Mongabay.co.id

Makna Penting Hutan bagi Orang Rantetarima

Lanskap kampung tua Saludengen dan Rantetarima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Jalan menuju Desa Rantetarima, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, tampak rusak, berbatu dan menukik. Beberapa kali, motor yang saya tumpangi kandas. Puluhan tahun lalu, orang berkendara dengan kuda melalui jalan itu. Akses sulit membuat desa ini terpencil sejak dulu.

Rantetarima dulu bergabung dalam Desa Saludengen, kampung tua di wilayah Pitu Ulunna Salu (P.U.S)–tujuh hulu sungai. Wilayah ini merujuk pada kawasan mukim di antara pergunungan sebelah barat Sungai Mamasa dan Pantai Barat, Polewali.

Di Rantetarima, orang hidup bergantung kebaikan alam. Air bersih dan kayu mereka ambil tanpa harus merogoh duit.

Baca juga: Pa’totiboyongan, Ritual Tanam Padi Orang Mamasa di Rantetarima

Hutan begitu rimbun. Aneka ragam jenis pohon dan tanaman hutan tumbuh. Di lembah hingga lereng gunung, warga mencetak sawah terasering–mengikuti kontur tanah–dan kebun. Di sela-sela lahan terpakai, warga bangun permukiman.

Jalan penghubung antar dusun hanya seukuran satu motor, namun terbuat dari beton. Lebih baik dari jalan penghubung kecamatan yang rusak itu.

Di hari biasa, sebagian besar warga berkebun–yang lain kerja di kantor—sebagai aparatur desa dan mengajar. Bila Pa’totiboyongan, sebuah ritual tanam padi mulai, semua warga sibuk mengurusi sawah.

Rantetarima, tempat hidup bagi 278 penghayat kepercayaan Mapurondo. Mapurondo merupakan aliran kepercayaan orang Mamasa, yang tak memiliki kitab. Ajaran mereka berlanjut ke generasi berikut melalui penuturan pesan-pesan leluhur.

Tallu loronna, adalah tiga dasar kehidupan penghayat Mapurondo. Ialah yang mengatur mereka saat berhubungan dengan To Metampa–sang pencipta, manusia, dan alam.

Dengan pengetahuan ekologi tradisional, komunitas adat di Rantetarima, mampu hidup berdampingan dengan alam. Mereka tak mengubah seluruh hutan jadi kebun dan tak mencemari sungai.

Saya bertemu S Tambanok, Kepala Adat Rantetarima, dan Hamid, tokoh masyarakat Desa Rantetarima. Tambanok sedang sakit. Usia sudah 80 tahun hingga tak selincah seperti dulu saat berkisah.

Sementara Hamid, bagi warga desa, pria 67 tahun ini dikenal sebagai orang yang mengerti sejarah adat mereka. Kami berbincang seputar kehidupan mereka yang berdampingan bersama alam. Berikut petikannya wawancaranya.

 

Hamid, tokoh Dea Rantetarima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Hamid: jangan perkosa hutan

 

Bagaimana makna alam bagi penghayat Mapurondo di Rantetarima?

Menurut keyakinan orang Mapurondo, yang saya dengar dari orangtua, itu isinya di dunia ini bukan hanya manusia dan binatang-binatang yang bisa kita lihat. Banyak isinya, alam yang tidak dilihat manusia. Termasuk yang tinggal di hutan.

Siapa itu?

Ampuajang.

Bagaimana pengahayat Mapurondo di Rantetarima memperlakukan hutan?

Misal, ketika Anda membangun rumah. Pasti masuk hutan untuk mengambil kayu. Keyakinan orang Mapurondo, jangan masuk hutan kalau tidak sopan. Jadi kalau mau ambil kayu di hutan harus izin dengan yang tinggal di hutan.

Kalau dilanggar?

Bisa ketika Anda, masenso (memotong pohon menggunakan mesin senso) pohon di dalam hutan akan dapat kesulitan. Karena mereka itu ada juga yang tinggal di pohon-pohon yang besar itu.

Pokoknya, orang-orang Mapurondo di Rantetarima, tidak ada yang ambil kayu kalau tidak izin dulu. Secara spiritual.

Termasuk membuka kebun?

