Mongabay.co.id

Warga Riau Bersemangat Kelola Hutan Desa tetapi Terkendala Dana

Selain tanam sagu untuk kebutuhan ekonomi, masyarakat Sungai Tohor juga adopsi pohon alam untuk mengembalikan fungsi hutan yang telah rusak dan pernah terbakar hebat pada 2014. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Ridwan, warga Desa Sungai Tohor, Riau, punya kegiatan baru. Bersama warga lain, saban pagi dia sudah berada di sepetak lahan berisi kangkung, terung, sawi dan jagung.

Di beberapa sudut berpembatas, ada bibit bibit kayu meranti, punak dan ramin. Lahan milik bersama itu juga dibangun pondok kecil, lengkap dengan peralatan dapur, tempat mereka melepas lelah dan menyeduh kopi.

Selain bergantung pada sagu, mereka ingin mengembangkan tanaman hortikultura dengan memanfaatkan pekarangan rumah.

Baca juga: Tambang Batubara Ini Ancam Hutan Desa dan Dekat Suaka Rimbang Baling

Lahan sepetak itu hanya percontohan, sebagai daya tarik dan menambah pemasukan anggota kelompok. Sembari itu, mereka tak luput untuk selalu menanam pohon.

Seperti pada Sabtu 26 Oktober 2019. Di tengah gerimis, Ridwan bersama masyarakat Sungai Tohor, tanam ratusan kayu alam dan sagu. Areal itu sudah dua tahun dikelola masyarakat sebagai hutan desa.

Mereka ingin terus mengadopsi dan tanam pohon, untuk memperbaiki hutan yang sempat rusak oleh PT Lestari Unggul Makmur (LUM) dengan menggali kanal.

Adopsi pohon itu didukung banyak pihak. Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau yang ikut menanam bersama masyarakat, mengatakan, adopsi pohon ini bagian dari pemulihan gambut. Sagu yang berdampingan dengan pohon alam dapat menambah kualitas sagu.

“Sembari memulihkan hutan dan gambut, sosial ekonomi masyarakat juga meningkat,” katanya.

Pemulihan gambut tak cukup dengan sekat kanal. Adopsi pohon bertujuan memperbaiki hubungan ekologi dan ekonomi lewat partisipasi masyarakat.

Abdul Manan, rekan Ridwan, mengatakan, pelibatan masyarakat akan mencegah perusakan hutan seperti penebangan kayu alam. Selama ini, kata pria yang biasa disapa Cik Manan ini, pemodal jadi biang keladi penebangan hutan marak di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, terutama Desa Sungai Tohor.

Julius Robinson, mewakili Equity to Equator, mendukung keinginan masyarakat perbaiki alam untuk menunjang kehidupan sosial dan ekonomi. EtE akan berpatisipasi lewat penjaringan orang-orang di seluruh dunia ikut terlibat menanam pohon.

“Suatu saat mereka yang telah beri modal tanam pohon di sini akan datang melihat hasilnya.”

 

Bibit sagu untuk kegiatan adopsi pohon di Hutan Desa Sungai Tohor. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

***

Ridwan, salah seorang masyarakat yang ikut menolak LUM, anak perusahaan April Group, saat babat hutan dan gali kanal di Tebing Tinggi Timur untuk tanam akasia. Bertahun-tahun menolak, Ridwan aktif mengumpulkan masyarakat.

Ridwan pernah bertemu mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di salah satu kantor berita radio di Pekanbaru. Pertemuan itu sekitar 15 menit tak sesuai tuntutan masyarakat cabut izin LUM.

Ada tujuh desa yang terdampak aktivitas LUM dengan luas izin 10.000 hektar. Kerusakan hutan yang terlanjur terjadi sampai 4.ooo hektar dan sebagian kebun sagu masyarakat.

LUM sempat mendirikan camp pekerja. Masyarakat pernah dibujuk pemerintah setempat, tetapi mereka kompak menolak. Alasannya, kegiatan perusahaan tak sesuai kearifan lokal.

Izin LUM akhirnya dicabut Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil nyata perjuangan Ridwan dan masyarakat terwujud 17 Maret 2017. Tujuh kepala desa di Tebing Tinggi Timur dipanggil untuk menerima langsung surat keputusan dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, Hadi Daryanto, ketika membuka kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Deli Serdang, Sumatera Utara.

Berdasarkan dokumen rencana pengelolaan hutan desa (RPHD) Sungai Tohor, luas wilayah kelola sekitar 2.940 hektar, terbagi beberapa blok, seperti blok perlindungan 1.353,90 hektar, blok pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1.025,11 hektar dan blok pemberdayaan 560,99 hektar.

Hutan Desa Sungai Tohor menyimpan sejumlah flora atau kayu alam seperti:, meranti, kulim, sungkai, punak, jelutung, medang, tembesu, bintangor hingga bakau. Pohon-pohon ini juga menghasilkan madu kelulut. Sedangkan fauna yang masih ditemukan antara lain, lutung, siamang, kera, ungka, pelanduk, trenggiling, babi hutan, ayam hutan serta berbagai jenis ular dan burung.

Potensi Hutan Desa Sungai Tohor paling dominan adalah, hasil hutan bukan kayu. Sagu, adalah mata pencaharian utama masyarakat selain pinang, rotan dan karet.

