Mongabay.co.id

Ada Inpres Moratorium Sawit, Perusahaan Malah Baru Mau Operasi di Malut

Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Macan ompong. Mungkin istilah ini cocok disematkan buat Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2018, tentang Penundaan, Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang keluar 29 September 2018. Ia tampak gagah dan bagus di tataran aturan, tetapi sudah lebih setahun belum berefek di lapangan.

Aturan yang antara lain memandatkan setop izin dan evaluasi perizinan ini seakan tak ada, bahkan, setelah ada kebijakan ini izin perusahaan sawit yang sudah lama ‘mati suri’ malah baru mau mulai beroperasi. Satu kasus terjadi di Halmahera Timur, Maluku Utara.

Baca juga :  Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit

Di Halmahera Timur, Malut, izin perkebunan sawit yang dimiliki PT Dede Gandasuling, rencana beroperasi di Kecamatan Wasile Selatan, mendapat penolakan warga.

Senin (18/11/19), sejumlah pemuda dan mahasiswa menamakan diri Aliansi Masyarakat Wasile, berunjuk rasa ke Kantor Kecamatan Wasile Selatan, Haltim.

Mereka mendesak, pemerintah kecamatan bersama warga, menolak kehadiran perusahaan ini. Warga lima desa,   yakni, Waijoi, Jikomoi, Loleba, Tanure, dan Yawal, khawatir terkena daya rusak dari perkebunan ini. Desa mereka berada dalam hak guna usaha (HGU) perusahaan.

Pada 16-17 Oktober 2019, perusahaan menggelar sosialisasi soal HGU ke warga. Usai sosialisasi, masyarakat menolak izin ini masuk perkebunan warga. “Banyak kelapa dan tanaman lain sumber kehidupan masyarakat terancam hancur,” kata Jems Komo-komo koordinator aksi.

Mukaram Hi Ahmad, Seksi Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Kecamatan Wasile Selatan, saat menemui massa berjanji menindaklanjuti tuntutan mereka ke Pemerintah Malut. “Kami akan tindaklanjuti tuntutan ini,” katanya.

Baca juga: Setahun Kebijakan Moratorium: Sulitnya Benahi Tata Kelola Sawit

DGS mengantongi izin Bupati Halmahera Timur, bernomor 188.45 tentang pemberian izin lokasi tertanggal 17 Oktober 2007. DGS juga mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) melalui SK bernomor 188.45 tahun sama. Perusahaan sudah mengantongi izin HGU melalui SK Kepala BPN tertanggal 24 Mei 2010 tentang HGU bernomor 0001. HGU meliputi Desa Waijoi–Leleba seluas 7.797 hektar.

Di Malut, setidaknya ada tiga perusahaan perkebunan mengantongi izin pemerintah, yakni, PT Gelora Mandiri Membangun, anak perusahaan PT Korea Indonesia (Korindo) di Halmahera Selatan. Lalu, PT Manggala Rimba Sejehtera izin di Patani Timur, Halmahera Tengah dan PT Dede Gandasuling, izin operasi di Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur.

 

Aksi yang digelar mahasiswa dan warga. Mereka protes perusahaan perkebunan sawit di Wasile Selatan pertengahan November ini. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Data dihimpun dari Dinas Kehutanan Malut, dari tiga perusahaan ini baru GMM sudah tanam sawit. H Syamsul, Kepala Bidang Perencanaan Dishut Malut mengatakan, yang sudah beroperasi GMM. Perusahaan telah menanam sawit. Informasi terakhir, katanya, perusahaan akan membangun pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Soal konflik dengan masyarakat,   dia benarkan dalam peta kawasan hutan dan perairan ada lahan-lahan atau kebun masyarakat . Karena itu, kala ada perusahaan muncul konflik.

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Dia bilang, biasanya perusahaan akan musyawarah atau mungkin ada penggantian nilai kebun-kebun maupun tanaman.

“Di Gane atau lokasi GMM masih proses SK-nya sampai sekarang dan belum keluar.   Itu penyiapan kawasan hutan produksi konversi yang dilepaskan untuk kebun plasma   masyarakat.     Lahan ini   nanti petani bisa mendapatkan bibit bahkan dibiayai penanaman sawit , hasilnya dibeli perusahaan,” kata Syamsul.

Soal pelepasan kawasan itu, katanya, kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah provinsi, katanya, tak punya kewenangan meminjam pakaikan kepada pihak lain. “Jadi, kami tak memberikan izin pelepasan. Kalaupun ada izin yang diajukan pasti tidak dikabulkan karena ada Inpres No 8 tahun 2018.”

Menurut dia,   penyaringan terakhir itu ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan harus penuhi banyak syarat.

Baca juga: Fokus Liputan: Sawit Masuk Gane Koyak Persaudaraan,  Warga pun Panen Derita (Bagian 2)

Untuk proses pelepasan kawasan hutan, katanya, ada tim terpadu. “Misal, tim terpadu memastikan kawasan yang dilepaskan itu memiliki tegakan atau tidak. Jika hutan sekuder itu produksi tegakan di bawah 12.000 kubik per hektar akan dibatalkan. Karena itu, pelepasan kawasan ini akan dinilai oleh tim terpadu. Banyak hal akan dinilai,” katanya.

