Mongabay.co.id

Kabut Asap “Hilangkan” Madu Mangrove di Sembilang dan Lalan

 

 

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan [karhutla] di Sumatera Selatan [Sumsel] pada 2019 juga berpengaruh terhadap para pencari madu di hutan mangrove Sembilang, Taman Nasional Berbak-Sembilang. Dari November hingga awal Desember ini, mereka tidak mendapatkan sarang lebah berisi madu.

“Jangankan madu, lebahnya saja sulit ditemukan saat ini. Bukan hanya di hutan mangrove Sembilang juga yang masih ada di Lalan,” kata Kusnadiono [55], Ketua Koperasi Sari Usaha, di rumahnya, Desa Karangsari, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumsel, Jumat [06/12/2019].

Dijelaskannya, pada bulan November-Desember, setiap tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan, masih didapatkan madu di hutan mangrove Sembilang. “Selama sebulan madu yang didapatkan mencapai 500 kilogram,” katanya.

Baca: Mangrove Lestari, Madu Lalan-Sembilang Terjaga Sepanjang Tahun

 

Sebuah perahu nelayan di Sungai Lalan. Nelayan hidup bersama keluarganya di atas perahu ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selama ini madu banyak didapatkan di hutan mangrove dari sejumlah anak Sungai Sembilang yang terhubung dengan Sungai Lalan, baik sungai alami maupun kanal yang dibuat untuk permukiman transmigran yang masuk Kabupaten Banyuasin dan Muba. Madu ini kebanyakan didapatkan dari sarang lebah di bakau, putut dan sialang, yang tingginya kisaran 15-20 meter.

Sungai itu adalah Sungai Gajah, Sungai Sampan, Sungai Kancil, Sungai Kuntul, Sungai Tengkorak, Sungai Sapar dan Sungai Tabuan.

Pemasaran madu hutan mangrove selain di masyarakat di Lalan, Upang, Pulaurimau, Sungsang, juga ke Palembang. Setiap bulan kisarannya 200-300 kilogram.

Kebakaran memang tidak terjadi di kawasan mangrove yang menjadi lokasi pencarian madu. Tapi kabut asap yang berhembus dari lokasi kebakaran di luar Sembilang, selama November 2019 lalu turut menyelimuti hutan mangrove Sembilang, termasuk dirasakan di permukiman masyarakat di Lalan.

“Asap kan memang musuhnya lebah. Guna mengambil madu di sarangnya, gunakan asap buat mengusirnya,” jelas Kusnadiono yang sehari-hari berprofesi sebagai pengajar sekolah dasar.

Sebagai informasi, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan mencapai sekitar 361.857 hektar. Sebarannya seluas 204.974 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], 59.425 hektar di Kabupaten Banyuasin, serta 43.815 hektar di Kabupaten Musi Banyuasin.

 

Satu keluarga nelayan yang hidup di bagan ikan bersama istri dan anaknya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Data ini dikutip dari CNN Indonesia, sebagaimana pernyataan Iriansyah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Sumsel pada Jumat [8/11/2019] lalu. Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] seperti dikutip detik.com, menyebutkan luasan karhutla di Sumsel sekitar 52.716 hektar.

Satu lokasi kebakaran rawa gambut yang asapnya berdampak pada sejumlah desa di Lalan dan Sembilang adalah wilayah Sungai Keladi di Kabupaten Banyuasin. Kawasan terbakar ini diperkirakan berada di hutan lindung, yang tengah dibuka masyarakat. Kabut asap dari kebakaran ini sangat memengaruhi transportasi di Sungai Lalan yang sebagian besar menggunakan speedboad.

 

Akibat kebakaran yang berdampak kabut asap, kini sulit ditemukan sarang lebah berisikan madu di hutan mangrove Sembilang maupun Lalan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berbagai usaha

Koperasi Bina Usaha menghimpun berbagai bidang usaha, seperti kelompok tani pencari madu atau HHBK [Hasil Hutan Bukan Kayu] Sahabat Lingkungan di Sembilang, kelompok tani budidaya ikan, serta perhutanan sosial.

Kelompok HHBK Sahabat Lingkungan beranggotakan 15 petani. Sebagian besar berasal dari Desa Mekarsari, karena kanal di desa ini mengalir ke Sungai Sembilang dan sejumlah anak-anaknya yang menjadi lokasi pencarian madu.

