Mongabay.co.id

Kepastian Lahan Pangan di Ibu Kota Baru Indonesia

 

 

Pemerintah Indonesia telah menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Penajam Paser Utara [PPU] dan Kabupaten Kutai Kartanegara [Kukar]. Lahan seluas 3.059.616 hektar yang terdiri 333.306 hektar di Kabupaten PPU dan 2.726.310 hektar di Kabupaten Kukar akan dipergunakan sebagai wilayah Ibu Kota Indonesia.

Dalam suatu perpindahan, tentunya, bukan saja ada pertukaran sistem alam dan sistem manusia secara parsial yang terjadi, namun lebih dari itu, ada kondisi telecoupling. Liu et al. [2013] memberikan istilah telecoupling sebagai interaksi lingkungan dan sosial-ekonomi pada gabungan sistem alam-manusia di wilayah satu dengan lainnya yang dapat menimbulkan dampak.

Di antara sekian sektor yang terdampak akibat telecopling pemindahan ibu kota baru adalah terkait pangan yang dalam hal ini komoditas padi [beras].

Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Timur menyebut, masih ada kekurangan beras 151.976 ton pada 2017. Kondisi ini perlu diwaspadai, mengingat prediksi Bappenas, akan ada penambahan penduduk 1,5 juta di Kalimantan Timur, dengan adanya pemindahan ibu kota tersebut.

 

Laut, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Lahan pangan

Berbicara penyediaan beras, tidak bisa dilepaskanan dari penyediaan lahan pertanian padi. Terlebih, kedua kabupaten untuk Ibu Kota Negara, memiliki kontribusi penting sebagai penyedia areal panen padi. Dari 94.398,7 hektar lahan sawah dan ladang di Provinsi Kalimantan Timur, dua kabupaten ini menyumbang luasan 57,05%.

Penyediaan lahan pertanian tentu saja dapat dilakukan melalui perluasan atau mempertahankan yang ada. Ekspansi masih memungkinkan, jika mendasarkan selisih luas lahan peruntukan tanaman pangan dan hortikultura pada RTRW Provinsi Kalimantan Timur, dengan kondisi eksisting lahan tanam padi.

Di Kabupaten PPU masih ada 6.807,8 hektar dan 81.750,3 hektar di Kabupaten Kukar. Nilai ini dapat dijadikan acuan untuk ditindaklanjuti dengan memperhatikan daya dukung lainnya dalam upaya usahatani padi.

 

Masalah pangan harus diperhatikan di Ibu Kota Baru Indonesia. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Upaya menjaga lahan pertanian pangan atau biasa dikenal Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan [LP2B] tentunya menjadi penting dan realistis untuk dilakukan. Mengingat, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan perangkat regulasi melalui UU 41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Dalam hal implementasi, Pemerintah telah menetapkan PP No.1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi LP2B; PP. No.12/2012 tentang pemberian insentif LP2B; PP No.25/2012 tentang Sistem Informasi LP2B; serta PP. No.30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan LP2B.

Komitmen Pemerintah pada LP2B juga terlihat dengan membentuk informasi geospasial tematik [IGT] luas lahan baku sawah nasional yang akhir 2019 ini telah berhasil memverifikasi lahan sawah berkelanjutan di 33 provinsi, 12 di antaranya telah divalidasi. Basis data lahan pangan berkelanjutan ini diharapkan menjadi referensi pengaturan penggunaan lahan dalam level nasional maupun lokal, melalui kepastian letak dan luas. Lintas Kementerian/lembaga tingkat pusat juga telah dilibatkan dalam kebijakan ini. Masing-masing, telah mengeluarkan regulasi dan kebijakan untuk mendorong keberhasilan program tersebut.

Dalam level kabupaten/kota, LP2B kemudian diterjemahkan dalam bentuk perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sendiri telah merespon dengan mengeluarkan Perda 1/2013 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam regulasi ini, 37.838 hektar di Kabupaten PPU dan 438.198 hektar di Kabupaten Kukar telah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

 

Dari 10 ribu varietas padi di Indonesia, saat ini hanya tersisa 125 varietas yang tersimpan rapi di Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia [AB2TI] di Bogor, Jawa Barat. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Pendukung

Patut diperhatikan, penyediaan lahan tanaman pangan tidak dapat dilakukan sembarangan, ada kriteria ketat. Lahan harus mampu memberikan produktivitas panen optimal, memiliki intensitas memadai, ketersediaan air terjamin [irigasi maupun hujan], serta kondisi lingkungan yang terjaga dari kerusakan [konservasi].

