Mongabay.co.id

Sagu dari Kampung Tambat Masih Terhambat

Potongan batang sagu siap masuk ke mesin pemarut. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Sebuah kali yang memanjang dari Distrik Jagebob hingga Merauke. Tampak beberapa orang menebang sagu dan langsung memotong batang jadi beberapa bagian. Batang-batang ini lalu dilepas ke Kali Maro, bak rakit. Setelah sampai ke sungai bagian lain, mereka mengangkut batang sagu ke rumah mesin dengan hand tractor. Inilah geliat sehari-hari di Tambat. Sebuah kampung di Merauke, terletak di Distrik Tanah Miring.

Distrik ini diapit Distrik Semangga dan Jegebob. Tambat, terletak di pesisir Kali Maro. Penduduk kampung dengan populasi sekitar 502 jiwa ini beragam, ada Marind, Muyu, Flores, Mandobo dan Bugis. Mereka hidup damai dengan beragam mata pencarian seperti berburu, berkebun, maupun bersawah.

Mayoritas warga baru mengelola lahan kecil karena hasil panen buat konsumsi sendiri. Pasar jauh dari kampung mereka. Jarak tempuh dengan kendaraan roda empat dari Tambat ke Merauke, sekitar 200-an kilo meter.

Terkadang, di Kali Maro, warga Tambat bekerja sampingan seperti mencari gabus, biasa disebut gastor.

Sagu, andalan pangan kampung ini.

Tambat sudah memiliki satu mesin parut sagu bantuan pemerintah daerah. Pemerintah Merauke juga sempat meninjau pengoperasikan mesin ini.

Tampak dua tabung air berdiri setinggi rumah mesin. Pipa plastik tersambung dari tempat air ke arah mesin.

Bila sagu telah masuk mesin, pati sagu lalu dialirkan ke dua bak agak lebar. Sagu bisa basah dan kering. Sagu kering harus dibawa ke mesin pengering. Hasil perasan sagu ditampung lagi, ke dalam karung.

 

LImbah batang sagu teronggok disamping rumah mesin dan ampas sagu untuk makanan ternak di Kampung Tambat. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Oktober lalu, Hari Pangan Sedunia terselenggara di Kampung Tambat. Adriana Danggen, tampak meletakkan loyang berisi olahan sagu kering. Ada juga sagung kering lengkap dengan timbangan. Di sana, juga sudah siap mesin kemasan. “Kelompok Tani Dwitrap.” Begitu label di kemasan itu.

Denggan bilang, mesin pemarut sagu ini dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Kelompok tani ini kebanyakan perempuan Papua.

Dia bilang, sekitar 25 orang terlibat mulai dari menebang, mengangkut, membuka batang sagu hingga memasukkan di mesin, sampai jadi sagu. Belum lagi, harus memisahkan ampas sagu untuk pakan ternak.

“Di Tambat ini, sudah ada orang yang jadi operator mesin, jadi kami tinggal mengumpulkan tepung,” katanya.

Dia bilang, dengan mesin, kebersihan sagu terjaga ketimbang dengan parut manual.

Rezki Firmansyah, Kepala Distrik Tanah Miring mengatakan, soal rasa tak beda antara pemarut manual atau memangkur sagu hingga diperoleh sari pati. Hasil sagu basah tergantung besaran batang. Sedang harga sagu basah Rp10.000 perkg, kering Rp20.000.

Hingga kini, katanya, mereka masih terkendala pemasaran. Dia berharap, pemerintah ikut membantu seperti promosi di Bandara Mopah. “Kita harapkan promosi.”

 

Mesin pemerasan sagu. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Sagu sejak dulu

Saat di Tambat, Frederikus Gebze, Bupati Merauke cerita soal sejarah pengembangan produk harus meriset tekonologi tepat guna. Sejak dulu, Merauke dikenal karena lahan datar. Pada masa itu, Jenderal Mac Arthur memilih daerah ini sebagai cadangan pangan.

Caranya, kata bupati, dengan menghamburkan bibit padi menggunakan pesawat. Zaman itu, orang Merauke sudah mengenal mesin pemotong padi. Proses mekanisasi padi diterapkan langsung di orang Marind dengan 524 varietas.

Arthur juga mengerahkan tentara untuk menanam ketela pohon, jagung, ubi, petatas, kombili dan lain-lain selain padi guna memperkuat cadangan pangan kala itu.

Saat itulah, kata Gebze, ada pembangunan proyek padi Kumbe hingga kini. Sagu, katanya, salah satu pangan lokal yang turut dikembangkan, termasuk di Kalimantan.

Di Merauke, katanya, sagu bisa untuk berbagai kreasi, misal, jadik sagu sep sebagai makanan favorit orang Marind.

Selama perang dunia kedua, katanya, Merauke jadi logistik unggul. “Sudah sepatutnya orang Papua juga menghargai tanaman ini, secara adat sesuai kearifan lokal, adat dan budaya sendiri,” katanya.

Gebze bilang, potensi pangan lokal termasuk sagu, besar di Merauke. Dia berjanji, membuat peraturan seperti perda terkait pangan lokal Marind yang dilindungi masyarakat Marind.

Jacobus Java, rohaniawan Katolik mengatakan, segala potensi Kampung Tambat sangat besar dan jadi perhatian Pemerintah Merauke. Pemda Merauke, katanya, telah memberikan mesin parut sagu tetapi warga belum lepas dari masalah.

“Biar Pemda Merauke berbicara banyak, tetap saja ada masalah, seperti transportasi, pendampingan selalu penduduk perlukan.”

Guna mengantisipasi sagu-sagu dari Tambat, tak menumpuk begitu saja, dia usulkan perlu promosi dan ada penampung hasil di Kota Merauke. “Tambat harus disiapkan kendaraan pengangkut sagu, atau traktor tangan lagi untuk membawa potongan sagu ke mesin sagu.”

Menurut dia, Pemda Merauke, bertanggung jawab soal itu, dari mulai fasilitas, mesin, kendaraan, hingga pemasaran.

“Bagus sumbangan mesin ini, tetapi banyak yang kurang juga. Pemda harus siapkan toko tani dan kendaraan karyawan toko khusus untuk orang Tambat promosi.”

Bintoro, akademisi dari Institut Pertanian Bogor juga Ketua Masyarakat Sagu Indonesia mengatakan, tanpa sosialisasi pun orang Papua sudah mengenal sagu ini. Baginya, orang Marind, mengenal tumbuhan ini bahkan masuk totem (sesuatu yang suci atau sakral).

Dia bilang, pernah survei sagu dari Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku. Perbatang sagu bisa hasilkan rata-rata 200-4.000 kilogram tepung. Lima pohon petani, katanya, bisa mendapatkan empat ton tepung sagu.

Merauke memiliki banyak tanaman sagu. “Berarti pada setiap dataran Merauke, Tuhan telah menciptakan makanan. Indonesia, tak akan kelaparan asal mau makan saja.” Di Indonesia, katanya, dia pernah penelitian pangan berbahan baku sagu ada sekitar 259 jenis.

 

Keterangan foto utama: Potongan batang sagu siap masuk ke mesin pemarut. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

Anakan sagu yang ditanam di Kampung Tambat. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version