Mongabay.co.id

Cerita Para Penganut Mapurondo di Rantetarima

Suasana lembah di Desa Rantetarima . Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Toris, menarik kursi lalu duduk. Sambil senyum, dia menawari saya kopi panas. Mengenakan baju putih, pria kelahiran Saludengen 55 tahun silam itu, baru kembali dari sawah. Udara terasa dingin, matahari kian tenggelam. Di luar, langit mulai gelap terselimut kabut.

Desa ini, terletak di lembah pegunungan, di Kecamatan Bambang, Kabupaten Mamasa. Warga mencetak sawah dan kebun kakao hingga kopi di lereng bukit. Di puncak gunung, tetap terjaga, warga tak mengubah jadi apapun.

Hari itu, 23 Oktober, saya mengunjungi Rantetarima, desa yang dipimpin Toris, sejak empat tahun ini. Dia merupakan kepala desa pertama.

Baca juga: Pa’totiboyongan, Ritual Tanam Padi Orang Mamasa di Rantetarima

Akses jalan menuju perkampungan rusak, hanya bisa dilalui sepeda motor. Puluhan tahun lalu, orang berkendara dengan kuda melalui jalan itu. Desa ini pun terpencil sejak dulu, menjauh dari hiruk pikuk perkotaan, aktivitas niaga, hingga telekomunikasi.

Beberapa tahun belakangan, listrik mulai mengalir berkat pembangkit tenaga air dari pemerintah. Malam hari kampung terang, dibanding puluhan tahun silam.

Kala itu, desa ini masih masuk Kecamatan Mambi. Pascapemekaran, kini masuk administrasi Kecamatan Bambam, Mamasa. Setelah terbentuk jadi desa empat tahun lalu, pembangunan di Rantetarima, berangsur baik.

Rantetarima, dulu bergabung di Desa Saludengen, kampung yang cukup tua di Pitu Ulunna Salu (PUS)–tujuh hulu sungai. Wilayah ini merujuk pada kawasan mukim di antara pegunungan sebelah barat Sungai Mamasa dan Pantai Barat (Polewali).

Nenek pendiri kampung, kata Toris, melewati pelbagai letupan peristiwa sejarah, dari kolonialisasi Belanda pada 1907, hingga konflik berdarah, pro kontra pemisahan Mamasa dari Polewali, pada 2000-an awal. Konflik itu, dikenal dengan singkatan ATM: Aralle, Tabulahan, dan Mambi. Tiga kecamatan yang saling bertikai kala itu.

“Rantetarima, jadi tempat pengungsian. Kami tidak ikut konflik saat itu,” kata Toris.

Seiring kisah para penghayat Mapurondo, kini mendiami Rantetarima. Mereka mempertahankan ajaran leluhur. Meninggalkan kampung, menuju kampung baru.

Agama atau kepercayaan lokal yang selama ini tersingkirkan. Para penganutnya terpaksa memilih agama ‘pilihan negara,’ mulai mendapatkan titik terang setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017, mengabulkan gugatan komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia, atas Pasal 61 dan Pasal 64 Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan.

Seperti kebanyakan komunitas adat di Indonesia. Orang Rantetarima, menggantungkan hidup dari kebaikan alam, sekaligus merawatnya. Lewat ritus adat, mereka dapat hidup berdampingan dengan alam.

Rantetarima, tempat hidup bagi penghayat kepercayaan Mapurondo, atau yang dikenal hadat Mapurondo. Sebagai penganut Mapurondo, Toris, tak seorang diri. Dari data penduduk setahun lalu, sedikitnya ada 278 penghayat yang mendiami Rantetarima.

Pemeluk agama samawi hanya delapan orang. Mereka adalah tenaga kesehatan dan guru, yang bertugas di Rantetarima.

Sesuai arti Rantetarima, letak desa ini, berada di lembah gunung. Menyerupai tangan yang sedang menengadah sesuatu dari langit. Warag di sini, lapang hati dan selalu menerima siapapun.

“Kita sesama ciptaan Tuhan, harus saling menghargai dan menerima,” kata Toris.

 

Perempuan Rantetarima menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Penghayat Mapurondo, kata Toris, punya tiga prinsip hidup (tallu loronna), kata Toris, yakni, bagaimana tatakrama mereka berhubungan dengan Sang Pencipta (To Metampa), manusia, dan alam.