Iya semua. Karena, menurut keyakinan Mapurondo, kan mereka (Ampuajang) itu sudah diberi kewenangan oleh Tuhan, sang Pencipta. Maka ketika kita masuk ke hutan tidak sopan…. Bagaimana kah kalau, saya masuk ke rumah Anda tidak sopan, pasti Anda marah kan? Demikian juga hutan.

Itu masuk dalam aturan adat?

Iya. Itu hukum. Sudah tidak bisa diamandemen. Apapun perubahan zaman, apapun kemajuan ilmu pengetahuan. Hukum itu, yang oleh para ahli hukum menyebutnya hukum profetik. Tidak bisa diubah.

Seberapa penting hutan?

Itu kalau kita membuka lahan perkebunan, tidak boleh semaunya. Harus pakai aturan, yang mana boleh. Sebab itu pelestarian hutan, sangat ketat dari pesan-pesan leluhur. Itu tidak boleh hutan diperkosa.

Kalau kita mengambil kayu di hutan, kita ambil kayu yang bisa digunakan saja, jangan dirusak yang masih kecil itu. Tidak boleh. Salah. Itu salah menurut tradisi kami.

Terus kalau pohon sudah ditebang, itu akar harus berada di bawah terus. Tidak boleh dibolak-balik. Akar di atas saat dibawa atau sudah jadi rumah. Jadi biar jadi tiang rumah, yang sentuh tanah itu bagian akar.

(Yang dimaksud Hamid: saat memanfaatkan kayu dari hutan untuk bangun rumah posisi kayu harus seperti ia saat masih berbentuk pohon, dengan akar yang terletak di bawah)

Kenapa harus demikian?

Itu sudah tradisi dan sudah menjadi semacam rumus atau aksioma.

Ada batasan atau aturan tertentu saat mengelola hutan?

Hutan digarap sesuai dengan kebutuhan. Tidak boleh diperkosa! Dibabat begitu saja atau dibakar, tidak boleh.

Kita saja kalau membakar untuk membuka lahan baru harus dilalai dulu.

Apa itu dilalai?

Dilalai itu aturan. Lalai itu, begini. Jadi, saya sebelum membakar, itu dibuat seperti parit dulu lima meter. Supaya tidak merambat apinya.

Jadi lalai itu, artinya, wujud penghargaan terhadap hutan. Jadi hutan harus dirawat.

Tempat tidak boleh sembarang pilih, bagaimana caranya tahu daerah yang dilarang?

Itu kewenangan pemangku adat dan kepala desa.

Kepala desa itu bagian pemerintah, bagaimana hubungan dengan adat?

Kepala desa hubungan dengan adat sangat erat. Kalau, misal, ada kebijakan pemerintah pusat masuk ke provinsi, dan sampai ke sini: dia bilang ‘1+1=2’, tetapi ketika sampai di sini harus disesuaikan dengan tradisi.

Kalau suatu hari, ada tambang datang, bagaimana sikap orang Rantetarima?

Kita lihat dulu. Apakah benar-benar merusak atau tidak.

Kalau datang merusak, dia yang dapat ganjaran. Kalau baik, kita tidak pernah mau menolak kebaikan.

Di sini banyak pemanfaatan lahan, seperti sawah dan kebun, juga mengambil batu gunung. Bagaimana orang Rantetarima merawat agar hutan tak rusak?

Itu tadi. Harus seimbang antara penghormatan manusia sebagai yang berlatar belakang Mapurondo terhadap alam.

Kalau merusak hutan, sama dengan merusak sumber air. Apa kira-kira kehidupan ini akan berlanjut ke arah baik kalau sumber kehidupan saja kita rusak?

 

S Tambanok, kepala adat di Rantetarima . Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Tambanok: pesan dari sejarah

Bagaimana hubungan orang Rantetarima dengan hutan?

Hubungannya itu sangat erat. Sebenarnya, ada pesan dari sejarah, hingga erat hubungan manusia dengan hutan.

Bagaimana pesannya?

Itu waktu dulu, air bah, ada enam bersaudara orangtua, mengadakan perundingan. Dua orang bertugas menyurutkan air, satu orang membawa binatang-binatang ke hutan, gunung.

Satu perjanjian setiap mengadakan pesta adat dia meminta kepada dewa gunung. Jadi kalau misal, acara adat kecil, dia bisa berupa satu babi. Kalau besar sedikit, dia meminta dua atau tiga babi.

