- Setelah gagal berturut-turut dalam dua periode masa DPR-RI, tahun 2020, Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat kembali masuk dalam program legislasi nasional. Partai pengusung RUU ini Nasdem, PDIP dan PKB.
- Berdasarkan hasil Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus 2 Juli 2018 masa persidangan V 2017-2018 memutus, RUU Masyarakat Adat dibahas Badan Legislasi. Sayangnya, sampai akhir masa Jabatan DPR 2014-2019, pemerintah tak menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Alhasil, pembahasan RUU Masyarakat Adat tak selesai.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, UU Masyarakat Adat sangat fundamental guna perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat. Saat ini, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat adat, justru menyebabkan kesulitan bagi masyarakat adat dapatkan hak-hak tradisional.
- UU tentang masyarakat adat, perlu sebagai peletak dasar pengaturan beserta hak-hak yang bersifat komprehensif.
Kali kedua, Rancangan Undang-undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat), gagal ketuk palu dalam dua periode jabatan DPR. Tahun 2020, rancangan ini kembali masuk agenda prioritas program legislasi nasional (prolegnas).
“Posisi RUU Masyarakat Adat ini carry over. Kita tak akan membahas lagi dari awal. Kita berharap pembahasan tak akan lama. Ini hanya tinggal melengkapi dokumen yang ada,” kata Sulaeman M Hamzah, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dalam temu media di Jakarta, awal pekan ini.
Dia mengatakan, RUU Masyarakat Adat masuk prolegnas 2020 sebagai inisiatif DPR. Selain Partai Nasdem, RUU juga didukung dua partai lain, yakni, PDIP dan PKB.
Kalau merunut perjalanan, RUU Masyarakat Adat sudah beberapa kali masuk prolegnas tetapi masih belum disahkan.
Pada 2014, RUU ini sudah pernah dibahas dalam panitia khusus dengan judul RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA). Hingga akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014, Pansus tidak dapat menyelesaikan RUU ini. Pada 2017 berulang. Saat ini, fraksi Partai Nasdem pula yang menjadi pengusul.
“Pada pembahasan prolegnas prioritas 2018, RUU Masyarakat Hukum Adat diusulkan kembali oleh fraksi Partai Nasdem, akhirnya disetujui untuk jadi prolegnas prioritas 2018.”
Sejak RUU masuk prolegnas 2017, Nasdem sebagai pengusul langsung membentuk tim fraksi, kerjasama dengan Badan Keahlian DPR dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk penyusunan draf dan naskah akademik. Setelah selesai penyusunan dibawa ke Badan Legislatif untuk harmonisasi.
Saat itu, harmonisasi RUU Masyarakat Hukum Adat tidak lama dan disepakati dalam pleno Baleg. Setelah itu, RUU ini diusulkan dalam rapat badan musyawarah untuk disepakati dalam rapat paripurna dan jadi RUU usul inisiatif DPR pada 14 Februari 2018.
Pada 14 Maret 2018, Fraksi Nasdem diundang salah satu narasumber dalam Rapat Kerja Nasional AMAN di Manado yang menyampaikan perihal perkembangan politik legislasi dalam pembahasan RUU ini di parlemen.
Pada 9 Maret 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Perintah Presiden (Surpres) melalui Kementerian Sekretariat Negara No B-186 yang mengatur tentang pembentukan tim pemerintah yang akan membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR.
Ia terdiri dari enam kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Kementerian Hukum dan HAM. Tim Pemerintah dikoordinir Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan hasil Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus 2 Juli 2018 masa persidangan V 2017-2018 memutus, RUU Masyarakat Adat dibahas Badan Legislasi. Sayangnya, sampai akhir masa Jabatan DPR 2014-2019, pemerintah tak menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Alhasil, pembahasan RUU Masyarakat Adat tak selesai.
Sulaeman bilang, RUU Masyarakat Adat sangat penting untuk menata, menguatkan masyarakat adat melalui pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisional mereka. Juga memberikan perlindungan optimal dalam hak pengelolaan yang bersifat kumunal, baik hak tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam turun menurun, maupun melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.
Dia juga akan terus lobi kepada pemerintah agar DIM segera diserahkan ke DPR. Dengan begitu, proses pembahasan RUU Masyarakat Adat bisa jalan. Tanpa DIM, katanya, pembahasan RUU tak akan lanjut.
“Saya juga minta kepada AMAN untuk membuat DIM tandingan. Kalau kita hanya menunggu dari pemerintah, ini tak akan selesai. DIM tandingan ini penting untuk kita dalam pembahasan dan lobi-lobi. DIM dari pemerintah bisa kita sandingkan. Hingga bisa meyakinkan, bahwa RUU ini bisa menjawab persoalan masyarakat adat di lapangan.”
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, UU Masyarakat Adat sangat fundamental guna perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat. Saat ini, katanya, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat adat, justru menyebabkan kesulitan bagi masyarakat adat dapatkan hak-hak tradisional.
“Dalam praktiknya, UU ini saling tumpang tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat,” katanya.
Rukka bilang, kondisi saat ini sangat krusial. Pemerintahan Joko Widodo, sangat pro investasi dan rencana deregulasi berbagai aturan yang menghambat investasi, membuat ancaman terhadap masyarakat adat makin tinggi.
“Ketika investasi masuk, proyek pemerintah bangun jalan, bendungan, smelter dan lain-lain mengabaikan fakta bahwa tanah itu bukan tanah kosong.”
