Mongabay.co.id

Empat Serial Pulau Plastik Dirilis di Sungai Badung

 

Sejumlah penelitian memastikan sumber sampah di laut adalah daratan. Bahkan sudah ada simulasi arus laut untuk menentukan dari mana saja aliran sampah itu bermuara kemudian dibawa arus lintas kepulauan. Sebagian sampah kembali terdampar ke daratan.

Salah satu pembawa sampah daratan ke laut adalah sungai. Dari Tukad (sungai) Badung, Denpasar, empat serial Pulau Plastik diluncurkan pada Sabtu malam (6/12/2019). Film dokumenter ini diperuntukkan untuk membuka mata warga dampak penggunaan plastik yang mencemari alam.

Gede Robi, vokalis band Navicula adalah tokoh pengantar dalam serial yang masing-masing berdurasi 20 menit ini. Ia salah satu penggagas Pulau Plastik bersama sejumlah pendukung serta sponsor. Anak muda membanjiri perilisan film ini di Tukad Badung, disokong kehadiran band Nosstress, Navicula, penyanyi berbahasa Bali Jun Bintang, dan Made Bawa aka Lolot.

baca : Menggugah Perubahan Perilaku dengan Serial Pulau Plastik

 

Sungai (Tukad) Badung menjadi lokasi peluncuran serial film Pulau Plastik di Denpasar, 7 Desember 2019. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Episode 1 bertajuk Segara Kertih (Harmoni dengan Laut Kita). Bersama komunitas di pesisir Indonesia, tim produksi film menyelidiki bagaimana mikroplastik telah masuk ke dalam rantai makanan, melalui hidangan laut yang kita makan. Mikroplastik tidak hanya muncul dari penguraian sampah plastik yang terbuang, tetapi juga ditemukan di dalam produk-produk kecantikan dalam bentuk microbeads.

Robi mengecek kehadiran microbeads, butiran kecil terbuat dari plastik yang biasa adalah dalam produk kecantikan seperti pembersih wajah dan pasta gigi. Ia membeli sejumlah produk, menggunakan selembar kain, ia menuangkan cairan produk mengandung microbeads. Setelah dikorek-korek di atas kain, terlihat butiran kecil bewarna biru. Disebutkan dalam satu produk ada ratusan ribu butir microbeads yang sangat mudah masuk di saluran air lalu bermuara di laut, dimakan ikan atau meracuni ekosistem.

“Bayangkan tiap hari terpakai dan lepas ke lautan. Ada solusi alternatif microbeads yang organik,” kata Robi. Ia menyontohkan produk The Body Shop, salah satu pendukung film ini yang memiliki program penarikan kemasan produknya untuk didaur ulang.

Suzy Hutomo, pimpinan The Body Shop Indonesia mengatakan microbeads digunakan dalam produk, di antaranya untuk membantu mengelupas sel-sel kulit mati agar lebih glowing, cerah. “Bisa diganti dengan biji-bijian,” sebut Suzy.

Serial episode ini dibuka adegan konser Navicula di Kendeng, dengan musik latar tentang perlawanan ibu pertiwi. Berlanjut menemui Inneke Hantoro, seorang peneliti mikroplastik pada ikan. “Di kampung sendiri plastik merajalela, bukan hal baru tapi sedikit yang peduli. Sekarang mencegahnya atau Bali jadi pulau plastik,” gugah Robi.

baca juga : Ini Merek Sampah Terbanyak Beberapa Sekolah di Bali

 

Salah satu syuting serial episode perdana. Foto: arsip Pulau Plastik/Mongabay Indonesia

 

Episode 2 adalah Karmaphala (Konsekuensi dari Perbuatan Kita). Robi menyelidiki bagaimana gaya hidup berpengaruh pada timbulan sampah plastik serta mengenalkan pentingnya pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga atau desa. Ia meyakinkan aksi individu dapat memberikan dampak yang berkelanjutan, terutama di kawasan dengan infrastruktur tata kelola sampah yang kurang memadai.

Apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA? Salah satunya pemilahan sampah, karena akan jauh mengurangi timbunan di TPA, dan sebagian sampah bisa dijual.

Secara pribadi, Ia dan Navicula berkomitmen tanpa sekali plastik sekali saat manggung. Misalnya dengan mensyaratkan itu di daftar permintaan band (band rider) misal nasi kotak dan kue tanpa pembungkus plastik dan menyediakan air isi ulang.

Episode ini juga mengambil sebagian setting film yang dilaunching pertama kali. Misalnya adegan mencari pengunjung swalayan yang membawa tas belanja sendiri lalu diberikan hadiah sepeda. “Plastik bagian sehari-hari handphone, apakah bisa belanja tanpa plastik sama sekali? Berusaha tapi sangat susah menghindari,” serunya. Misalnya wadah telur, kemasan gula, dan lainnya.

Novie Setyo Utumo dari swalayan Tiara Dewata di Denpasar menyebut setelah kebijakan Walikota yang melarang pemberian kresek awal tahun 2019, pihaknya menghemat 20 kg atau 9000 kresek tiap hari. Walikota Denpasar, IB Rai Dharmawijaya Mantra yang ikut dalam peluncuran serial ini mengatakan masih banyak komplain, namun solusi bawa tas belanja sendiri paling gampang.

perlu dibaca : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Robi Navicula pemandu film Pulau Plastik dan peneliti mikroplastik saat syuting di Semarang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu episode 3 berjudul Bedawang Nala (Penyu yang Membawa Dunia). Keberlangsungan hidup salah satu binatang langka ini terancam oleh sampah plastik yang terbuang ke laut. Bahkan satu sedotan plastik mampu membunuh seekor penyu. Dalam episode ini, Robi mengunjungi restoran bebas sampah di Indonesia, serta menyelidiki alternatif kemasan makanan tanpa plastik. Bisakah solusi bebas sampah ini diterapkan di warung serta rumah makan?