Yang terbesarnya itu, bisa diminta empat sampai lima babi. Jadi itu hubungan erat, hingga dipelihara terus. Dipelihara bagi orang yang mengenal sejarah. Yang tahu sejarah, dia mudah mendapat berkat dari hutan.

(Pengahayat Mapurondo yakin, air bah pernah menenggelamkan seisi bumi. Di saat itu, nenek moyang mereka, Pongka Padang dan Torije’ne, terdampar. Waktu berlalu, air pun surut. Keduanya lalu bertemu dan menikah. Ada dua versi cerita bagaimana keduanya bertemu. Dari perkawinan itu, mereka memiliki tujuh anak: seorang lelaki dan enam perempuan. Anak mereka kawin. Hanya anak perempuan keenam yang memiliki keturunan sehat. Dia melahirkan 11 anak. Anak-anak itulah yang kemudian menyebar ajaran ke seantero Mamasa)

Seberapa penting hutan bagi orang Rantetarima?

Penting hutan, karena tempat mengambil kayu kalau mau mendirikan rumah. Hutan juga jadi tempat penampungan pupuk yang dihanyutkan hujan lewat sungai lalu ke sawah.

Kalau mau buka lahan untuk kebun dan rumah di hutan, ada aturan?

Ada.

Bagaimana aturannya?

Bikin kebun dulu. Baru membuat rumah. Ada adat, kita melapor ke dewa gunung sebagai pemilik tempat itu, dengan alasan peruntukan perkebunan dan rumah. Ada ritual, ayam dipotong. Nanti kalau bangun rumah, itu baru babi. Kalau kita sudah membuka kampung itu babi dan ayam.

Apakah ada aturan adat yang melarang untuk merusak hutan?

Ada. Boleh memanfaatkan, tapi terbatas. Sebab, hanya yang betul-betul dipentingkan. Dilarang kalau puncak gunung. Lerengnya bisa ditebas kalau hendak berkebun. Karena itu memang persediaan hutan. Puncaknya, tidak boleh ditebang.

Mengapa puncak tak boleh ditebang?

Kalau keyakinan kami, rumah penjaga itu. Puncak gunung itu tidak bisa ditebang karena akan gundul. Kalau modern bisa longsor atau banjir.

Penjaga hutan tinggal di mana?

Ada yang tinggal di pohon, ada pula tinggal di rumah yang indah dan kuat. Katanya orang yang biasa dikatakan peramal itu, tempatnya bagus sekali. Indah. Rumah bertingkat. Tapi ada juga yang tinggal di pohon. Yang tinggal di pohon termasuk pesuruh, bawahan, atau bahasa kasarnya, hamba.

Kalau ada yang merusak hutan, ada sanksi?

Sanksi satu babi. Ia (babi) harus ada sebagai tebus kesalahan, hingga orang takut untuk merusak hutan.

Kalau hutan tetap dirusak?

Iya. Ampuajang (penjaga hutan) jelas marah. Dia harus didenda, satu babi besar untuk meredam marah penjaga hutan itu. Kalau tidak terima, saya katakan jangan tinggal di hutan.

Bagaimana kalau ada orang luar yang datang merusak hutan di Rantetarima?

Kita tegur. Kalau dia tidak terima teguran itu, dia yang harus hadapi pemilik gunung. Terserah maunya pemilik gunung. Nanti orang itu yang tanggung jawab sendiri. Misal, pemilik gunung bilang orang itu akan mati di tengah jalan. Ya matilah di tengah jalan. Kalau nanti baru sampai di rumahnya, ya nanti sampai di rumahnya meninggal dunia.

Jadi, semua yang di luar kawasan perkampungan itu milik dewa, termasuk sungai?

Iya. Tapi sungai itu spesial juga pemiliknya. Dari mana dia datang? Dari dewa gunung juga yang memberikan perintah untuk menjaga sungai itu.

Apa pesan Anda, kepada mereka yang merusak hutan?

Pesan saya, lebih baik jangan tinggal di hutan kalau begitu.

 

 

Keterangan foto utama: Lanskap kampung tua Saludengen dan Rantetarima – Agus Mawan (1)

Perempuan Rantetarima menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version