Mongabay.co.id

Kisah Paya, Potret Konflik Manusia dan Orangutan Tapanuli

Paya, orangutan Tapanuli lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru, Senin (9/12/19), setelah sembuh dari luka-luka diduga kena senjata tajam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Paya, satu orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang sempat menjalani perawatan medis di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera (PKOS) Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara, Senin, (9/12/19), akhirnya sembuh dari sejumlah luka. Dia langsung lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru.

Ekosistem Batang Toru merupakan habitat asli kera besar spesies baru dengan perkiraan populasi antara 577–760 ini.

Pelepasliaran oleh tim dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), bersama tim Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP), dan tim penyelamat dari Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU).

Paya, dibawa dari Pusat Karantina Orangutan Sumatera Batu Mbelin, Minggu (8/12/19) dengan kandang transportasi. Demi rasa aman dan nyaman bagi orangutan karena perjalanan panjang sekitar 10 jam lebih, makanan bergizi disiapkan, begitu juga tim dokter hewan turut memantau kondisi kesehatan sepanjang perjalanan.

Waktu tiba. Sampailah Paya di lokasi lepas liar, di Kawasan Konservasi Cagar Alam Dolok Sibual-buali, terletak di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan. Ia tampak begitu ceria. Mata liar mengintip dari balik jendela kandang translokasi.

Paya, seakan tak sabar. Gerak tubuh makin cepat bergerak di kandang kecil itu. Pintu dibuka, persis dekat pohon besar. Perlahan, Paya keluar dari kandang dan langsung melejit memanjat pohon. Terus naik, tak pernah melihat ke bawah. Tim memperhatikan dengan rasa haru karena berhasil memulangkan Paya ke rumah aslinya.

Begitu di posisi tinggi, Paya berhenti sejenak, mulai melirik ke bawah. Ia perhatikan satu persatu orang yang telah membawa pulang, seolah ingin mengucapkan terima kasih.

Sesaat kemudian, iapun memegang satu ranting pohon dan terus bergerak lalu menghilang di balik pepohonan.

Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut mengatakan, Paya menjalani perawatan di Batu Mbelin, Sibolangit, sejak 20 September-1 Oktober 2019. Berdasarkan laporan tim medis SOCP, kata Hotmauli, kondisi Paya cukup bagus.

Pada 1 Oktober 2019, Paya mulai banyak makan dan gerak aktif. Pada 15 Oktober, kondisi stabil dan berat badan meningkat hingga 44 kg.

 

 

Pada 29 Oktober 2019, hampir semua luka sudah tertutup sempurna, dan bagian punggung atas kanan mulai mengecil serta terbentuk jaringan ikat baru yang mulai menutup luka.

Tim medis SOCP melaporkan kepada BalaiBBKSDA Sumut, bahwa keseluruhan kondisi Paya membaik dan luka sembuh. Mengingat kondisi ini, dia sarankan Paya dapat lepas liar secepatnya.

“Mempertimbangkan rekomendasi tim medis, dilaksanakan pelepasliaran Paya di Kawasan Konservasi Cagar Alam ,Dolok Sibual-buali, Tapanuli Selatan,” kata Hotmauli.

Dengan luas 5.012 hektar Cagar Alam Dolok Sibual-buali memiliki kepadatan orangutan rendah. Kawasan ini, cocok sebagai lokasi lepas liar Paya.

Orangutan tapanuli ini dilaporkan warga Desa Aek Batang Paya, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 18 September lalu.

Mendapat laporan, tim BBKSDA Sumut melalui Bidang KSDA Wilayah III Padangsidempuan, bersama Tim HOCRU pada 19 September 2019 segera ke lokasi untuk upaya penyelamatan dan evakuasi. Dari identifikasi, diketahui orangutan berjenis kelamin jantan, diperkirakan berumur 40 tahun.

Hotmauli bilang, hasil pemeriksaan medis dokter hewan tim HOCRU, Jenny Adawiyah, menunjukkan, ada luka terbuka di daerah frontal (tulang dahi) dan pangkal lengan bagian bawah, diduga senjata tajam.

Luka-luka terbuka juga ditemukan pada bagian tulang kepala bagian belakang, dan punggung. Paya juga sangat kurus, yang terindikasi tulang rusuk terlihat.

 

 

Bagaimana atasi konflik?

Hotmauli mengatakan, mencegah dan menekan konflik antara satwa dilindungi dengan manusia, BBKSDA Sumut berupaya antara lain bersama mitra akan meningkatkan perlindungan, penyadartahuan (sosialisasi), dan pendidikan ke masyarakat tentang mitigasi konflik manusia dengan orangutan.

“Ini sebagai salah satu upaya penyelamatan populasi orangutan Tapanuli di lansekap Batang Toru.”