Saat ini , katanya, tak ada pengajuan izin baru untuk perkebunan sawit.   KLHK pun, sudah mengeluarkan peta indikatif ini akan merevisi beberapa izin yang bermasalah serta penghentian pengurusan izin baru khusus hutan primer.

Kala disinggung soal tiga poin inpres, yakni,   penundaan izin, evaluasi dan peningkatan produktivitas, katanya, izin yang sudah keluar dievaluasi. Namun, katanya, sudah jadi tanggung jawab instansi lain bukan Dinas Kehutanan.

Zainal Arifin Lessy, Kabid Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu (DPMPSP) Malut mengatakan, Inpres No 8. berarti bicara teknis.

Berdasarkan kebijakan itu, tugas mereka hanya melanjutkan perizinan yang telah proses dari instansi teknis, seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan atau Pertanian.

Kalau instansi-instansi itu sudah memberikan pertimbangan kelayakan izin, katanya, atau mereka merekomendasikan tidak bisa keluar izin, maka DPMPSP tak akan mengeluarkan.

“Kami hanya mengurus administrasi. Bicara layak atau tidak izin itu ada di instansi teknis.   Dalam kasus perkebunan sawit GMM waktu keluar izin instansi kami belum ada. DPMPSP berdiri pada 2015, izin GMM 2009 yang diberikan izinya Pemerintah Halmahera Selatan.”

 

Kawasan hutan yang masuk dalam wilayah adat Banemo, di Halmahera Tengah, Maluku Utara, lepas kepada perusahaan sawit di masa jelang pergantian Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, September 2014. Kini, hutan yang juga penyimpan air bersih warga ini masih terancam karena izin belum dicabut. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Mereka sudah mengecek data izin perusahaan sawit yang disebutkan ada tak ada dalam daftar karena izin di bawah 2016.

Sebagai instansi teknis, katanya, mereka tetap mengikuti aturan berlaku. Mereka sadar, keputusan saat ini akan berdampak di masa mendatang. Dinas ini juga ikut agenda KPK yang membahas isu sumber daya alam, termasuk soal kebun sawit.

KPK, katanya, mempresentasikan kerugian negara tak sedikit dari investasi sumber daya alam ini. KPK sebutkan ada empat sektor penyumbang korupsi sumberdaya alam, yakni, kehutanan, pertanian, pertambangan dan perkebunan.

Serupa dikatakan Badan Lingkungan Hidup (BKH) Malut, kalau izin lingkungan tiga perkebunan sawit di Gane, Halmahera Selatan, izin lingkungan keluar oleh pemerintah kabupaten.

“Bukan kami, pemerintah provinsi. Izin lingkungan keluar 2010 2011. Sampai saat ini belum ada tembusan ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara,” kata Akbar Gani dari BLH Malut.

 

Inpres juga buat kepala daerah

Soal penerapan Inpres moratorium sawit, Hendra Kasim, akademisi Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malut bilang dalam kebijakan itu presiden berdasarkan kewenangan menginstruksikan kepada jajaran struktural dalam kelembagaan negara di bawahnya.

Instruksi itu, katanya, salah satu kepada gubernur.   Aturan itu, katanya, memberikan hak untuk penundaan usulan izin, evaluasi maupun peningkatan produktivitas terutama petani plasma.

“Nah, kita mau mengukur provinsi telah melaksanakan inpres itu atau belum? Instruksi pertama kepada gubernur adalah penundaan usulan izin perkebunan sawit dan izin pembukaan lahan dan seterusnya. Saya tidak mendengar penjelasan pemerintah tentang fungsi yang telah dijalankan.”

Soal tak ada penundaan, katanya, apakah ada data berapa izin ditunda. Kalau tak ada penundaan, katanya, apakah karena tak ada pengajuan izin atau memang menolak memberikan izin.

Begitu juga kalau ada verifikasi data kira-kira berapa banyak data izin telah diverikasi. Data-data ini, kata Hendra, harus disajikan pemerintah daerah agar perkembangan inpres bisa terlihat di lapangan dan terukur.

Data-data ini, katanya, bermanfaat bagi laporan pertanggungjawaban pemerintah.   “Itu kesempatan pemerintah menyampaikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka.”

Dari gambaran penjelasan beberapa instansi ini, dia menilai pelaksanaan inpres tak maksimal. “Harapan kami, ada data dan informasi yang bisa disampaikan hingga bisa diukur seberapa serius pemerintah daerah menjalankan inpres ini.”

 

Keterangan foto utama:  Perkebunan sawit PT GMM, anak usaha Korindo, yang berada di bagian timur Halmahera Selatan, salah satu dari tiga perusahaan sawit yang mendapatkan izin di Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kelapa (kopra) jadi salah satu andalan warga Halmahera. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version