Episode 4 adalah Tri Hita Karana (Hubungan antara Manusia, Tuhan, dan Alam). Filosofi ini kerap dijadikan jargon pembangunan oleh pemerintah dan pengusaha di Bali. Dalam episode ini, kaum muda Bali berkumpul untuk mengurangi pencemaran plastik di Pura Besakih. Robi mempertanyakan, bisakah ibu bagi seluruh pura di Bali dibebaskan dari plastik serta menginspirasi pura-pura lainnya?

Perjalanan kampanye Robi ini berusaha menggunakan simbol-simbol tradisi dan lokasi populer untuk mendekatkan isu ini di Bali. Misalnya Ia berkeliaran dengan busana Rangda di Lapangan Renon, Denpasar, mengambil plastik sekali pakai yang sedang dibawa warga. Lalu mengganti dengan hadiah tumbler dan totebag.

Berdasarkan hasil riset tim Pulau Plastik, masifnya penggunaan kemasan plastik sekali pakai dan kurangnya informasi tentang solusi alternatif adalah dua tantangan terbesar bagi masyarakat dalam upaya mengurangi penggunaannya. Sosialisasi mengenai dampak buruk plastik sekali pakai serta penyediaan solusi pengelolaan sampah yang dapat diakses oleh masyarakat menjadi sangat penting agar seluruh lapisan masyarakat dapat turut andil dalam upaya pengurangan sampah plastik sekali pakai.

Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai juga direspon positif.

Pemimpin di tingkat dusun dan desa seperti Kelian desa dan banjar dinilai memiliki peranan yang besar dalam upaya pengurangan plastik sekali pakai. Salah satunya di Desa Tembok, Buleleng yang telah memulai inisiatif pertemuan perangkat desa tanpa menggunakan plastik sekali pakai. Kepala Desa Tembok, Dewa Komang Yudi Astara memaparkan bahwa pemerintah Desa Tembok tengah menggarap peraturan desa (awig-awig) tentang pengelolaan sampah plastik.

 

Wayan Puja, panitia upacara di sebuah pura di Pantai Ketewel mengajak mengurnagi plastik dengan tumbler dan tidak membawa kresek saat sembahyang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menurut tim Pulau Plastik, setidaknya 85% dari penonton Pulau Plastik berpendapat bahwa kelian banjar dan desa berperan penting dalam mengembangkan strategi dan menyediakan fasilitas pengelolaan sampah dan daur ulang yang terpadu dan berkelanjutan.

Pulau Plastik adalah kampanye kolaboratif antara Kopernik, Akarumput, dan Visinema dalam menangani isu plastik sekali pakai di Bali dan sekitarnya. Selain serial video dan iklan layanan masyarakat, Pulau Plastik juga tengah memproduksi film dokumenter untuk layar lebar yang akan diluncurkan tahun 2020. Kampanye ini didukung oleh National Geographic Society, The Body Shop Indonesia, Ford Foundation, dan Pratten Foundation.

 

Foto sampah pemenang APFI 2019

Serangkaian foto atau photo story untuk topik lingkungan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2019 diraih Agung Parameswara dari Bali. Ia juara 2 dengan photo story diterbitkan The Jakarta Post. Ia memotret sampah sandal, kemasan sampo, sedotan plastik, dan tutup botol yang paling banyak ditemukan di Pantai Kuta pada 2018.

“Di bulan November, kondisi kian parah, sehingga pemerintah setempat harus menyatakan ‘darurat sampah’, di garis pantai sepanjang enam kilometer. Artinya, pantai populer seperti Jimbaran, Kuta, dan Seminyak, termasuk di dalamnya. Sesuai dengan artikel di Mongabay, sejak Maret sampai Oktober 2014, sebuah tim yang dipimpin oleh Dr. I Gede Hendrawan, peneliti dari Center of Remote Sensing and Ocean Sciences di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, pernah mengadakan survei di sepanjang bibir Pantai Kuta, untuk mengetahui jenis sampah yang ada di sana. Hasilnya menunjukkan bahwa sampah di Pantai Kuta didominasi oleh sampah plastik, dengan konsentrasi rata-rata sampah mencapai 0,25 per meter persegi. Artinya, hal tersebut sama dengan 75 persen dari keseluruhan limbah,” Demikian penjelasan foto Agung Parameswara.

Tantangan sampah ini juga dijawab seorang panitia upacara di Pura Hyang Sangkur, Ketewel, Sukawati, Gianyar. Wayan Puja membuat pengumuman agar warga yang akan sembahyang tidak membawa kresek. “Ini kelanjutan aksi bersih-bersih pantai,” ujarnya ditemui Mongabay Indonesia saat upacara sedang berlangsung pada 12 November lalu di pura tepi pantai Ketewel. Saat musim angin ke arah daratan, ia menyebut pantainya penuh sampah dan warga bekerja keras membersihkannya.

 

Exit mobile version