Mongabay.co.id

Menolak Punah Badak Sumatera, Aceh Terapkan Qanun Perlindungan Satwa [Bagian 4]

 

 

Baca sebelumnya:

Menolak Punah Badak Sumatera, Sumatran Rhino Sanctuary Diperluas [Bagian 1]

Menolak Punah Badak Sumatera, Lampung Siap Menjadi Benteng Terakhir [Bagian 2]

Menolak Punah Badak Sumatera, Kalimantan Timur Deklarasi Aksi Penyelamatan [Bagian 3]

**

 

Dalam Rencana Aksi Darurat [RAD] Badak Sumatera atau Emergency Action Plan [EAP] yang ditetapkan Dirjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018, pada 6 Desember 2018, satu hal penting yang ditekankan adalah menyatukan populasi badak sumatera yang berada di Kawasan Ekositem Leuser [KEL] dan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] ke habitat yang luasnya lebih dari 100.000 hektar.

Keputusan itu diambil setelah sejumlah ahli badak perpendapat, badak-badak yang telah terfragmentasi di Leuser harus dikumpulkan di satu tempat untuk bisa berkembang biak.

Pemerintah Aceh bergerak. Dibantu LSM lokal, nasional, dan internasional, serta lembaga donor aksi darurat badak diwujudkan dengan pembangunan Suaka Rhino Sumatera [SRS].

Lokasi pendirian SRS telah dipilih di Aceh Timur. Tempat ini terhubung langsung dengan hutan alami Kawasan Ekosistem Leuser hingga ke Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Sebagai gambaran, luas KEL yang berada di Provinsi Aceh luasnya mencapai 2,25 juta hektar.

 

Badak Harapan yang perkembangannya selalu diperhatikan di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar saat berkunjung ke Suaka Rhino Sumatera [SRS] di Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung, pada 28 November 2019, menyambut baik usaha penyelamatan badak sumatera di Aceh. Termasuk, rencana pembangunan pusat konservasi badak.

“SRS harus dibangun di Aceh. Provinsi ini masih memiliki hutan luas dan sangat cocok untuk aksi penyelamatan badak sumatera dari kepunahan,” terang mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka [GAM].

Malik Mahmud mengatakan, Aceh juga memiliki Qanun Perlindungan Satwa yang sudah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] Aceh dan sedang dalam evaluasi Kementerian Dalam Negeri.

Qanun Perlindungan Satwa mengatur banyak hal. Termasuk melarang kegiatan yang bertentangan dengan perlindungan satwa liar seperti merencanakan, mengganggu, dan merusak habitat satwa, serta berburu satwa dilindungi secara nasional maupun daerah dengan menggunakan jerat atau senjata, dan menggunakan bahan berbahaya.

Qanun juga mengatur semua pihak bahkan pejabat negara yang membiarkan atau lalai sehingga menyebabkan habitat dan kehidupan satwa terancam, akan dikenai hukuman.

Sementara, para pelaku yang menyebabkan satwa terancam atau habitatnya rusak tidak hanya dihukum dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tapi juga ditambah hukuman lokal.

“Saat ini juga sedang dibahas Rancangan Qanun atau Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [PPLH] Aceh yang akan menjadi pedoman pengelolaan lingkungan hidup berbasis carrying capacity, untuk 30 tahun ke depan,” terangnya.

 

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007. Sejak 2 November 2015, ia berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam Qanun, Pemerintah Aceh diminta mempertahankan habitat permanen satwa liar, memulihkan spesies serta menetapkan zona perlindungan intensif. Sedangkan pemanfaatan ruang sebagai objek atau tempat melaksanakan kegiatan harus disesuaikan dengan rencana strategis konservasi serta aksi perlindungan satwa liar. Ada koordinasi dengan satuan kerja perangkat terkait.

Wali Nanggroe juga berharap, Pemerintah Aceh dapat mengevaluasi kembali hak guna usaha [HGU] dan hak pengusahaan hutan lainnya, karena selama ini banyak terjadi kerusakan hutan akibat kegiatan tersebut.

“Saya bantu agar proses pembangunan konservasi badak sumatera di Aceh lancar. Hal ini sangat penting karena populasi badak sumatera sangat sedikit,” ungkap Malik Mahmud dalam pernyataan tertulisnya kepada Mongabay Indonesia.

 

Harapan adalah satu dari tujuh individu badak yang ada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rencana pembangunan SRS di Aceh disambut positif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, yang bersedia menyediakan lahan untuk kegiatan tersebut.

“Tempat pelestarian badak sumatera harus terbangun di Kabupaten Aceh Timur, kami bersedia menyediakan lahan, jika Kabupaten Aceh Timur dipilih, maka lokasi pembangunan SRS tersebut akan dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Kabupaten Aceh Timur,” sebut Bupati Aceh Timur, Hasballah M Thaib, pertengahan November 2019.

 

Wali Nanggroe Aceh saat mengunjungi SRS Way Kambas, Lampung, 28 November 2019. Foto: KLHK/Humas Balai TN Way Kambas

 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Exploitasia saat berkunjung ke lokasi rencana pembangunan SRS di Aceh Timur mengatakan optimis dengan aksi penyelamatan badak. Terlebih, Aceh memiliki aturan lokal perlindungan satwa liar.

“Aceh punya perda atau qanun tentang perlindungan satwa liar. Membuat saya yakin, karena aturan lokal ini tidak dimiliki daerah lain,” terangnya, pertengahan Oktober 2019.

Indra menuturkan, saat ini desain teknis pembangunan SRS di Aceh Timur tengah dirancang. Lokasi, akses jalan, dan segala hal prakonstruksi harus diperhitungkan. “Luasan SRS sekitar 100 hektar dan kami sudah bertemu dengan Bupati Aceh Timur,” tuturnya dalam keterangan lanjutan saat peresmian SRS II Way Kambas, di Lampung, 30 Oktober 2019.

 

Badak sumatera bersama penjaganya di SRS Way Kambas, Lampung. Harus ada tindakan nyata untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Perihal badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis] yang diperkirakan jumlahnya sekitar 80 indivu, Indra mengatakan, survei trajektori masih dilakukan. Penghitungannya bukan pada jumlah individu tapi kepadatan populasi. Ketika kepadatan populasi dipadukan dengan perkiraan populasi, diperkirakan keseluruhannya memang kurang 100 individu.

“Jadi, bukan hitungan sensus seperti yang dilakukan pada badak jawa di Ujung Kulon, bisa menggunakan kamera jebak,” ujarnya.

 

Memandikan dan memeriksa tubuh badak keseluruhan adalah pekerjaan yang dilakukan para penjaga badak. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dukungan penuh

Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud mengatakan, rencana pembangunan SRS mendapat dukungan penuh Pemerintah Aceh.

“DLHK Aceh sangat mendukung. Kami bersama lembaga pemerintah lain dan LSM berupaya agar pembangunannya segera dilakukan,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Jumat, 6 Desember 2019.

Daud mengatakan, pembangunan SRS sangat mendesak mengingat jumlah badak yang sedikit. SRS diyakini dapat menjaga badak dari kepunahan.

“Kita sudah punya peraturan daerah atau qanun tentang perlindungan satwa. Ini akan menjadi aturan pendukung undang-undang pelestarian badak sumatera dan satwa dilindungi lainnya,” ujarnya.

 

Para penjaga badak sumatera di SRS Way Kambas, Lampung, bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan badak yang dijaganya. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, DLHK Aceh tengah menyusun enam Kawasan Ekosistem Esensial yang tersebar di beberapa kabupaten/kota. Kawasan di luar hutan lindung ini akan dijadikan wilayah satwa dilindungi.

“Kawasan Ekosistem Esensial diperuntukkan sebagai habitat satwa liar yang berada di luar kawasan konservasi dan hutan produksi, seperti di area penggunaan lain [APL]. Tujuan utamanya, mengatasi konflik satwa liar dengan manusia,” ungkap Daud.

 

Tim pencari pakan badak juga bertanggung jawab atas kesehatan badak di SRS Way Kambas, Lampung. Dedauan yang diambil dari hutan itu harus bebas pestisida dan zat kimia lainnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah mengatakan, masalah utama penyelamatan badak sumatera adalah keberadaan individu badak yang tepisah sehingga tidak bisa berkembang biak secara alami. Diperkirakan, jumlah individu yang terisolasi di habitat terpisah itu sekitar lima hingga 10 ekor.

“Di beberapa tempat di hutan Leuser, tidak ditemukan indikasi anak badak yang lahir di subpopulasi tersebut. Ini bisa disebabkan karena tidak ada badak jantan atau betina, atau karena penyakit yang menyebabkan individu badak tersebut tidak bisa berkembang biak,” jelasnya, 3 Desember 2019.

 

Suaka Rhino Sumatera II seluas 150 hektar, resmi beroperasi 30 Oktober 2019. Pembangunan SRS seperti ini akan dilakukan di Aceh Timur. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dedi mengatakan, populasi yang terfragmentasi dan tidak bisa berkembang biak ini harus segera diselamatkan. Meski dijaga cukup ketat dari perburuan dan pengrusakan habitat, namun bila tidak bisa memiliki keturunan akan punah dengan sendirinya.

“Selain menjaga, menyelamatkan individu badak yang berada di kantong-kantong kecil patut dilakukan agar kepunahan dapat dihindari,” tegasnya. [Selesai]

 

 

Exit mobile version