Sebagai penghayat Mapurondo, katanya, dalam menjalani kehidupan, mereka diatur empat ritus adat, atau pemali appa’ randanna. Jumlah larangan dan perintah dari empat ritus itu, sebanyak 7.777 butir.

Empat ritus ini, antara lain, pa’totiboyongan, mengatur mereka dalam menanam padi hingga panen; kaparrisan, aturan saat ritual pengucapan syukur dan nazar; pa’bannetauan, tentang perkawinan dan kelahiran, kemudian, aturan bagaimana ritual penguburan atau pa’tomatean.

Dalam menjalani empat ritus itu, masing-masing ditunjuk satu orang sebagai pemimpin ritual, semacam imam. Di Rantetarima, kata Toris, jabatan ini sudah banyak dipegang kepala adat.

“Karena sudah tidak ada lagi yang bisa. Kita tidak boleh juga sembarang pilih. Harus orang yang tahu betul,” katanya.

Dia contohkan, dalam pa’totiboyongan, peran seorang imam untuk padi bergelar so’bak diganti oleh kepala adat. Pangulu Tau yang berperan sebagai pemimpin saat berperang juga tak ada. “Zaman telah berganti. Tidak ada perang lagi.”

 

 

***

Jauh dari cerita mistis soal Rantetarima, desa ini tempat yang damai. Permukiman, sawah terasering, sungai, dan hutan adalah pemandangan sehari-hari nan indah.

Rantetarima, banyak dihuni orang berusia lanjut. Jumlah pemuda di Rantetarima, tidak banyak. Bila usia 11 tahun, mereka bakal merantau sambil bersekolah hingga masuk kuliah di pendidikan tinggi.

Bila masa panen tiba, mereka akan pulang kampung mengikuti ritual.

Saat saya ke Rantetarima, orang-orang tengah menjalani ritual pa’totiboyongan, sejak Agustus lalu. Waktu itu, sedang tahap ma’tanan, atau menanam padi.

Saya berkesempatan mengunjungi sawah Bombing, ipar Toris. Matahari belum terbit, Bombing jalankan ritual sebelum berangkat ke sawah.

Selama pa’totiboyongan, warga tak boleh menghelat ritual perkawinan. Bila warga mangkat, pa’totiboyongan setop sementara.

“Banyak pantangan saat pa’totiboyongan berjalan,” kata Bombing, saat kami berbincang di gubuk sawah miliknya.

Tradisi Mapurondo di Rantetarima, terus berjalan turun menurun. Pa’bissuan, yang mulai jarang dilakukan di Mamasa masih dihelat di sini. Menjaga tradisi, aturan-aturan adat, adalah cara agar mereka diberkati dari langit.

Pa’bissuan, adalah satu ritual perempuan berumur baliq. Dalam ritual ini, para perempuan yang terlibat disebut tobisu. Mereka, secara spiritual hendak menyatukan diri dengan para dewa belantara, lewat medium pohon barana’ (beringin).

Pohon beringin, mereka yakini adalah tempat suci. Tempat para dewa belantara bersemayam.

Di Rantetarima, ada banyak tempat ritual Pa’bisuan. Saya tak bisa masuk, hanya boleh lihat dari kejauhan. Pohon beringin, di kelilingi belasan tanaman pinang, terletak di lereng gunung.

“Di situ perempuan akan ritual,” kata Bombing, sambil menunjuk lokasi itu.

Bombing cerita, saat pa’bissuan, para perempuan yang terlibat akan memanjat pohon. Di atas, mereka akan menari. Dewa-dewa lalu merasuki jazad mereka.

Selama pa’bissuan, banyak ternak yang disembelih. Babi, ayam, jumlah tergantung kemampuan.

Sederhananya, Bombing bilang, pa’bissuan seperti penyempurnaan tobisu. Sebelum ritual itu, mereka belum jadi perempuan utuh, sebagai perempuan dewasa.

Setelah pa’bissuan, para perempuan yang menjalani tak boleh lagi memakan daging yang berunsur sama dengan kerbau, seperti anoa, anjing, tikus, dan sapi. Kerbau dianggap bagian dari ritual kematian.

“Kalau ada yang makan, dia pasti sakit. Muntah darah,” klaim Bombing.

Apa itu ajaran Mapurondo? Hamid, dikenal di Rantetarima, sebagai sejarawan. Pria berusia 67 tahun itu, punya banyak cerita tentang apa yang dilalui penghayat Mapurondo, selama ini.

 

Toris, Kepala Desa Tantetarima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Saat zaman kolonialisasi Belanda, kata Hamid, nenek-nenek moyang mereka harus berlari masuk hutan, sebagian lain terpaksa tunduk dan mengikuti ajaran Nasrani yang dibawa Belanda.

“Saat itu, nenek-nenek kami dianggap ateis, kafir, atau animisme oleh Belanda.”

Di Dusun Tampaun, Rantetarima, ada perkampungan tua, terletak di hutan belantara. Menurut cerita, kata Hamid, di sanalah nenek mereka dulu sebelum terusir.

Era penjajahan pun usai. Jelang transisi Orde Lama ke Soeharto, Undang-undang Nomor 1/PNPS (Penetapan Presiden) tahun 1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, terbit. Saat itu, hanya lima agama diakui: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik, belakangan, Kong Hu Cu juga diakui.

UU yang diklaim dapat membendung ateisme dan merusak agama-agama itu, malah berujung diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan tua atau lokal di nusantara ini.

Toris dan Hamid, adalah korban dari banyak kasus yang terjadi. Dari disangka penganut ateis, hingga komunis.

“Dulu, ada yang sampai ditodongkan senjata suruh masuk satu agama,” kata Hamid, mengulang kejadian saat rezim Orde Baru.

Sebelum aliran kepercayaan diakui lewat Putusan MK 2017, para penghayat Mapurondo ‘berlindung’ di satu agama. Toris dan yang lain memilih Islam dan Kristen Protestan.

Hamid, merasa UUD 1945 seperti tak berlaku. Saat di bangku sekolah dasar (SD) di Polewali, Toris meraih nilai tertinggi mata pelajaran agama Islam saat ujian akhir.

“Sembilan. Itu harusnya ditulis di ijazah,” katanya.

Nilai itu harus turun. Toris tak terima. Dia lalu beranjak ke ruang kepala sekolah (Kepsek). Di hadapan kepsek, Toris marah dan kesal.

“Kenapa nilai saya diturunkan jadi enam?” tanya Toris.

“Karena kamu bukan orang agama itu,” jawab kepsek.

Keduanya terlibat debat alot. Sang kepsek pun luluh. Alhasil, Toris meraih angka tujuh untuk mapel pendidikan agama Islam.

Toris tak berani memastikan, berapa orang yang mengalami kejadian serupa. Dia yakin, kejadian itu tak hanya menimpa dirinya.

Waktu pun berlalu. Toris beranjak dewasa. Sebelum duduk jadi kepala desa, dia dipercaya sebagai kepala desa tentatif saat Rantetarima, masih desa persiapan.

Dengan jabatan itu, Toris kerap kali berurusan dengan Pemerintah Mamasa. Di era reformasi, dia yakin, laku diskriminatif tak terjadi. Sayangnya, hanya sangkaan. Dia lagi-lagi mengalami, malah dicap komunis.

Sampai Toris hendak dilantik, laku diskriminatif masih terulang. Saat jelang pengucapan sumpah jabatan sebagai kades, para aparatur Pemkab Mamasa, bingung naskah sumpah yang sesuai harus seperti apa.

“Saya ditawarkan untuk pilih sumpah agama tertentu,” kata Toris.

“Saya tolak. Kalau harus seperti itu, saya tidak mau dilantik. Jadi saya bilang ke dia, cukup ‘saya bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa.’ Utusan pemkab pun sepakat.”

 

Kampung Komunal dengan dua batu rata, Fioto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Banyak anggapan, pendiri Kampung Rantetarima pisah dari Saludengen, karena tak ingin membaur dengan pemeluk agama samawi. Toris membantah.

“Kita menghindari konflik yang kemungkinan terjadi,” katanya.

S Tambanok, Kepala Adat Rantetarima, salah saorang pendiri kampung menjawab singkat alasan pindah hanya untuk bikin kampung baru.

Pemisahan itu melahirkan satu kesepakatan. Toris bilang, para nenek mereka bersepakat menetapkan satu wilayah di Saludengen, jadi kampung komunal.

Di kampung itu tak boleh satupun warga mengajukan sertifikat hak milik atas tanah. “Itu tanah milik semua orang, tidak boleh satu orang,” kata Toris.

 

***

Mengenai ajaran Mapurondo, kata Toris, adalah kepercayaan turun menurun dari nenek moyang orang Mamasa ke keturunan selanjutnya melalui penuturan. Hingga kini, ajaran mereka belum tertulis.

Mengutip Eric Crystal (1974) dalam Man and Menhirs: contemporary megalithic practice of Sa’dan dan Toraja of Sulawesi, Indonesia, seorang antropolog sekaligus misionaris berkebangsaan Belanda di Mamasa, Kees Buisj menulis dalam Kuasa Berkat, bahwa, sistem kepercayaan Toraja Selatan berasal dari sistem kepercayaan pribumi, yang mencerminkan praktik kepercayaan yang–mungkin–lebih awal daripada masuknya Hindu-Budha ke pesisir Indonesia, sekitar 1.500 tahun silam.

Mapurondo juga dikenal dengan sebutan aluk tudolo, kepercayaan orang tua dulu. Sebutan itu lumrah saat berkunjung ke lokasi makam bayi di pohon di Toraja. Pemandu wisata akan bilang, tradisi itu milik orang alto, singkatan aluk tudolo,

Menurut Baus–panggilan akrab Kees di Mamasa, cap aluk tudolo kemungkinan baru muncul setelah penghayat sebelumnya mulai memeluk agama Kristen, yang datang bersama kekuasaan Belanda.

Dalam kepercayaan Mapurondo, dewa-dewa merupakan titisan Sang Pencipta (To Metampa) untuk menjaga ciptaan dari langit yang diturunkan ke bumi.

Padi, misal, kata Toris, diciptakan dari langit dan tumbuh di bumi dengan penjagaan Dewa Totiboyong. Begitu juga hutan.

“Jadi bukan dewa-dewa. Kami juga punya Tuhan.”

 

KTP-El dan Kartu Keluarga milik Bombing. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah diakui negara

Para pengakuan penghayat kepercayaan maupun agama lokal, mereka bisa bernafas lega. Di kolom agama KTP mereka tak lagi harus ‘berlindung’ di suatu agama. Cukup dengan keterangan: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Meski, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak putusan MK kala itu, Hamid, Toris, dan Bombing yakin, ke depan, hari penghayat kepercayaan di Indonesia bisa hidup setara sebagai warga negara.

“Nenek di Batu Datar di kampung komunal pernah meramal, kalau suatu saat penghayat Mapurondo akan sedikit. Tapi suatu saat juga semua orang akan kembali ke Mapurondo.”

Mereka berharap, pemerintah bisa memikirkan bagaimana mata pelajaran agama khusus Mapurondo ada di sekolah. “Tapi pasti susah, di?” kata Toris saat kami bersama Bombing dan Hamid, saling cerita.

Di Kota Makassar, pelajar dari Rantetarima mendirikan organisasi, dengan nama Generasi Pemuda Rantetarima, atau Gemart.

Saya bertemu Virgo Seprianto di Sekretariat Gemart di Kota Makassar. Dalam mata kuliah ada kuliah agama. Mahasiswa Universitas Negeri Makassar itu mengambil pendidikan Agama Kristen.

Bagaimana nilainya? Remaja kelahiran Rantetarima 21 tahun silam itu bilang, nilai mata kuliah mereka berasal dari rekomendasi organisasi Generasi Mapurondo.

“Jadi kami menerima pendidikan keagamaan, dan kayak ujian. Itu nanti nilainya yang dikasih ke akademik,” katanya.

Kadangkala pihak birokrasi meragukan nilai itu. Birokrasi kata Virgo, menganggap mereka asal-asal mengeluarkan nilai, tidak memakai indikator.

Virgo ingin, pemerintah atau pemangku adat memikirkan ini. Dia membayangkan, ada semacam lembaga yang dapat mengeluarkan nilai itu dengan resmi. “Jadi orang kampus bisa percaya.”

Pada 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan panduan kurikulum dan buku pegangan bagi guru pelajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Syamsul Hadi, pejabat dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, mengklaim pemerintah menjamin hak-hak siswa penghayat kepercayaan untuk memperoleh pelajaran sesuai aliran yang mereka yakini. Pemerintah, katanya, akan menyetarakan hak penghayat dalam mengakses pekerjaan sebagai PNS maupun anggota TNI/Polri. Begitu pula dengan pencatatan nikah.

“Nanti kita lihat. Semoga makin baik,” harap Toris.

 

Keterangan foto utama:  Suasana lembah di Desa Rantetarima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version