Mongabay.co.id

Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Baca sebelumnya: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang

**

 

Sepanjang 2019, sejumlah konflik harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dengan manusia terjadi di Aceh, Sumatera Utara [Sumut], Sumatera Barat [Sumbar], Riau, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan [Sumsel].

Konflik yang memakan korban jiwa baik manusia maupun harimau ini, melahirkan pemikiran, baik di masyarakat maupun sejumlah pihak, seperti harimau tersebut sebaiknya dipindahkan dari lokasi konflik. Terhadap gagasan tersebut, organisasi non-pemerintah seperti WWF menolak ide itu.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan pun mengatakan tidak akan menangkap atau melumpuhkan harimau yang berkonflik dengan manusia di Kota Pagaralam dan Lahat. Yang harus dilakukan manusia adalah menjauh atau tidak lagi beraktifitas di habitatnya.

Sikap ini didukung sejumlah pekerja budaya di Sumatera. Mereka meminta pemerintah untuk tidak “mengamankan” kawanan harimau yang berkonflik dengan manusia di sejumlah wilayah di Sumatera. Mereka meminta kawanan harimau tersebut dikembalikan ke habitatnya.

“Jangan sampai ada pikiran atau niat jika harimau tersebut dilumpuhkan [menggunakan peluru bius] kemudian direhabilitasi dan direlokasi,” kata Conie Sema, pekerja seni dari Teater Potlot di Palembang, Senin [16/12/2019].

“Apalagi kawanan harimau itu berkonflik dengan manusia karena persoalan habitatnya yang rusak. Konflik terjadi umumnya di wilayah lindung atau konservasi yang merupakan habitat harimau, yang terbuka karena kegiatan ekonomi manusia,” kata Conie yang beberapa waktu menyutradarai naskah “Puyang”, sebuah pertunjukan teater mengangkat persoalan harimau sumatera.

Baca: Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?

 

Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Fedli Azis, pekerja budaya dari Pekanbaru, Riau, menyatakan hal yang sama. “Saya berharap kawanan harimau yang berkonflik dengan manusia itu jangan dipindahkan. Persoalannya bukan pada mereka, justru manusia yang mengganggu kehidupan mereka,” katanya, Senin [16/12/2019].

“Ada yang bilang hutan di Riau sudah habis, sehingga mereka bilang sebaiknya dipindahkan. Itu cara berpikir yang salah. Justru yang harus diutamakan bagaimana caranya hutan dikembalikan kondisinya, hentikan semua kegiatan ekonomi yang menghabisi hutan Riau,” kata penulis naskah “Padang Perburuan” yang menjelaskan rusaknya mental para pemimpin sehingga banyak tindakannya merusak bentang alam yang berdampak negatif pada lingkungan, sosial dan budaya. Naskah ini mencontohkan proses pembangunan PLTA Koto Panjang di XIII Koto Kampar, Riau.

Di sisi lain, katanya, populasi harimau di Sumatera terus berkurang, “Dulu mungkin jumlahnya ribuan, sejalan rusaknya hutan, mungkin saat ini tinggal ratusan. Sebagian hutan masih bertahan ini kan karena adanya harimau sumatera. Jadi, seharusnya populasi harimau sumatera yang didorong bertambah,” katanya.

Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang mengatakan, sangat tidak setuju jika harimau dipindahkan. Sebab, dampaknya bukan hanya terkait lingkungan [hutan], juga hilangnya satu budaya di masyarakat melayu di Sumatera.”

“Konflik yang terjadi karena mereka [harimau] diganggu, baik karena diburu maupun habitatnya dirusak. Jika mereka akhirnya dipindahkan atau diamankan di suatu tempat, seperti kebun binatang, artinya konflik ini memang disengaja agar ada alasan dipindahkan,” katanya, Senin [16/12/2019].

Baca juga: Menjaga Kehidupan Harimau Sumatera Adalah Amanah

 

Harimau sumatera yang statusnya Kritis. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kerugian budaya

“Sebenarnya, ada tradisi yang hidup selama ratusan tahun yang menjelaskan hubungan harmonis manusia dengan harimau pada sebuah komunitas masyarakat di Sumatera. Baik yang berada di sepanjang Bukit Barisan, dari Lampung hingga Aceh, juga sepanjang pesisir timur dan barat Sumatera,” kata Husni.

Falsafah atau sikap manusia terhadap harimau dan satwa lainnya, seperti tercermin dalam Prasasti Talang Tuwo. “Raja Kedatuan Sriwijaya saat itu mengamanahkan jika alam ini, yang disimbolkan melalui Taman Sri Ksetra, diperuntukan bagi semua makhluk hidup, bukan hanya manusia,” katanya.

Sebelum ada manusia, harimau merupakan satwa pemuncak di hutan. Para leluhur manusia di Sumatera memandang harimau sebagai “wong tuo” yang harus dihormati. Sikap ini yang kemudian melahirkan tradisi atau budaya yang intinya tetap menjaga keberadaan harimau di hutan rimba.

