 lembaga keuangan sudah tak mau membiayai proyek batubara baru.
“Selain komitmen dalam Perjanjian Paris, penambahan PLTU sebelum 2030 diperkirakan menyebabkan 24.000 kematian dini,” kata Alberlto saat peluncuran Energy Outlook untuk empat daerah di Indonesia, akhir November lalu.
Laporan ini menyajikan tiga skenario “what-if” hingga tahun 2030 untuk jangka pendek, dan 2050 untuk jangka panjang, yang bisa digunakan melihat dampak potensi dan dinamika evolusi sistem energi dalam kondisi tertentu.
Baca juga: Rencana Penyediaan Tenaga Listrik, Energi Terbarukan Banyak Terpangkas
Ketiga kondisi yakni skenario pertama, bussines as usual (BaU) dengan acuan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019. Kedua, dengan kondisi saat ini (current condition) sebagai asumsi acuan, dan skenario ketiga, transisi hijau (green transition) yang menunjukkan dampak dari biaya lebih rendah untuk energi terbarukan.
Secara umum pada empat daerah ditemukan, biaya dengan menggunakan energi terbarukan rata-rata lebih rendah 8% the weighted average cost of capital (WACC) dibandingkan batubara. Sebanyak 12% WACC, berkat dukungan internasional terhadap perubahan iklim, dan memasukkan biaya polusi dalam proses perencanaan.

Kalsel
“Kalimantan Selatan berpotensi melengkapi proyek pembangkit listrik uap yang akan dibangun dengan energi terbarukan yang terjangkau, terutama setelah 2024, saat kelebihan kapasitas akibat commissioning PLTU 400 megawatt sudah berkurang,” kata Alberto.
Biaya pokok pembangkitan (BPP) Kalimantan Selatan, cukup tinggi yakni Rp1.682/kWh pada 2018 dibandingkan BPP rata-rata nasional Rp1.119/kWh. Permintaan listrik saat ini di Kalsel sekitar 2,6 TWh diperkirakan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang.
Kondisi ini, katanya, memerlukan investasi besar dalam sektor infrastruktur, terutama untuk pembangkitan listrik dan jaringan transmisi.
Baca juga: PLTU Batubara Sumber Polusi, Kebijakan Pemerintah terhadap Energi Perlu Revisi
Dalam rencana saat ini, pembangunan pembangkit listrik di Kalsel untuk 10 tahun mengandalkan PLTU dan PLTG.
“Sedangkan investasi untuk energi terbarukan masih terbatas,” katanya.
Kondisi menjelang 2050, bahkan lebih ekstrem dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang merencanakan permintaan tambahan akan dipenuhi dengan PLTU baru. Target energi terbarukan yang tercantum dama RUED hanya 14% pada 2025 dan 9% pada 2050.
Ditengarai, target energi terbarukan di Kalsel rendah karena salah satu provinsi dengan cadangan batubara terbesar dan kontribusi tambang batubara dalam penerimaan daerah sangat signifikan.
Namun, salah satu kebun angin (wind farm) pertama di Indonesia juga ada di Kalimantan, yakni PLTB Tanah Laut 70 megawatt.
“Provinsi ini tak hanya punya potensi bagus untuk PLTB yang bersaing, dengan beberapa sumber angin terbaik di Indonesia, juga potensi besar untuk surya dan biomassa,” kata Alberto.
Kajian ini mencoba menyandingkan proyek-proyek PLTU yang sedang dibangun, dengan potensi angin dan surya skala besar untuk ditambahkan ke skenario transisi hijau untuk mengurangi PLTU.
Hasilnya menunjukkan, pemerintah daerah akan hemat Rp3 triliun hingga 2030, dengan memakai 34% energi terbarukan dibandingkan hanya mengacu pada RUPTL.
“Dengan memasukkan estimasi biaya polusi, skenario ketiga, transisi hijau sejauh ini merupakan opsi paling murah, dengan penghematan kumulatif tambahan Rp2 miliar dari biaya terkait kesehatan, dibanding dua skenario lain.”
