Mongabay.co.id

Kala Alih Fungsi Hutan Naikkan Risiko Malaria

Hamparan sawit milik PT Pasang Kayu, di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat. Foto: Eko Rusidanto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Topoyo, merupakan pusat Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Wilayah ini penuh hamparan sawit. Tempat ideal mendapatkan paparan sinar karena letak tak jauh dari garis lintang khatulistiwa.

Saya mengunjungi Desa Tobadak, kediaman Bupati Mamuju Tengah, yang tersohor. Namanya Aras Tammauni. Rumah sang bupati, cukup kontras dengan bangunan warga lain. Bangunan berdiri dengan cat putih, di depan ada pilar. Bak istana kecil di sebuah desa. Di dekat rumah itu, ada PT Badra, anak perusahaan Astra Group beroperasi.

Baca juga: Mengenal Nyamuk, dari Pembawa Petaka hingga Pengendali

Jalan desa di Mamuju Tengah, beraspal cukup mulus. Banyak debu berterbangan. Truk-truk pengangkut tandan buah segar (TBS) adalah pemandangan setiap waktu. Ia diangkut ke tempat pengepul, lalu dibawa ke perusahaan. Ada puluhan perusahaan sawit beroperasi di Sulawesi Barat.

Kondisi inilah yang mengubah lansekap kawasan. Melibas semua tutupan hutan dan jadikan tanaman monokultur, salah satu sawit. Padahal, Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar di Mongabay mengatakan, kalau konstribusi sawit buat pembangunan daerah itu minim.

Hal serupa dikatakan Arsal Aras, Ketua DPRD Mamuju Tengah, sawit memberi pendapatan daerah tidak setimpal dengan laju deforestasi, tak sampai 10%.

Pada 1999, luas hutan Sulawesi Barat sekitar 1,131 juta hektar, menurun drastis 20 tahun kemudian jadi 62.000 hektar. Rata-rata deforestasi mencapai 3.100 hektar per tahun. Laju kerusakan ini bukan hanya dari sawit, sejak izin hak pengelolaan hutan (HPH) tahun 1980-an.

Tahun 2012, Balai Penglolaan Daerah Aliran Sungai Lariang, Mamasa Sulawesi Barat, mencatat sekitar 822.951 hektar luas hutan Mamuju berpotensi kritis, 104.614 hektar agak kritis, 6.000 hektar sangat kritis.

Pembalakan liar pun tak kunjung usai. Pada Juni 2019, saya mengunjungi Desa Towiara, secara administratif masuk wilayah Donggala, Sulawesi Tengah–berbatasan dengan Sulawesi Barat. Ini hulu Sungai Lariang. Air sungai sedang surut. Di tengah badan sungai ada daratan ditanami sawit oleh masyarakat, luas bisa mencapai dua lapangan sepakbola.

Di pinggir, bantalan kayu sedang direndam. Ada ratusan balok besar, pembalakan liar di tempat ini tak pernah surut. Di desa kecil ini ada empat usaha gergaji kayu (soimel) dengan mempekerjakan beberapa orang. Kayu-kayu ditarik pakai perahu.

Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Yahya, antropolog Universitas Hasanuddin dalam desertasi mengenai “Respon Terhadap Penyakit; Studi etnografi perawatan kesehatan penderita malaria di Kecamatan Topoyo, Sulawesi Barat”, mengatakan, perubahan hutan sebagai cikal bakal epidemi.

Ketika hutan terbabat, dan terjadi alih fungsi lahan, satu contoh saja, ban truk membuat kubangan di pembukaan jalan, jadikan seperti sumur kecil dan tempat nyamuk meletakkan telur. Paparan matahari kemudian membuat proses telur jadi jentik akan makin baik. Hal ini tak pernah terbayangkan. “Pembalakan dan alih fungsi lahan, tanpa mencermati ekosistem memperburuk keadaan,” kata Yahya.

 

Nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Foto: Paul I. Howell, MPH; Prof. Frank Hadley Collins/Centers for Disease Control and Prevention [CDC]/Image Number: 9534 via Britannica.com

 

Yahya, meneliti hubungan pembukaan lahan dengan merebaknya epidemi malaria di Mamuju Tengah tahun 2014-2015. Desertasinya menjelaskan dengan gamblang bagaimana perubahaan lansekap itu mempengaruhi lingkungan. “Siapa yang peduli. Keuntungan menjadi prioritas,” katanya.

Penelitian itu dilakukan melalui studi etnografi yang panjang. Dia menemukan, bagaimana program transmigrasi, memindahkan masyarakat, dengan dalih pemerataan penduduk akhirnya membuat beberapa orang meninggal, karena terserang malaria.

“Tahun-tahun awal, mereka bahkan berdiskusi dalam kelambu. Makan dalam kelambu,” kata Yahya.

Setiap jelang magrib, katanya, nyamuk seperti kawanan lebah dengan sarang terusik. Mereka mamasuki rumah penduduk. “Menyerbu seperti pasukan kelaparan.”

Badan Pusat Statistik Mamuju Tengah 2013, mencatat, kasus penderita malaria ada 224 orang. Paling tinggi berada di Topoyo 99 kasus, Kecamatan Kaross 74 kasus, Tobadak (51), Budong-budong 18 kasus, dan Pangale tiga kasus.

Kasus malaria terus berkurang setiap tahun. Catatan BPS 2017, menyebutkan, penderita di Mamuju Tengah sebanyak 16 orang. Kecamatan Budong-budong (3), Tobadak (7), Topoyo (4), Karossa (2) dan Pangale tak ada penderita.