Harga madu yang dijual dari koperasi seharga Rp100 per kilogram. Warnanya coklat kehitamanan dengan rasa asam, manis, dan pahit.

Sebagai informasi, Taman Nasional Sembilang yang bergabung dengan Taman Nasional Berbak menjadi Taman Nasional Berbak-Sembilang, pada 2018 lalu ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer. Sekitar 45 persen dari luasan Sembilang yakni 202.896,31 hektar merupakan hutan mangrove.

Dr. Sarno, peneliti mangrove dari Universitas Sriwijaya, kepada Mongabay Indonesia, tahun lalu, menjelaskan ada 28 jenis mangrove di Sembilang. “Ini berdasarkan penelitian bersama restorasi kawasan mangrove terdegradasi di Sembilang antara Universitas Sriwijaya dengan JICA dan TN Sembilang [sebelum bergabung dengan TN Berbak] selama lima tahun, 2010-2015. Lanskap Sembilang sendiri dialiri 70 sungai,” jelasnya.

Jenis-jenis mangrove itu di antaranya adalah jeruju putih [Acanthus ebrachteotus], jeruju [Acanthus ilicifolius], piai raya [Acrosthicum aureum], piai lasa [Acrosthicum speciosum], gigi gajah [Aegiceras corniculatum], api-api [Avicennia alba], api-api abang (Avicennia marina), api-api daun lebar [Avicennia officinalis], burus [Bruguiera gymnorrhiza], pertut [Bruguiera parviflora], bius [Bruguiera sexangula], tancang-sukun [Bruguierra cylindrical], dan kenyonyong [Ceriops decandra].

 

Jejak kebakaran di hutan lindung di tepi Sungai Keladi, Kabupaten Banyuasin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain kelompok tani pencari madu, koperasi ini juga mengelola kelompok tani penambakan ikan lele yang didukung Badan Restorasi Gambut [BRG] sebanyak 20 petani.

“Wilayah Lalan ini dulunya merupakan sentra ikan air tawar. Tapi kini populasinya berkurang, sulit mendapatkannya di Sungai Lalan maupun di kanal-kanal dengan cara memancing dan menjala. Harus dilakukan pemasangan pesap [jaring ikan panjang] di tengah sungai. Tapi itu tidak mungkin dilakukan sebab Sungai Lalan merupakan sarana transportasi tongkang-tongkang besar yang membawa batubara, kayu akasia dan sawit,” kata Suhaidir [55], warga Desa Karangsari.

Sementara hasil tangkapan ikan nelayan di perairan Sungai Banyuasin dan Sembilang, yang dekat Lalan, banyak dikirim ke Palembang.

“Saat ini kebutuhan ikan untuk masyarakat Lalan mayoritas didatangkan dari luar. Dengan adanya usaha kami ini, semoga kebutuhan pangan tidak hanya dari luar, selain tentunya dapat menjadi pemasukan kami selain dari persawahan,” ujarnya.

 

Inilah madu hasil hutan mangrove Lalan-Sembilang yang masih dikemas sederhana. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Sekitar 500 kepala keluarga di Desa Karangsari hidupnya bergantung pada hasil pertanian, khususnya padi. Persawahan di desa ini sekitar 900 hektar. Sebagian kecil membuka perkebunan sawit.

Masyarakat Desa Karangsari bersama Desa Mekarsari dan sejumlah desa lainnya yang berjumlah 1.701 kepala keluarga, sejak 2018 telah dipercaya pemerintah untuk mengelola perhutanan sosial seluas 9.135 hektar. Skemanya melalui kemitraan dengan melibatkan KPH Lalan Mendis.

 

Bagan ikan yang terdapat di pondok-pondok para nelayan yang hidup bersama keluarganya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perhutanan sosial ini didukung proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] yang melibatkan Litbang LHK Palembang yang menata kawasan tersebut menjadi zona lindung [5.653 hektar] dan zona pemanfaatan [3.481 hektar]. Di zona pemanfaatan akan ditanam tanaman hutan yang menghasilkan seperti jelutung, kelapa, dan lainnya.

 

 

Exit mobile version