Jika di wilayah pegunungan Sumatera Selatan, seperti di Pasemah harimau disebut “nenek” dan di pesisir dipanggil “puyang”. Di Aceh diyakini adanya harimau hitam dan putih, yang fungsinya menjaga makam-makam keramat. Termasuk adanya harimau [rimueng] yang menjaga makam Teuku Cot Bada di Pidie. Di Sumatera Utara, harimau dipanggil “ompung” [kakek], di Sumatera Barat dipanggil “datuk” [kakek] atau “inyiak” [nenek], di Kerinci “hangtuo” [orang tua].

Bahkan kelompok masyarakat mengenal adanya manusia harimau atau siluman. Baik di Sumut, Sumbar, Kerinci, Bengkulu, Kerinci, dan Sumsel. Manusia harimau di Sumsel, tepatnya di Pasemah [Pagaralam, Lahat dan Muaraenim] yang disebut sumai, dan di Kerinci disebut cindaku. “Di Jawa Barat, Prabu Siliwangi pun memiliki ilmu siluman harimau,” katanya.

 

Pertunjukan Puyang oleh Teater Potlot di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, pertengahan 2018. Foto: Yudhi Semai/Teater Potlot

 

Salah satu legenda hubungan manusia dengan harimau yakni kisah “Tujuh Manusia Harimau”. Kisahnya pernah ditulis [novel] oleh Motinggo Busye, sastrawan kelahiran Bandar Lampung, Lampung, yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama. Jika Motinggo Busye menulis berdasarkan cerita rakyat mengenai tujuh manusia harimau yang hidup di Bukit Sarang Macan, Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, maka bagi masyarakat Pasemah, tempat berkumpul tujuh manusia harimau ini berada di sebuah wilayah di Desa Tunggul Bute, Kabupaten Muaraenim, Sumsel. Lokasinya tak jauh dari hutan lindung tempat terjadinya Mustadi [52] yang tewas diterkam harimau beberapa hari lalu.

Legenda manusia harimau di Bengkulu ini juga disinggung Willian Marsden dalam bukunya “The History of Sumatra” yang terbit kali pertama 1984.

“Bayangkan, jika kawanan harimau tersebut pergi, entah itu musnah karena dibunuh atau dipindahkan, maka tradisi atau budaya itu akan lenyap,” katanya.

“Cukup sudah yang dialami masyarakat Jawa dan Bali. Memang tradisi itu masih ada, tapi karena harimaunya sudah punah, kemungkinan besar tradisi tersebut akan hilang di masa mendatang,” ujar Husni.

 

 

 

Kehilangan guru

Dalam kebudayaan Minangkabau, alam dipahami sebagai guru. Falsafah “alam takambang jadi guru” menunjukan manusia hidup harus selaras dengan alam, sehingga apa pun tindakan seperti halnya keselarasan alam di sekitar manusia.

“Hutan beserta isinya merupakan sumber ilmu pengetahuan dan nilai-nilai bagi manusia. Mereka belajar dengan alam, mulai dari kehidupan semut, rumput, hingga pohon, gunung, bukit, sungai, pun harimau,” kata Arbi Tanjung, pegiat literasi dari Pasaman, Sumatera Barat, Senin [16/12/2019].

“Harimau dalam kehidupan masyarakat Minangkabau memiliki arti tersendiri. Harimau dipanggil datuk atau inyiak. Selain adanya tradisi atau keyakinan adanya hubungan khusus manusia dengan harimau, juga dalam tradisi silek [pencak silat], banyak gerakan harimau yang diadopsi. Ini artinya, keberadaan harimau sangat penting bagi masyarakat Minangkabau. Tentunya, sebagaimana masyarakat melayu lainnya di Sumatera,” kata Arbi.

“Jika kawanan harimau hilang, baik punah atau dipindahkan dari habitatnya, artinya menghancurkan tradisi atau budaya luhur tersebut. Budaya yang sangat arif terhadap lingkungan,” ujarnya.

 

 

Kerugian ekologi

Kerugian lain dari hilangnya kawanan harimau dari habitatnya, kata Conie Sema, adalah hutan rimba kian terbuka untuk diakses dalam berbagai kegiatan ekonomi manusia. “Jika hutan rimba habis, bencana ekologi pasti mendatangi Sumatera. Belajarlah dari Jawa dan Bali yang hutannya habis karena harimaunya punah,” jelasnya.

Yang harus dipahami, menjaga keberadaan harimau, bukan semata kita mencemaskan sosok harimau akan punah. Tapi keberlangsungan lingkungan hidup.

“Jika hanya melindungi harimau, akan muncul gagasan memindahkan harimau ke lokasi baru atau dilestarikan di kebun binatang,” katanya.

Dijelaskan Conie, konflik manusia dengan harimau terjadi karena manusia tidak lagi menjunjung nilai-nilai budaya bangsa. Misalnya falsafah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Bagi masyarakat pendatang, yang ingin bertani dan berkebun, sebaiknya memahami budaya setempat ketika ingin mengelola lahan atau membuka hutan.

Ini juga harus dipahami para pelaksana pemerintahan yang mengeluarkan izin bagi perusahaan. “Setidaknya, paham atau tahu tentang habitat harimau [hutan rimba] yang tidak boleh diganggu,” tegasnya.

Berdasarkan data KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan], saat ini hanya 603 individu harimau tersisa.

 

 

Exit mobile version