Mongabay.co.id

Eksotisme TWA Batuangus Bitung dan Upaya Pengembangan Pariwisatanya

 

Bebatuan hitam terhampar di Taman Wisata Alam (TWA) Batuangus, Bitung. Ratusan tahun lalu, 1820-1880, gunung parasiter Batuangus mengeluarkan lava yang mempengaruhi hingga tanjung tepi pantai. Fenomena alam yang terjadi hampir dua abad lalu itu, kini telah dan berpotensi menarik lebih banyak wisatawan lokal dan mancanegara.

TWA Batuangus merupakan kawasan konservasi yang menjadi bagian dari Cagar Alam Duasudara. Dengan luas 648,57 hektar, TWA Batuangus merupakan habitat penting bagi berbagai flora dan fauna endemik.

Di sini, wisatawan dapat menyaksikan perpaduan panorama alam yang sangat memukau: gunung Batuangus, bebatuan lava maupun pulau dan selat lembeh. Hebatnya lagi, lanskap alam tadi dapat diabadikan dari beberapa titik, misalnya jembatan vulkanik, wilayah perbukitan hingga rumah pohon.

Selain itu, membingkai keindahan alam bisa dilakukan dengan berbagai cara. Menggunakan bantuan drone atau kamera ponsel tak akan mengurangi keindahan alam di TWA Batuangus. Sehingga, destinasi ini adalah garansi untuk mendapat pengalaman wisata yang menarik.

Gilang Putra, pehobi foto dari kota Bitung mengatakan, pesona bawah laut dan karakter pantai yang unik merupakan perpaduan istimewa untuk memuaskan hasrat pehobi foto. Kerikil hitam dan bebatuan vulkanik menjadi corak yang membedakan pantai Batuangus dengan pantai-pantai lain di Bitung maupun Sulawesi Utara.

“Kalau di pantai lain di kota Bitung pasirnya hitam, mungkin pulau Lembeh yang pasir putih, tapi di Batuangus pantainya berkerikil dan ada bekas lava. Ini yang membedakan dari pantai-pantai lain. Ini surga bagi fotografer lanskap,” ujar Gilang kepada Mongabay Indonesia di TWA Batuangus, Sabtu (23/11/2019).

baca : Memperkuat Pariwisata Lokal Sambil Jaga Hutan Tangkoko, Bitung, Seperti Apa?

 

Seorang pengunjung memotret panorama TWA Batuangus, Kota Bitung, Sulut, dengan padang batu lava, sabana dan Gunung Batungus di kejauhan. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya menjadi destinasi wisata dan memuaskan keterampilan fotografi, TWA Batuangus juga kerap kali dimanfaatkan sebagai lokasi pilihan untuk menempuh sesi foto pra nikah. Pasangan calon suami-istri dapat memanfaatkan perairan yang dikelilingi pepohonan, sebuah pulau yang dinamakan pulau cinta ataupun rumah apung sebagai latar fotonya.

Di samping panorama-panorama tadi, menyaksikan satwa endemik Sulawesi dan Sulawesi Utara menghadirkan tantangan tersendiri. Sebab, dibanding TWA Batuputih, satwa seperti Macaca nigra (yaki) perlu energi dan ketabahan untuk ditemukan di TWA Batuangus.

Meski demikian, keadaan tersebut tetap dianggap potensial untuk menarik kunjungan wisatawan. Harry Hilser, pegiat konservasi dari Yayasan Selamatkan Yaki menilai, walau tak semudah menyaksikan yaki di TWA Batuputih, pariwisata hidupan liar di TWA Batuangus dapat menarik wisatawan dengan minat khusus.

“Itulah kelebihannya. Menyaksikan satwa liar di sini tidak mudah, sehingga orang akan lebih tertantang, puas dan bangga ketika berhasil melihat yaki. Maka, petualangan bisa jadi konsep pariwisata di TWA Batuangus,” terang Harry.

baca juga : 100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?

 

Pemandangan sabana, selat dan pulau lembeh dilihat dari perbukitan TWA Batuangus, Bitung, Sulut. Foto : Alanuari Tamengge/Mongabay Indonesia

 

Pariwisata dan Pelibatan Masyarakat

Pemerintah kota Bitung dan BKSDA Sulawesi Utara berniat memaksimalkan potensi pariwisata di TWA Batuangus. Mereka berharap, terdongkraknya angka wisatawan ke kawasan itu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mendukung agenda pelestarian lingkungan.

Termutakhir, pemerintah kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, menyelenggarakan Batuangus Nature Fest, 23-24 November 2019. Rolien Dipan, Camat Aertembaga mengatakan, Batuangus Nature Fest adalah kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan industri dan pelaku pariwisata yang berbasis alam liar, serta menerapkan manajemen pariwisata yang berkelanjutan di kota Bitung.

Selain itu, kegiatan ini diharap dapat menjadi Eco Festival khas di kota Bitung untuk menarik wisatawan, dan menghasilkan dampak lanjutan yang berkontribusi meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.

“Kegiatan ini merupakan kegiatan perdana yang nantinya akan dijadikan calender of event di Kecamatan Aertembaga. Harapannya, pemerintah dapat menganggarkan untuk festival di tahun berikutnya,” ujar Rolien.