Terperinci dan teknis, Kementerian Pertanian telah memberikan panduan melalui Permentan 79/Permentan/OT.140/8/2013 terkait pedoman kesesuaian lahan.

Lebih lanjut, untuk memastikan lahan tidak beralih fungsi [sembunyi-sembunyi maupun dilegalkan dengan perangkat kebijakan] di kemudian hari, PP 12/20012 menekankan 6 hal mendasar:

a) Kepastian peruntukan dan kepemilikan lahan melalui penerbitan sertifikat;

b) Ketersediaan infrastruktur untuk melaksanakan usaha pertanian seperti irigasi yang masih terbatas;

c) Benih/bibit dengan produktivitas tinggi utamanya ketika menghadapi lahan dengan keasaman tingggi sebagaimana di Kalimantan;

d) Penyediaan sarana produksi pertanian

e) Kemudahan mengakses informasi dan teknologi termasuk kemudahan pemasaran;

f) Perhatian pada SDM petani yang tinggi termasuk ilmu, pengetahuan dan kelembagaan.

Fokus tersebut juga dirasa masih belum cukup. Penguatan harus dilakukan dengan penataan ruang melalui pengesahan RTRW [Rencana Tata Ruang Wilayah] serta RDTR [Rencana Detail Tata Ruang]. Demikian pula dengan pengendalian pertanahan dan tata ruang, harus dilakukan melalui optimalisasi mekanisme insentif-disintentif serta perizinan [IMB].

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan harus diselesaikan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pekerjaan besar

Pemerintah Daerah tentu saja memiliki pekerjaan rumah sangat besar, memastikan pengendalian pertanahan dan tata ruang berjalan efektif. Mengingat, selama ini masalah tata ruang yang timbul di lahan pertanian [sawah], dimulai dari tidak padunya kebijakan di pusat, provinsi dan kabupaten. Kejadian ini harusnya tidak terulang lagi.

Dalam konteks ini, ada beberapa patokan regulasi yang harus dipenuhi. Pertama, PP 13/2017 tentang RTRWN Pasal 66 [2] yang menyatakan tentang pengendalian luasan pertanian tanaman pangan lahan basah dan/atau lahan kering paling sedikit 7.741.000 hektar di seluruh Provinsi/Kabupaten/Kota.

Kedua, Permen ATR/BPN 8/2017 tentang Pedoman Pemberian Persetujuan Substansi dalam Rangka Penetapan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Dan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota. Pasal 9 ayat [1] poin d menyatakan, evaluasi materi Rancangan Perda tentang RTR oleh Ditjen Tata Ruang dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit substansi yang memuat [salah satunya] tentang LP2B.

Ketiga, Permen ATR/BPN 1/2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota.

Implementasi dari inventarisasi dari pekerjaan besar ini adalah antara luasan sawah di lapangan dengan peraturan daerah, termasuk di dua kabupaten yang menjadi Ibu Kota Baru Indonesia, harus benar-benar sinkron. Sesuai.

Di sisi lain, petani/pemilik lahan/penentu kebijakan adalah aktor dalam konteks teori agent-struktur. Aktor memiliki otoritas opsional untuk mau atau tidak, secara konsisten [struktur] melindung lahan pertanian pangan yang dapat menentukan atau merubah pilihannya berdasarkan dinamika sosial, ekonomi, politik, dan ekologi.

Kita berharap, keberpihakan negara pada perlindungan lahan pertanian pangan selalu ada, konsisten. Sehingga, pemindahan Ibu Kota Negara merupakan wujud ikhtiar menggapai kehidupan bangsa dan masyarakat lebih maju. Bukan sebaliknya, menghadirkan masalah baru.

 

* Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat Departemen Agribisnis Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan dan Kandidat Doktor Ilmu Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

** Sukmo Pinuji, Dosen GIS, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional [STPN], Yogyakarta dan Alumni Wageningen University, Belanda.

*** Aditya Wicaksono, Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan [Puslitbang] Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional [Kementerian ATR/ BPN], Jakarta. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version