Ketika proyek pembangunan masuk di tanah adat yang belum ada kepastian hukum, konflik terus terjadi. Untuk itu, katanya, UU ini sangat penting guna memastikan program pemerintah berjalan baik tanpa harus mengorbankan masyarakat adat.
“Capek juga kita terus berkelahi di lapangan. Konflik yang sudah terjadi sejak lama, tak akan selesai jika tak ada UU Masyarakat Adat,” katanya.
Dengan ada UU Masyarakat Adat, Rukka berharap, perampasan tanah adat, pecah belah antara masyarakat, intimidasi dan kriminalisasi bahkan pembunuhan tidak terjadi lagi.
“Selama ini, banyak kasus perampasan hak masyarakat adat yang sebenarnya dilindungi Undang-undang, tapi diabaikan.”
AMAN, katanya, terus berkomunikasi dengan Baleg DPR untuk membahas RUU ini. AMAN juga mendesak pemerintah segera menyerahkan DIM kepada DPR.
“Sekarang bola ini ada di Pemerintah sebab DIM belum juga diserahkan ke DPR. Proses pembahasan RUU hanya akan berlangsung ketika pemerintah sudah menyerahkan DIM.”
Pemerintah, katanya, harus berhenti main kucing-kucingan. “Proses penyusunan DIM harus terbuka.”
Siti Rakhma Mary, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, berkomitmen terus mengawal RUU Masyarakat adat. Saat ini, sudah ada 16 organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Pemantau RUU Masyarakat Adat.
Mereka antara lain, debtWATCH Indonesia (dWI), Jurnal Perempuan, Forum Masyarakat Adat Pesisir, Kalyanamitra, Kemitraan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lapeksdam NU. Juga, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Perempuan AMAN, PPMAN, Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch, Satu Nama, YLBHI, HuMa, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
“Ada berbagai masalah mendasar berkaitan dengan nasib masyarakat adat. Utamanya, tak ada pengakuan hingga perampasan wilayah adat terus terjadi.”
Pelanggaran hak budaya tradisional, katanya, juga banyak dilanggar. Hak perempuan adat, anak dan pemuda adat sampai hak atas lingkungan hidup sehat.
Keberadasan UU Masyarakat Adat, katanya, sangat penting. Ia akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, lingkungan, spiritualitas dan lain-lain.
YLBHI mencatat, sepanjang 2019, ada 43 masyarakat adat dikriminalisasi, sebagian besar karena peladangan tradisional dan membuka lahan dengan cara membakar.
Sebagian besar terjerat Pasal 108 jo 69 UU No 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).
“Padahal, sebenarnya UU ini dibuat menyasar aktor besar. Tak pernah sekalipun untuk menyasar korporasi. Selalu yang ditangkap masyarakat kecil dan adat.”
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, pengakuan masyarakat adat bukan syarat menentukan eksistensi beserta ulayatnya. Menurut dia, pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu bersifat declaratoir atau menyatakan sesuatu yang sudah ada.
Upaya menuntaskan pengakuan ini, katanya, bisa inisiatif masyarakat hukum adat itu sendiri dan pemda. Tujuannya, memastikan subjek hak ulayat, ditempuh proses sosio-anthropologis yang berujung pada penetapan yang bersifat yuridis.
“Deklarasi masyarakat hukum adat tertentu baik subyek hak ulayat dan obyek hak ulayat dituangkan dalam keputusan Kepala Daerah yang dilampiri dengan peta wilayah. Proses ini berlaku terhadap hak ulayat yang beraspek publik sekaligus privat.”
Kepastian hukum terkait obyek hak ulayat dalam suatu wilayah masyarakat hukum adat, katanya, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi.
“Apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batas dan mencatat dalam daftar tanah. Dengan kata lain, tak diterbitkan sertifikat di atas hak ulayat yang kewenangan beraspek publik sekaligus privat,” katanya.
Bagi hak ulayat yang kewenangan beraspek privat semata, katanya, tak perlu penetapan. Penuntasan administrasi pengakuan, katanya, dalam bentuk sertifikat tanah milik bersama.
Sedangkan UU tentang masyarakat adat, katanya, perlu sebagai peletak dasar pengaturan beserta hak- hak yang bersifat komprehensif. Sampai saat ini, katanya, terkait hak ulayat hanya diatur sporadis dan sumir dalam berbagai UU. “Utamanya, UU sektoral yang tidak selalu sejalan satu sama lain,” katanya.
Maria bilang, kelambanan dalam penerbitan UU masyarakat hukum adat menandakan, negara belum sepenuhnya hadir untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak mereka.
“Komitmen pemerintah memenuhi hak konstitusional masyarakat adat ditunggu melalui penuntasan RUU ini.”
Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM mengatakan, merujuk berbagai peraturan perundangan dan konstitusi, sebenarnya masyarakat adat itu sudah diakui.
Dia bilang, ada banyak UU mengatur keberadaan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat, mulai UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, UU Minerba hingga UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jadi persoalan karena definisi masyarakat adat di berbagai peraturan perundang-undangan itu beda-beda. Hak yang diatur juga beda-beda. Ketika menurun pada pasal soal pengakuan, itu juga berbeda-beda,” katanya seraya menekankan, UU Masyarakat Adat sangat penting.
Selama ini, katanya, banyak sekali kampung adat belum diakui karena persoalan ketidakkonsistenan aturan perundang-undangan.
Keterangan foto utama: Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler