Mongabay.co.id

Kisah Orangutan Paguh, Mata Buta dengan Belasan Peluru di Kepala

Paguh, orangutan dengan dua mata buta karena senapan angin. Dalam tubuh satwa ini setidaknya ada 24 peluru angin, 16 ada di kepala! Foto: dari Facebook SOCP

 

 

 

 

“Perkembangan orangutan, Paguh, seminggu setelah tim dokter mengeluarkan tiga peluru dari kepalanya, kondisi Paguh tampak stabil dan makin membaik. Kami akan tetap mengawasi dan menyediakan perawatan intensif kepada Paguh…..” begitu postingan di laman Facebook Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) pada 30 November 2019, memberikan informasi soal Paguh.

Paguh adalah orangutan yang dievakuasi petugas Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA) Aceh bersama tim HOCRU pada 20 November lalu di Desa Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon Aceh Selatan, Aceh. Satwa ini lalu dibawa ke Karantina Batu Mbelin Sibolangit, Sumatera Utara.

Paguh buta dengan sekitar 16 peluru bersarang di kepala, dan delapan peluru di bagian tubuh lain. Total ada 24 peluru! Kini, orangutan dengan kondisi menyedihkan ini masih dalam perawatan Sumatran SOCP.

Kedua mata orangutan berusia sekitar 25 tahun ini buta karena cidera. Dari pemeriksaan kesehatan, bola mata kanan tampak merah, bola mata kiri keruh diduga cedera lebih dahulu dibanding bola mata kanan.

Tubuh penuh peluru senapan angin itu diduga dari aksi para pemburu. Kedua mata Paguh pun kena tembakan hingga mengalami kebutaan permanen.

Castri Delfi Saragih, Communication Officer YEL-SOCP Minggu (1/12/19) mengatakan, dari hasil X-Ray juga teridentifikasi 24 peluru tersebar di seluruh tubuh. Rinciannya, 16 peluru di bagian kepala, empat bagian kaki dan tangan, tiga di panggul dan satu peluru di perut.

Tim dokter hewan SOCP telah mengeluarkan tiga peluru dari bagian kepala. “Perawatan intensif akan terus kami berikan kepada Paguh sampai kondisi membaik,” kata Castri.

Dokter hewan Citrakasih Nente, Supervisor Program Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan YE-SOCP, mengatakan, bukan pertama kali mereka menerima orangutan dengan puluhan peluru di tubuh. Sebelumnya, ada sampai lebih dari 200 peluru.

 

Paguh, setelah seminggu usai operasi keluarkan peluru, kondisi mulai membaik. Foto: dari video di Facebook SOCP

 

Penggunaan senapan angin untuk berburu satwa liar, katanya, masih terus terjadi. Dalam waktu 10 tahun YEL-SOCP sudah menerima sekitar 20 orangutan yang jadi korban senapan angin.

“Kami sangat prihatin ketika kembali dihadapkan dengan kondisi seperti ini, apalagi Paguh tidak mungkin bisa dilepasliarkan kembali karena buta,” kata Citra.

Menurut dia, perlu keseriusan pihak berwenang untuk menertibkan penggunaan senapan angin, untuk memastikan keadaan seperti Paguh dan Hope, tidak terus berulang.

Arista Ketaren, Manager Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan YEL-SOCP, menambahkan, akan memberikan perawatan terbaik untuk orangutan Paguh selama di Pusat Karantina dan Rehabilitasi SOCP.

“Setelah kondisi baik, Paguh kemungkinan menjadi salah satu kandidat yang akan dipindahkan ke fasilitas di Orangutan Haven. ”

 

Peluru yang dikeluarkan dari kepala Paguh. Foto: dari Facebook SOCP

 

Orangutan Tapanuli di kebun warga

Cerita sedih dari orangutan juga terjadi di bulan sama. Sebelum itu, Rabu, (13/1/19) BBKSDA Sumut, bersama KPH XI, tim The Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Scorpion, serta masyarakat Dusun Lobu Pining, evakuasi satu orangutan Tapanuli, jantan, berat 58 kg.

Orangutan diperkirakan berumur 24 tahun ini terjebak di perkebunan warga, di Dusun Lobu Pining, Desa Dolen Tapanuli Utara.

Andoko Hidayat, Kasubbag Data. Evlap dan Kehumasan BBKSDA Sumut menjelaskan, pada Senin, (28/10/19), Kepala Resort Pelabuhan Laut Sibolga dan Bandara Pinang Sori mendapat informasi warga yang melihat orangutan.

“Kepala Resort langsung merespon informasi dan berkoordinasi dengan mitra Balai Besar KSDA Sumatera Utara untuk penanganan satwa liar,” kata Andoko.

Pada 30 Oktober 2019, tim turun ke lokasi dan memantau pergerakan orangutan di beberapa titik dibantu masyarakat setempat. Mereka tak melihat orangutan tetapi menemukan bekas makanan, berupa batang pisang, nangka dan sarang.

Informasi dari masyarakat, orangutan sudah lebih satu bulan berada di sekitar dusun mereka.

“Pada sore hari, 30 Oktober 2019, Kepala Resort Pelabuhan Laut Sibolga kembali dihubungi oleh warga Dusun Lobu Pining yang melihat orangutan. Tim langsung ke lokasi dan menemukan orangutan di Jalan besar Tarutung-Sibolga, di atas pohon dengan ketinggian empat meter.”

Pada Jumat, (8/11/19), tim kembali melihat orangutan.

Dari pemantauan, diketahui lokasi orangutan berjarak dari habitat, terpisah Sungai Raisan, kebun, sawah dan jalan raya.