Sisi lain, kalau kewajiban pasar domestik untuk batubara (DMO) tidak diperpanjang dan harga kembali mencapai kisaran US$105 per ton, biaya sistem 2020-2030 dapat meningkat lebih dari Rp14 triliun dalam skenario satu dan dua. Sementara dalam skenario tiga, hanya akan meningkat Rp11,7 triliun.
Dengan kata lain, daerah bisa hemat Rp2,7 triliun karena diversifikasi pasokan yang lebih tinggi dan meningkatnya bauran energi terbarukan dalam sistem.
Alberto menambahkan, kalau pipa gas dari Kaltim yang direncanakan beroperasi 2023, tidak dibangun, Kalsel akan punya peluang menggunakan lebih banyak energi terbarukan untuk memenuhi permintaan yang meningkat.
Bagaimana caranya? Menurut skenario tiga, dengan menambah PLTS 100 megawatt, PLTB 200 megawatt dan PLTP 40 megawatt.
Hal lain yang menjadi sorotan laporan ini, yakni emisi CO2 saat ini dari sektor tenaga listrik mencapai 2,7 juta ton.
Ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap yang sudah ada maupun yang akan dibangun, akan meningkatkan emisi dua kali lipat pada 2022 dan hampir tiga kali lipat pada 2030.
Kombinasi bauran energi terbarukan dan gas alam yang lebih besar dapat mengurangi emisi kumulatif 43% dan memungkinkan Kalsel memasok lebih dari dua kali lipat permintaan dengan tingkat emisi yang sama seperti saat ini.
Menjelang 2050, substitusi batubara dengan gas alam dan pemanfaatan tenaga surya dan bayu dalam skala besar dapat mengurangi emisi CO2 60% pada 2050 dan rata-rata menghemat Rp3,3 triliun per tahun. Dengan tambahan Rp2,4 triliun per tahun karena biaya kesehatan, dibandingkan dengan rencana semula yang tertuang dalam RUED.
“Penetrasi energi terbarukan akan optimal 24% pada 2050, sementara RUED hanya 9%.”

Riau
Riau juga punya BPP tinggi, Rp1.655/kWh pada 2018 dengan permintaan listrik saat ini 4,4 TWh dan diperkirakan juga meningkat dua kali lipat 10 tahun mendatang. Dalam jangka panjang, Riau targetkan pendapatan per kapita 7.200kWh/tahun.
Dalam RUPTL pemenuhan listrik akan dipenuhi oleh investasi batubara dan gas alam baru. Dalam RUED Provinsi Riau target 34% energi terbarukan pada 2025 dan 47% pada 2050 serta menjadikan bioenergi sebagai kontributor utama pengembangan sektor listrik.
“Target provinsi ini lebih ambisius dari pada target nasional yang tertuang dalam RUEN,” kata Alberto.
Riau, katanya, punya potensi besar penggunaan bioenergi di sektor listrik, yaitu biomassa dan biogas dari limbah residu minyak sawit yang ada. Penggunaan limbah ini, akan menghindari pembusukan dan mencegah emisi metana yang merusak iklim.
“Dengan syarat, sumber bioenergi ini harus dipastikan berasal dari sumber berkelanjutan dan tidak menambah deforestasi atau mengubah fungsi lahan.”
Sementara itu potensi tenaga angin, panas bumi, dan tenaga air di Riau, cenderung terbatas. Namun, radiasi matahari cukup tinggi di Riau untuk pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik yang layak secara ekonomi. Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Menurut kajian ini, Riau dan Sumatera, secara keseluruhan dapat mulai menempuh jalur pembangunan lebih berkelanjutan. Bauran pembangkitan energi terbarukan dapat mencapai 58% dengan skenario dua, saat ini, dan 67% dengan skenario tiga, transisi hijau.
Menurut laporan ini, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga gas akan lebih rendah dalam semua skenario karena PLTU yang lebih murah, impor dan penetrasi energi terbarukan lebih tinggi.