Di Pasangkayu, wilayah dengan laju pembukaan hutan kasus malaria pada 2017 ada 17 orang, tersebar di empat kecamatan dari 12 kecamatan.

 

 

Parasit purba

Virus malaria, adalah parasit  purba. Diduga berasal dari Afrika dan telah menulari manusia sejak masa prasejarah. Dugaan ini dilatari karena temuan fosil nyamuk di lapisan geologi dengan perkiraan usia 30 juta tahun lalu.

Di Tiongkok, malaria disimbolkan dengan tiga iblis yang membawa palu, membawa ember besar berisi air dan membawa tungku api. Catatan paing awal mengenai malaria dituliskan oleh Nei Tjing pada 2700 sebelum masehi. “Simbolisasi itu adalah indikasi malaria dimana gejalanya, sakit kepala, dingin hingga menggigil, dan demam tinggi,” tulis Yahya.

Apa sebenarnya yang menyebabkan malaria? Parasit malaria dibawa nyamuk jenis Anopheles. Ia membawa parasit  plasmodium, parasit yang kemudian dikenal dengan malaria. Penyebarannya, dikenal dengan nama trias malaria, yakni, agent (penyebab), host (penjamu, manusia dan nyamuk) dan environment (lingkungan).

Penyebutan nama malaria adalah pandangan Hippocrates (400-370 tahun sebelum masehi) menyatakan, jika penyakit itu muncul karena hawa busuk dari daerah rawa.

Menurut dia, penyakit ini muncul karena udara yang berbau dan tak sehat. Maka demikian terminilogi malaria berasal dari mal berarti busuk, dan aria berarti udara. Pandangan ini berubah tahun 1880, ketika Charles Lois Alphonse Laveran, dari Francis yang menemukan  plasmodium.

Parasit ini kemudian dibedakan menjadi lima. Pertama, Plasmodium falcapirun, parasit yang menyebabkan malaria tropikana. Kedua, Plasmodium vivax, menyebabkan malaria tertiana. Ketiga, Plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana. Keempat, Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale. Kelima, Plasmodium knowlesi, virus khusus yang menyerang binatang.

 

Ilustrasi. Perambahan hutan dan  pembalakan liar, salah satu pemicu malaria makin menggila. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Di Sulawesi Barat, ditemukan malaria tropikana dan tertiana. Orang-orang yang mengalami gejala awal malaria ini, biasa menggunakan ramuan tradisional, seperti dedaunan pahit hingga empedu ular piton.

Siklus virus plasmodium yang dibawa nyamuk ini, akan terus berkembang. Virus plasmodium, berada dalam darah manusia yang dibawa oleh nyamuk Anopheles betina.

Bila kondisi lingkungan sudah baik, penyebaran virus bakal berkurang.

Beberapa penderita yang tak lagi ada gejala malaria, kadang merasa diri bebas, bukan karena hasil laboratorium.

Kejadian ini, bisa membahayakan penduduk lain. Nyamuk Anopheles yang seharusnya tak memiliki lagi virus plasmodium, ketika menggigit penderita yang masih memiliki virus plasmodium dalam darah, akan membuat sang nyamuk kembali membawa petaka. “Jadi, ada kisah dimana stigma mengenai Mandar sangatlah buruk. Jangan makan sembarangan jika mengunjungi Mandar, karena mantranya bisa membuat lembek kepala,” kata Yahya.

“Kamu tahu itu kenapa? Kalau ke Mandar dari Makassar kan jauh. Sampai di sana, diajak begadang, ngopi dan cerita. Kondisi tubuh sedang tidak fit, nyamuk gigit. Bisa terjangkit malaria kita. Nah, stigma itulah, sebenarnya penyakit malaria.”

Yahya juga bilang pada saya, saat pemukiman di Desa Budong-budong dibuka untuk program transmigran, beberapa pendatang terinfeksi malaria. Sebelumnya, kawasan itu adalah hutan primer, tempat beberapa jenis nyamuk lebih banyak menghisap darah binatang. Hutan terbabat, hewan menjauh mengikuti kanopi hutan. Yang tertinggal itu nyamuk.

Manusia dan ternak datang. “Coba bayangkan. Beberapa orang bahkan menyaksikan sendiri kuda yang dibawa dari Polmas (Kabupaten Polewali Mamasa) tak ada yang bertahan. Semua mati, karena dikerumunin nyamuk sepanjang malam,” katanya. “Tapi apakah kita peduli itu?”

Mungkinkah nyamuk dimusnahkan? “Tidak mungkin.” Mengendalikan nyamuk, katanya, adalah hal terbaik. Beberapa serangga, burung, hingga ikan bergantung pada nyamuk dewasa dan larva. Nyamuk merupakan bagian ekosistem dan rantai makanan.

Di dunia, sedikitnya ada 3.500 spesies nyamuk. Di Indonesia checklist tahun 1981 ditemukan lebih dari 400 spesies.

Di warung kopi Topoyo, sekitar pukul 20.00, saya meneguk kopi dengan kipas kencang. Nyamuk tetap saja datang mengganggu. Menggigit bagian kulit yang terbuka. Nyamuk tumbuh bersama manusia.

Saya bertanya-tanya, inilah ulah manusia, mendekati dan merusak habitat nyamuk. Setelah itu menyalahkan nyamuk, sebagai pembawa petaka. Siapa sebenarnya yang memicu ini?

 

Keterangan foto utama: Perubahan tutupan hutan jadi kebun jadi atau alih fungsi hutan dan lahan bisa jadi pemicu penyakit malaria. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Nyamuk penyebab penyakit malaria [Anopheles minimus] yang banyak tersebar di Asia. Foto: James Gathany/CDC via Britannica.com

 

Exit mobile version