Upaya mendukung pengembangan pariwisata TWA Batuangus juga dilakukan Pemerintah Kota Bitung. Maximilian Lomban, Walikota Bitung mengatakan, dukungan itu bisa dilihat dari pengembangan infrastruktur jalan dari pusat kota hingga ke Kecamatan Aertembaga.

Selain itu pemerintah kota Bitung juga sedang merancang program pemberdayaan masyarakat sekitar TWA Batuangus. Melalui program pemberdayaan itu, Lomban berharap, masyarakat dapat melibatkan diri secara aktif dalam sektor pariwisata.

“Dinas pariwisata kami sedang membuat masterplan untuk mengedukasi masyarakat supaya betul-betul terlibat dalam pariwisata untuk menyongsong Bitung, Minut dan Manado sebagai Bali kedua. Kemudian masterplan pariwisata kami sedang dipersiapkan setelah rencana tata ruang kami dievaluasi dan ditetapkan,” terangnya saat membuka acara Batuangus Nature Fest.

perlu dibaca : 100 Tahun Tangkoko : Cerita Warga Membangun Ekowisata

 

Camat Aertembaga Rolin Dipan (kiri), Max Lomban Walikota Bitung (tengah) dan Noel Layuk Allo Kepala BKSDA Sulut (kanan) saat membuka acara Batuangus Nature Fest, Sabtu (23/11/2019) di TWA Batungaus, Kota Bitung Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Demi memaksimalkan pengembangan pariwisata khususnya di TWA Batuangus, diperlukan sinergitas antara Pemerintah Kota, BKSDA Sulut sebagai otoritas pengelola kawasan serta pihak swasta. Dia berharap, sinergitas itu dapat terwujud dikemudian hari sehingga masyarakat dapat memperoleh lapangan kerja di sektor pariwisata.

“Bitung, Minahasa Utara dan Manado, dijanjikan Presiden sebagai Bali kedua. Akan ada investasi besar-besaran. Akan ada KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Pariwisata di Likupang. Tapi orang juga akan datang ke Bitung dan Manado. Sehingga kita wajib menciptakan destinasi agar mereka mau datang lagi,” jelas Lomban.

Sementara, Noel Layuk Allo, Kepala BKSDA Sulawesi Utara mengatakan, upaya melibatkan masyarakat dalam sektor pariwisata telah dimulai lewat pembentukan 13 Lembaga Konservasi Kelurahan (LKK) dan Kecamatan.

“BKSDA Sulut juga sudah mencanangkan pengembangan TWA agar tertata dengan membuat blocking di setiap kawasan, mana yang bisa dan mana yang tidak bisa (diintervensi ekonomi). Ada ruang publik, ada pengembangan usaha, sekaligus untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pariwisata,” ujarnya.

Menurut Noel, dua tahun terakhir terjadi kenaikan signifikan pada pariwisata di TWA Batuangus dan TWA Batuputih. Penilaian itu dibuktikan dengan meningkatnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang nyaris menyentuh 200 persen atau hampir Rp1 miliar.

“Kunjungan wisatawan 40ribu orang pertahun, tapi tahun ini kami belum lihat. Untuk lokal banyak di TWA Batuangus, kalau mancanegara banyak di TWA Batuputih,” masih diterangkan Noel.

baca juga : 100 Tahun Tangkoko : Kemandirian Warga Membangun Ekowisata

 

Wisatawan berfoto di padang batu lava TWA Batuangus, Bitung, Sulut, dengan latar Selat Lembeh. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Manajemen Pariwisata

Sebagai upaya memperkuat keterlibatan di sektor pariwisata, masyarakat di sekitar TWA Batuangus dinilai perlu membekali diri, salah satunya dengan mengeksplorasi pengetahuan dan kemampuan manajemen pariwisata.

Alfons Wodi, Koordinator LKK Batuputih menilai, TWA Batuangus merupakan destinasi wisata alam yang lengkap. Masyarakat sekitar harusnya dapat berperan penting dalam mengembangkan sejumlah atraksi pariwisata di darat maupun di laut.

“Karena ketika pariwisata maju, masyarakat sudah harus siap. Sekarang mereka (masyarakat di sekitar TWA Batuangus) baru mau mulai. Sekarang belum ada homestay, yang ada resort yang bukan dimiliki oleh warga. Sehingga, warga perlu membekali diri dengan pelatihan pemandu wisata, mengelola homestay, juga pengelolaan pariwisata yang rapi dan terstruktur.”

Langi Pontoh, Warga Kasawari yang berdagang di dalam TWA Batuangus berharap, pengembangan pariwisata di kawasan itu dapat lebih dimaksimalkan. Dia menilai, dukungan pemerintah dan swasta bisa meningkatkan jumlah wisatawan dan menambah pendapatan masyarakat sekitar.

“Mungkin dengan masuknya investor, maka masyarakat bisa dapat lapangan pekerjaan. Kalau pemerintah mengelola, mungkin tempat ini lebih bagus. Kalau hanya masyarakat, ya, tidak seberapa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version