Batubara juga memainkan peran lebih kecil dalam skenario-skenario ini daripada dalam RUPTL. Penambahan PLTU skala besar 600 megawatt pada akhir 2020 akan meningkatkan emisi secara signifikan, menggantikan alternatif lebih murah dan bersih. Skenario optimasi paling murah ditandai oleh penggunaan energi terbarukan lebih besar hingga Riau dapat mengurangi impor dari provinsi tetangga.
Dalam kajian ini menyebutkan, di Riau, sistem tenaga listrik dengan dua pertiga energi terbarukan dapat diwujudkan sembari menghemat Rp13 triliun secara kumulatif pada 2030 dibandingkan skenario pertama. Skenario tiga, dengan BPP Rp1.004/kWh memiliki biaya tambahan Rp13/kWh jika dibandingkan skenario kedua, BPP Rp991/kWh.
“Dengan memasukkan biaya polusi, skenario ketiga sejauh ini memang opsi paling murah, dengan penghematan kumulatif tambahan sebesar Rp7-11 triliun dari biaya kesehatan. Biogas, biomassa dan surya, merupakan opsi dekarbonisasi yang bersaing.”
Ekonomi relatif untuk ketiga sumber energi ini tergantung pada biaya bahan baku (bio-feedstock) dan biaya modal. Ketersediaan residu dan harga minyak sawit sangat menentukan pilihan paling murah. Tenaga surya, katanya, didorong pengurangan biaya investasi signifikan dari waktu ke waktu, dapat jadi pilihan kompetitif bagi Riau sejak pertengahan 2020. Meskipun kualitas sumber daya ini sedikit lebih rendah dari pada provinsi tetangga.
Menjelang 2050, penggunaan solar lebih tinggi didukung penyimpanan baterai, bersama dengan biomassa dan biogas dapat menghemat Rp17-Rp18 triliun per tahun dibandingkan rencana dalam RUED. Selain itu, juga akan meningkatkan bauran energi dari 47% menjadi 60% pada 2050.
“Dekarbonisasi sektor energi jadi tantangan, karena proyeksi pertumbuhan permintaan tinggi dan potensi energi terbarukan relatif terbatas di Riau,” katanya lagi.
Efisiensi energi dan pemisahan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan tenaga listrik akan jadi faktor kunci yang berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.
Estimasi kontribusi tenaga surya terlalu rendah, baik untuk jangka menengah, terutama untuk jangka panjang. Untuk itu, katanya, harus merevisi estimasi potensi tenaga surya dalam RUEN.
Potensi PLTS sebesar 753 megawatt hanya perlu lahan kurang dari 0.01% dari total wilayah. Berbagai skenario menunjukkan, kapasitas hingga 1,7 gigawatt untuk 2030 dan 13 gigawatt pada 2050 akan optimal dan menghemat biaya pasokan listrik.

SulutGo
Begitu juga dengan Sulawesi Utara dan Gorontalo dengan BPP tahun 2018 juga cukup tinggi Rp1.918/kWh dan permintaan listrik dalam RUPTL 2180 GWh diperkirakan naik 2,5 kali lipat jadi 5.300 GWh.
Dalam RUPTL hingga 2028 rencana, dibangun penambahan PLTU dengan dukungan PLTA dan PLTS. Dalam RUED, Sulut menargetkan penggunaan energi terbarukan lebih tinggi, 46% pada 2025, 49% pada 2050. Untuk Gorontalo jauh di bawah target nasional yakni 41% pada 2050 dengan rincian 15,5% pada 2025 dan 35% pada 2050.
Di Sulut, punya potensi waduk air dan panas bumi lokal, dan Gorontalo punya sumber tenaga surya dan sedikit potensi PLTA run of river. Kedua provinsi ini, katanya, punya potensi angin tak terlalu besar tetapi bisa dieksploitasi.
Dengan kondisi standar, kata Alberto, energi terbarukan dapat memasok hingga 59% dari permintaan dengan asumsi, ada pembiayaan mendukung energi terbarukan dan memasukkan biaya polusi, 85% dari pembangkitan listrik akan menggunakan sumber terbarukan pada 2030.
Potensi tenaga air besar dapat digunakan untuk pembangkit beban dasar dan fleksibilitas, hingga membantu integrasi beragam pembangkit energi terbarukan. Beban dasar tambahan, katanya, dapat disediakan dengan memanfaatkan potensi panas bumi yang substansial.
