Mongabay.co.id

Rorak, Selamatkan Tanaman Kakao Saat Kemarau Berkepanjangan. Seperti Apa?

 

Sepanjang jalan menuju desa Rukuramba meski waktu baru pukul 08.00 WITA, sengatan mentari seakan membakar kulit. Hamparan kebun kakao di Desa Rukuramba, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende daunnya nampak menguning.

Tercatat, hujan deras terakhir mengguyur Kabupaten Ende dan sebagian besar pulau Flores dan NTT hanya sampai akhir April lalu.

Tak heran, tanaman perkebunan seperti kelapa, kakao, jambu mete, kopi dan kemiri daunnya terlihat banyak menguning. Hingga akhir Oktober, hujan yang dinanti petani pun tak kunjung tiba.

“Hujan deras hanya mengguyur wilayah Ende sampai akhir bulan April. Sampai saat ini, pun hujan tak kunjung turun,” tutur Markus Ngga, petani desa Rukuramba, Kamis (31/10/2019) saat ditemui Mongabay Indonesia.

Di kebunnya seluas 0,5 hektare, Markus memperlihatkan hampir semua kakao terlihat berbuah seperti biasa dan daunnya  pun terlihat masih berwarna hijau.

Ketua kelompok Tani Bugu Jumo yang artinya  rajin menanam itu mengaku bernafas lega meski kemarau panjang menghantui petani. Telah beberapa tahun sejak dapat pendampingan dari LSM Veco Rikolto, hasil panen kakao terus meningkat.

Usut punya usut, selain akibat menerapkan teknologi P3S (Pemangkasan, Pemupukan, Panen Sering dan Sanitasi) terhadap lahan kakaonya, pembuatan Rorak jadi faktor penting menyelamatkan tanaman kakao saat kemarau berkepanjangan.

baca : Kakao Berkelanjutan Makarti Jaya: Jenis Burung Bertambah, Produktivitas Meningkat

 

Markus Ngga, ketua kelompok tani Bugu Jumo yang juga Kepala Desa Rukuramba, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT yang sukses menanam kakao dan lainnya dengan penarapan teknologi P3S. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Berbuah Lebat

Apa itu Rorak?

Maria Patrisia Wata Beribe pendamping petani dari LSM Rikolto menjelaskan rorak merupakan lubang-lubang yang digali dengan ukuran tertentu di sekeliling pohon kakao. Untuk kebun kakao di kabupaten Ende, Rorak dibuat dengan lebar 50 cm, panjang 100 cm dan kedalaman 50 cm.

Di dalam lubang itu dimasukan dedaunan kering, kulit kakao serta kotoran ternak. Setelah itu baru ditutup dengan sabuk kelapa. Rorak berfungsi menampung air hujan, unsur hara dan menjadi pupuk bagi tanaman.

“Nutrisinya lengkap apalagi ditambah dengan kotoran ternak. Rorak juga berfungsi menampung air hujan. Setiap tahun menjelang musim hujan digali lagi lubang baru dan Rorak lama kalau kotorannya sudah turun dikasih masuk lagi promi seperti sabuk kelapa,” terangnya.

Markus akui dengan rorak selain tanaman kakaonya yang berbuah lebat dan tidak layu saat musim kemarau, pohon kelapa yang berfungsi sebagai tanaman pelindung pun berbuah lebat dan besar. Tanaman pelindung lain seperti gamal dan pisang pun tumbuh subur.

“Kami tidak menggunakan pupuk kimia, hanya mengandalkan Rorak. Apalagi musim kemarau tidak menentu seperti sekarang. Sebelumnya pakai pupuk kimia karena dapat bantuan pupuk dari pemerintah,” sebut Markus.

Sebelum bergabung dengan Rikolto, satu pohon produksi kakao kering maksimal 0,25 kilogram per tahun. Saat ini sudah mencapai satu kilogram setelah menerapkan P3S dan Rorak.

Di lahan seluas 0,5 miliknya Markus menanam kakao sejak tahun 2001 dan baru mendapat dampingan Rikolto sejak 2014 silam. Terdapat 435 pohon kakao dimana 335 pohon sudah berproduksi.

Sementara 50 pohon lainnya belum berbuah dan 50 lainnya sudah tua dan rusak. Untuk pohon tua, dirinya selalu melakukan peremajaan dengan menanam klon unggul seperti MCC 01, MCC 02, Sulawesi 1, Sulawesi 2, Ikri 2 dan Ikri 4.