Pada Rabu (13/11/19), sekitar pukul 10.00, dibantu masyarakat Dusun Lobu Pining, melakukan monitoring dan penyelusuran orangutan Tapanuli. Sekitar pukul 17.15, satwa itu ditemukan dan tim HOCRU evakuasi dengan cara tembak bius.

Andoko menyatakan, karena sifat masih liar maka tim sepakat melepasliarkan orangutan ini ke habitat langsung.

“Pelepasliaran sekitar pukul 19.58 di hutan produksi terbatas yang berbatasan langsung dengan hutan lindung,” katanya.

Kisah lain dari dua anak orangutan Sumatera yang dipelihara ilegal oleh anggota kelompok pecinta burung berkicau di Belawan, Medan.

Awalnya, anggota TNI bertugas di Lantamal I Belawan, Aidil Rambe, menghubungi petugas BBKSDA Sumut. Dia mengabarkan, ada sepasang anak orangutan Sumatera hasil penyerahan warga di Langkat–kabupaten berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Aidil pun membawa sepasang anak orangutan itu dari Langkat dan langsung menyerahkan ke petugas BBKSDA Sumut.

Informasi dari Aidil, sepasang anak orangutan itu dari warga yang tergabung dalam komunitas pecinta burung berkicau.

Sang pemilik mengatakan kepada Aidil, orangutan dari Tapak Tuan, Aceh.

 

Penyelamatan orangutan Sumatera. Orangutan, hidup makin terancam dengan habitat terus tergerus dan pemburuan menggila. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Aidil menyampaikan kepada pemilik, bahwa orangutan satwa dilindungi. Sang pemilik pun akhirnya bersedia menyerahkan kepadanya, lalu dia laporkan ke BBKSDA Sumut.

Mengenai penyelamatan orangutan Tapanuli, bukan kali pertama. Sebelum ini, satu orangutan Tapanuli terjebak di perkebunan warga di Desa Aek Batang Paya, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Kondisi orangutan begitu memprihatinkan, dengan luka cukup dalam di wajahh. Kera besar jenis baru ini dibawa ke Karantina Batu Mbelin, Sibolangit, untuk dapatkan pertolongan.

Peristiwa serupa pernah terjadi pada 2013, satu orangutan yang d iberi nama Raya, terjebak di perkebunan masyarakat. Sayangnya, nyawa tidak tertolong karena kondisi cukup parah.

Orangutan Tapanuli hanya ada di Ekosistem Batang Toru. Bentang alam Batang Toru merupakan hamparan hutan terletak di antara perbatasan Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Pembukaan kawasan terus terjadi menyebabkan kerusakan habitat satwa terancam punah ini.

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, belum lama ini menyatakan, orangutan Tapanuli susah bisa kembali ke habitat, karena terus tergerus. Mereka pun mencari makan ke perkebunan masyarakat, dan konflik terus terjadi.

Dia mempertanyakan, kala Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan habitat orangutan Tapanuli aman. “Kalau aman mengapa bisa mereka terjebak di kebun masyarakat? Jawabnya, karena orangutan tidak bisa kembali ke habitat asli, sebab sudah ada pembukaan lahan apakah oleh pembangunan PLTA Batang Toru maupun tambang dan pembukaan lahan oleh masyarakat,” katanya, seraya bilang, perlahan mereka akan punah.

Kalau kondisi ini terus terjadi, katanya, secara tak langsung KLHK membiarkan kematian orangutan Tapanuli. Dia meminta, KLHK setop pencitraan dan harus menunjukkan aksi bagi penyelamatan orangutan Tapanuli.

“Jangan asik pencitraan saja. Yang begini itu jangan disembunyikam, tetapi harus dicari solusinya. Apa yang sudah dibuat BBKSDA Sumut? Ayo tunjukkan,” kata Dana.

Sampai saat ini, katanya, tak ada apapun dikerjakan KLHK dan jajaran untuk penyelamatan orangutan Tapanuli karena pembukaan lahan di ekosistem Batang Toru ini. Pembangunan koridor, katanya, hanya isapan jempol.

Ada beberapa desakan mereka sampaikan ke KLHK terutama BBKSDA Sumut. Pertama, pemerintah dalam hal ini KLHK (BBKSDA Sumut) menjelaskan secara transparan penyebab orangutan Tapanuli masuk perkebunan warga.

Kedua, jaminan agar tak ada konflik orangutan dan warga. Selama ini, mereka menyebutkan tidak akan ada masalah dalam pembukaan lahan disana oleh investasi. Namun fakta lapangan, katanya, orangutan masuk kebun warga.

Ketiga, kalau konflik terjadi karena pembukaan lahan oleh investor, pemerintah harus meninjau kembali izin baik PLTA Batang Toru dan tambang emas yang ada di sana.

“Mana konsepnya? Apa yang sudah dilakukan KLHK dan jajaran yang selama ini mereka bilang sudah melakukan kerja untuk itu? Jangan hanya jadi pemadam kebakaran yang cuma bisa menyelamatkan dan mengobati ketika sudah terjadi. Itu sama saja membiarkan kepunahan orangutan Tapanuli pelan-pelan.”

 

 

Keterangan foto utama: Paguh, orangutan dengan dua mata buta karena senapan angin. Dalam tubuh satwa ini setidaknya ada 24 peluru angin, 16 ada di kepala! Foto: dari Facebook SOCP

Memelihara satwa dilindungi seperti orangutan, salah satu penyebab orangutan makin terancam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version