Mereka, katanya, juga akan membangun koridor satwa terutama orangutan dan sudah masuk RTRW Tapanuli Selatan. Salah satu bentuk kegiatan, katanya, pengayaan pakan.

BBKSDA juga akan membentuk Forum Kolaborasi Kawasan Ekositem Esensial (KEE) Batang Toru bersama multipihak, dan menyusun renstra KEE Batang Toru.

Dia menyatakan, aktif penanganan konflik orangutan bersama masyarakat, mengingat populasi orangutan Tapanuli di landscape Batang Toru sekitar 577–760. Populasi di Dolok Sibual-buali sekitar 15 orangutan, dan lokasi ini site monitoring BBKSDA Sumut.

Castri Delfi Saragih, Communication Officer YEL-SOCP mengatakan, penanganan medis Paya di SOCP dengan merawat luka, perbaikan gizi dan memantau kondisi kesehatannya sampai benar-benar aktif, dan berat badan meningkat.

Saat ini, ada 56 orangutan Sumatera di karantina hasil evakuasi maupun penyitaan. Untuk orangutan Tapanuli baru Paya.

 

Serge A Wich, ahli konservasi orangutan mengatakan, penurunan populasi orangutan Tapanuli, antara lain, dipengaruhi pembangunan tambang emas, PLTA, juga pembukaan akses jalan, yang dapat memfasilitasi orang berburu satwa terancam punah ini. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Serge A Wich, ahli konservasi orangutan saat berada di Medan menjelaskan, kerapatan sarang orangutan lebih banyak ditemukan di hutan dataran rendah dekat sumber air dan sumber pakan.

Orangutan, katanya, spesies kunci. Orangutan merupakan mamalia besar, membantu penyebaran bibit tanaman dengan biji berukuran besar, dan dapat menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar.

Penurunan populasi orangutan, katannya, bakal berdampak terhadap hilangnya spesies tanaman penting, yang selama ini penyebaran dibantu orangutan.

“Selama lebih 20 tahun penelitian orangutan di Sumatera dan Kalimantan, orangutan berperan penting dalam penyebaran biji-biji tumbuhan besar yang menyimpan lebih banyak karbon, ” kata Wich.

Penurunan populasi orangutan Tapanuli, katanya, antara lain, dipengaruhi pembangunan tambang emas, PLTA, juga pembukaan akses jalan, yang dapat memfasilitasi orang berburu satwa terancam punah ini.

Kalau ada rencana relokasi orangutan, katanya, tidak bisa memastikan dampak atau keberhasilan, karena mereka hidup memiliki wilayah jelajah saling tumpang tindih.

Orangutan jantan, wilayah jelajah harian sekitar 100-500 kilometer, sedangkan orangutan betina lebih kecil. Berarti, relokasi orangutan bisa menyebabkan kapasitas daya tampung daerah berkurang, dan berdampak buruk terhadap aliran gen orangutan. Sumber pakan, katanya, juga makin terbatas bisa menyebabkan kematian dini.

Wich menyampaikan, orangutan itu tal seperti manusia yang bisa mengetahui rumah mereka berada di status lahan konservasi atau areal penggunaan lain.

Wanda Kuswanda, Peneliti Utama Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Aek Nauli menyebutkan, dari survei pada ekosistem Batang Toru, ada beberapa hal unik tentang orangutan Tapanuli ini. Dia bilang, mulai dari selalu membuat sarang menempel pada batang utama, dengan ketinggian 6-25 meter.

Di sana, tengah ada pembangunan PLTA Batang Toru dengan pelaksana PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Dari survei, ditemukan 0,35-0,4 orangutan di sekitar kawasan pembukaan lahan untuk proyek PLTA atau sekitar 5-8 orangutan Tapanuli.

Dari pemantauan, orangutan Tapanuli di kawasan pembukaan untuk proyek PLTA bergabung dengan yang lain dan menjauh.

Guna menekan orangutan terdampak pembangunan tak stres, katanya, perlu penanaman pohon pakan dan pembuatan koridor di areal pembukaan kawasan itu.

Namun, dia belum bisa mengatakan, pembangunan PLTA ganggu orangutan Tapanuli. Dia bilang, sejauh ini belum ada yang mati. Tindakan menjauh dari pembukaan lahan itu, dia anggap perilaku wajar sebagai sifat alami orangutan yang menjauh dari aktivitas manusia.

“Kita sudah meminta NHSE segera membangun depot pengkayaan di wilayah itu,” kata Wanda saat diwawancarai Mongabay, belum lama ini.

 

Keterangan foto utama:  Paya, orangutan Tapanuli lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru, Senin (9/12/19), setelah sembuh dari luka-luka diduga kena senjata tajam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

Exit mobile version