“Saya juga melakukan sambung samping dan sambung pucuk sehingga buah kakao yang dihasilkan lebih bagus kualitasnya. Setahun bisa menghasilkan sekitar 335 kilogram dan bisa mendapat uang Rp10 juta,” tuturnya.

Kalau melihat pohonnya tidak bisa dipergunakan lagi maka tunas baru  dilakukan sambung pucuk dan pohon yang masih bagus dilakukan sambung samping.

baca juga : Mengenal Cocoa Doctor, Petani Kakao Penggerak di Sulawesi

 

Lubang rorak yang dibuat di kebun kakao Markus Ngga di Desa Rukuramba, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT sebagai penampung hujan dan pupuk bagi tanaman. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Diversifikasi Tanaman

Pola pertanian monokultur atau menanam satu tanaman saja di dalam sebuah lahan pertanian sulit dijumpai di setiap kebun petani di Flores, termasuk di kabupaten Ende.

Selain kakao, lahan pertanian milik Markus ditanami kelapa dan pisang sebagai pohon pelindung. Pinggir jalan ditanami nanas.

Rikolto juga lakukan pendampingan bagi 400 petani kakao yang tersebar di kabupaten Ende dengan pola tanam dan teknologi pertanian yang sama.

Ada tanaman Vanili di setiap pohon gamal. Setelah dua tahun, vanili pun sudah berbuah. Ada juga Merica sekitar 30 pohon berumur 4 tahun dan sudah panen dengan harga Rp50 ribu/kg.

Markus juga memelihara 10 ekor kambing, 3 ekor sapi, babi dan ayam. Selain bisa dijual, kotorannya pun dipergunakan sebagai pupuk yang dimasukan ke dalam lubang rorak sebanyak sekitar 400 lubang.

Pola diversifikasi tanaman dipilih, kata Maria Patrisia, untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani dibanding monokultur.

Secara lingkungan juga sangat membantu sebutnya karena satu tanaman bisa memberi manfaat bagi tanaman lain. Dia mencontohkan, saat panen kelapa, sabuk kelapanya bisa dibuat rorak.

“Gamal juga pertama fungsinya untuk pohon penaung atau pelindung namun kita mau petani memanfaatkan gamal untuk makanan ternak dan pohon untuk rambatan tanaman vanili dan merica,” ungkapnya.

Terkait perubahan iklim, kata Maria, pola diversifikasi tanaman dan integrasi ternak serta tekonologi penangkapan air rorak jadi syarat utama yang wajib dilakukan petani kakao. Apalagi musim kemarau hingga 8 bulan.

Rikolto melakukan analisa agro ekosistem biar petani mengerti kalau menanam kakao berhubungan dengan komponen lainnya. Ini yang dipraktikkan pada petani kakao di Ende.

perlu dibaca : Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 1]

 

Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Flores (Unflor) Ende sedang melakukan praktek membuat rorak di kebun kakao milik Markus Ngga,petani di Desa Rukuramba, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT. Foto : Rikolto/Mongabay Indonesia

 

Regenerasi Petani

Keberhasilan Markus memberi contoh bagi petani kakao lainnya di desanya. Dia pun menjadi petani kunci dan dididik hingga bisa menelurkan ilmunya kepada petani lain.

Berkat ilmunya dan menyandang status cocoa doctor, Markus juga menjual entris ranting kakao untuk sambung pucuk dan sambung samping dengan harga Rp.3 ribu per entrisnya. Banyak kelompok tani dari luar desanya yang membeli.

“Kami merekrut anak muda untuk dididik jadi petani sukses dan jadi petani kunci. Kami melihat minimnya regenerasi dimana anak-anak petani dan anak muda lainnya tidak mau menjadi petani,” sebut Maria.

Berkat keberhasilannya Markus pun didapuk warga menjadi kepala desa. Dalam setahun dia memprogramkan peremajaan kakao sebanyak 2 sampai 3 ribu pohon dan membagi anakan kakao dari klon unggul kepada warganya.

Tantangan terbesar merubah hutan jadi kebun kata Markus pertama dari keluarga. Sebab kadang isteri melarang kalau pohon induknya dipotong. Kadang isterinya mau tapi suaminya tidak mau pohon kakao tua ditebang.

Biasanya orang kampung menyayangkan menebang pohon yang sudah besar dan rimbun. Markus pun mempraktikkan ilmunya di kebun petani lain dan berhasil namun petani tersebut masih tidak mau meneruskan apa yang diajarkan.

“Harapan saya agar para petani di desa ini bisa lebih baik kehidupannya. Meningkatkan pendapatan keluarga dari hasil kebun sebab tidak ada potensi lainnya yang unggul di desa kami selain kakao dan kelapa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version