Tiap bulan masyarakat menghasilkan 500-700 ton sagu basah dengan kisaran harga Rp1.950 perkg. Perbulan masyarakat Sungai Tohor menghasilkan lebih Rp 1 miliar dari hasil sagu basah yang mulai kirim ke Malaysia.

Pada 2014, Presiden Joko Widodo, pernah datang ke Sungai Tohor, turut mendirikan pabrik sagu terpadu yang kini pembangunan mulai rampung. Dengan ada pabrik, sagu tidak lagi keluar dari Sungai Tohor dalam bentuk basah, melainkan barang olahan siap konsumsi. Jokowi juga tanam bibit sagu dan kini tumbuh yang ditandai pagar pembatas oleh masyarakat.

Selain membatasi dan membagi zona pengelolaan, rencana pengelolaan hutan desa juga menyasar pada kegiatan konservasi dan pengamanan. Selain patroli untuk mengamankan sisa-sisa kayu alam, kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat puas, setelah kebakaran hebat 2014, kini Sungai Tohor, nihil api.

 

Tiap pagi, Ridwan selalu melihat bibit tanaman dan kayu alam milik kelompok masyarakat. Bibit kayu alam ini akan ditanam pada Hutan Desa Sungai Tohor. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kepala BNPB Doni Munardo mengunjungi tempat ini 2 Agustus lalu, di tengah Karhutla yang terus menghanguskan wilayah lain di Riau.

Doni ingin mencontoh cara masyarakat menata air dan mengelola lahan gambut, buat jadi praktik di wilayah lain dengan kondisi serupa, rawan karhutla.

Pencegahan itu memang ampuh sejak pertamakali Jokowi turun langsung beri bantuan bikin sekat kanal. Badan Restorasi Gambut menambah 11 sekat kanal lagi. Meski musim kemarau, tinggi muka air dalam parit tetap stabil dan masyarakat tetap bisa menghanyutkan potongan batang sagu.

 

Perlu bantuan

Keberhasilan dan semangat Ridwan bersama masyarakat sedikit terhambat karena tak adan bantuan dana dari pemerintah.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sungai Tohor, Zamhur, mengatakan, rencana kerja tahunan hutan desa mengharuskan masyarakat tanam sagu 56 hektar pertahun. Mereka perlu tambahan dana untuk mempercepat pengelolaan dan pemanfaatan hutan desa.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016, menjelaskan, pembiayaan penyelenggaran perhutanan sosial dapat bersumber dari: anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah. Juga, dari pinjaman pembiayaan pembangunan hutan, dana desa, dana rehabilitasi hutan dan lahan dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.

Triono Hadi, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, mengatakan, anggaran perhutanan sosial di Riau, masih untuk operasional dan perjalanan dinas, seperti sosialisasi dan pertemuan masyarakat. Jadi, katanya, belum ada pembiayaan pasca dapat izin. Triono berharap, APBD Riau 2020 juga untuk pemanfaatan hak kelola warga.

 

Tata kelola air dengan sekat kanal di Sungai Tohor, berjalan baik hingga sejak 2014, tak ada kebakaran hutan dan lahan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam rencana kerja pemerintah daerah 2020, ada anggaran yang menyinggung perhutanan sosial, yakni, asistensi pengendalian pelaksanaan RKU, RKTdan RPHD pada perizinan perhutanan sosial. Penyuluh dan pengawasan perlindungan hutan pada hutan adat, HKm atau hutan desa, alokasi anggaran lebih Rp500 juta.

Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera mengumpulkan 70 orang dari 35 ketua dan sekretaris Kelompok Perhutanan Sosial di Riau, Rabu (20/11/19).

Selama dua hari, mereka akan difasilitasi menyusun rencana kelola dan rencana kerja usaha sekaligus pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Dari 45 izin perhutanan sosial di Riau, baru 12 kelompok punya rencana pengelolaan dan rencana kerja usaha.

Fasilitasi itu untuk menyelesaikan kelambatan penyusunan dokumen rencana kerja dan pengelolaan perhutanan sosial pasca diberi izin. Termasuk, hutan desa yang diberikan ke tujuh desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Baru Desa Sungai Tohor, yang punya RKU, rencana kerja tahunan (RKT) dan RPHD.

Ervin Rizaldi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau mengatakan, kelompok perhutanan sosial lambat menyusun rencana kerja karena pengetahuan ketentuan pengelolaan hutan kurang. Persoalan dana, katanya, tak jadi kendala besar, hanya tak ada penggerak. Bila ada peninjauan lapangan, katanya, mereka bisa menggunakan fasilitas KPH setempat.

Ervin membenarkan, pembiayaan penyelenggaran perhutanan sosial selama ini baru sebatas pembinaan, operasional tim dan untuk kelompok kerja, tak ada buat pengembangan.

Dia berharap, kelompok perhutanan sosial lebih aktif menjalin kerja sama dari pihak ketiga, atau istilah lainnya bapak angkat, termasuk mencari pinjaman.

 

Keterangan foto utama:  Selain tanam sagu untuk kebutuhan ekonomi, masyarakat Sungai Tohor juga adopsi pohon alam untuk mengembalikan fungsi hutan yang telah rusak dan pernah terbakar hebat pada 2014. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pembibitan kayu alam oleh masyarakat Sungai Tohor untuk ditanam pada lahan bekas terbakar 2014 lalu yang dikelola sebagai hutan desa. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version