“Sulut dan Gorontalo dapat memanfaatkan penurunan biaya pembangkitan tenaga surya hingga provinsi dapat memanfaatkan radiasi yang baik,” katanya.
Tenaga surya, kata Roberto, bisa memberi kontribusi signifikan bagi pasokan listrik pada 2030. Gorontalo bisa mengintegrasikan hingga 21% dari PLTS, sedangkan Sulut punya radiasi cukup baik untuk mencapai penerasi tenaga surya sebesar 11%.
Kalau waduk air punya tantangan sendiri baik soal lokasi dan perencanaan. Untuk tenaga angin, dapat dimanfaatkan melengkapi gas alam tambahan dan sistem SulutGo bisa mencapai penetrasi tenaga angin hingga 6%.
Di SulutGo, sistem tenaga listrik dengan 85% energi terbarukan dapat terwujud sembari menghemat Rp12,6 triliun pada 2030 dibandingkan skenario satu, bussines as usual. Bahkan, bisa hemat Rp17,4 triliun dengan memasukkan biaya kesehatan terkait polusi.
Dengan skenario tiga, transisi hijau, bisa mengurangi emisi CO2 hingga 50% dibanding skenario dua, saat ini, dengan biaya tambahan Rp27/kWh. Selain itu, penghematan terkait kesehatan sekitar Rp1,2 triliun dapat dicapai dalam 10 tahun berkat penurunan emisi polutan dalam skenario tiga, transisi hijau.
Saat membandingkan skenario paling murah dengan RUED untuk 2050, potensi penghematan signifikan dapat dicapai dengan beralih dari pembangkit listrik berbahan fosil ke bauran pembangkitan energi terbarukan beragam, termasuk penggunaan PLTS skala besar, tenaga angin, panas bumi, dan air.
Dengan skenario tiga, daerah bisa mengurangi emisi 67% sambil menghemat biaya 19% dibanding skenario satu sesuai RUED sekarang.
“Bauran energi melampaui target RUED energi terbarukan untuk kedua provinsi ini dengan pembangkitan energi terbarukan 83%, menunjukkan, target dapat direvisi agar lebih tinggi.”
Kajian ini merekomendasikan keempat daerah meninjau kembali kebijakan PLTU dalam RUED mereka, bukan hanya alasan lingkungan dan perubahan iklim juga keekonomian. Daerah juga diminta mempertimbangkan bikin kajian lebih detil soal potensi pembangkit energi terbarukan yang bisa dibangun.
Perlu investasi
Menanggapi kajian ini berbagai perwakilan PLN masing-masing daerah optimis kajian ini bisa jalan dengan syarat ada investasi membangun infrastruktur energi terbarukan.
Menurut Rudi, perwakilan PLN Riau, saat ini pembangunan PLTS di Riau masih termasuk mahal untuk diintegrasikan ke dalam sistem PLN Riau.
“Kalau ada investasi kami terbuka untuk itu,” katanya.
PLN menyadari, perlu diversifikasi sumber energi dan membuka peluang meninjau kembali RUED Riau serta evaluasi lima tahun sekali.
Hal serupa untuk Kalsel dan SulutGo. Di Sulut, PLTP Lahendong 20 megawatt mendapat penolakan dari masyarakat. Potensi lain di Kupang dan Bolaang Mongandow, masih menghadapi kendala tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan lindung dan tambang.
Begitu juga dengan Gorontalo, dalam RUED yang sudah diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri, rencana energi terbarukan masih di bawah target nasional.
Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN mengatakan, tak masalah kalau RUED sudah diserahkan ke Kemendagri.
“Yang penting harus optimis dalam implementasi,” katanya.
Alberto mengatakan, pemerintah daerah harus lebih proaktif menyiapkan kajian potensi dan kepastian regulasi untuk menarik investor.
Keterangan foto utama; PLTU Pangkalan Susu. Tampak kapal-kapal nelayan aksi di depan pembangkit. Mereka protes energi batubara dan mendesak beralih ke terbarukan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
