Mongabay.co.id

Adakah Cara Lain Pemanfaatan Benih Lobster, Selain Ekspor?

 

Wacana untuk melegalkan pengiriman benih lobster (BL) ke luar Indonesia melalui jalur ekspor, mendapat penolakan keras dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Rencana tersebut, meski diklaim bertujuan bagus untuk menghentikan aksi penyelundupan BL, tetapi dinilai sebagai rencana yang tidak masuk akal.

Pernyatan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menanggapi isu yang berkembang dalam beberapa hari terakhir tentang rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengizinkan ekspor BL.

Menurut dia, jika wacana ekspor BL berhasil diwujudkan, maka itu akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional dan bukan sebaliknya, yakni memberikan dampak positif. Untuk itu, KIARA mendesak agar rencana tersebut bisa segera dihentikan dan menggantinya dengan rencana lain yang lebih baik dan bermanfaat untuk publik.

“Alasannya, hal itu akan mendorong eksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia semakin tidak terkendali,” ucapnya di Jakarta, Rabu (18/12/2019).

baca : Pro dan Kontra Pelegalan Jual Beli Benih Lobster

 

Ilustrasi. Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Melati Kaye/Mongabay Indonesia

 

Bagi KIARA, kebijakan larangan ekspor BL yang selama ini sudah dijalankan oleh KKP, menjadi kebijakan yang tepat dan patut mendapatkan apresasi dari semua pihak. Terlebih, selama kebijakan tersebut dijalankan, devisa Negara yang berhasil diselamatkan nilainya mencapai Rp635,59 miliar yang berasal dari 6.669.134 BL.

“Itu terjadi selama periode 2014 sampai 2018,” tuturnya.

Susan mengatakan, agar rencana tersebut bisa diwujudkan, Edhy Prabowo bahkan disebut akan melaksanakan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Rencana itu, dinilai tidak perlu dilakukan karena KKP masih memiliki tugas lain yang tak kalah penting.

Meski berdampak bagus, tetapi Susan menilai, penerbitan Permen tersebut tidak diikuti dengan skema transisi yang jelas. Akibatnya, pasca diterbitkan Permen, timbul masalah yang besar karena masih banyaknya pembudi daya lobster yang terjebak dalam situasi tersebut dan tidak bisa beralih profesi dengan proses yang cepat.

Bagi Susan, kekurangan seperti itu harus bisa diperbaiki oleh Edhy sebagai Menteri KP untuk lima tahun mendatang. Dengan cara seperti itu, maka Pemerintah sudah melaksanakan pembangunan keberlanjutan sumber daya perikanan dengan memastikan manfaat yang besar untuk perekonomian Indonesia bisa diwujudkan.

“Bukan justeru sebaliknya membuka keran ekspor benih lobster yang jelas akan berdampak bagi keberlanjutan sumber daya perikanan sekaligus perekonomian Indonesia,” tegasnya.

baca juga : Sebanyak Rp1,37 Triliun Potensi Kerugian Negara Diselamatkan Dari Penyelundupan Benih Lobster

 

Lobster, salah satu jenis unggulan hasil perikanan kelautan Indonesia. Foto: Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Bukan Solusi

Oleh karena itu Susan berpendapat, jika KKP memiliki tujuan ingin memberantas praktik penyelundupan BL dari berbagai wilayah Indonesia ke negara tujuan seperti Singapura dan Vietnam, maka yang harus dilakukan adalah dengan memberantas praktik tersebut sampai ke akarnya.

Sementara, jika tujuan itu dilakukan dengan membuka jalur ekspor secara langsung, maka diyakini akan memicu kontraproduktif di masyarakat. Dengan demikian, dari pada terus membangun wacana ekspor BL yang jelas kontra produktif, Edhy Prabowo sebaiknya fokus untuk memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia tetap terpelihara selama tiga bulan pertama masa kerjanya.

“Baik ketegasan hukum dalam pemberantasan penyelundupan, mau pun pemberdayaan ekonomi nelayan,” pungkasnya.

Sebelumnya, pada Senin (16/12/2019), Menter KP Edhy Prabowo menyatakan bahwa rencana penerbitan izin untuk melaksanakan ekspor BL, sampai saat ini masih sebatas wacana yang terus dikaji. Wacana tersebut muncul, karena Pemerintah ingin menyelamatkan sumber daya lobster yang ada di lautan dan sebelumnya dieksploitasi untuk kemudian diselundupkan ke negara lain.

Tetapi, melakukan pelarangan untuk tidak memanfaatkan BL secara langsung, menurut Edhy juga bukan merupakan kebijakan yang tepat. Mengingat, sampai sekarang ada banyak nelayan di Indonesia yang masih memanfaatkan BL sebagai mata pencaharian mereka.

“Untuk itu, kita kaji dan merumuskan ulang peraturan terkait hal ini, bersama para stakeholder dan ahli-ahli,” ungkapnya.

perlu dibaca : Sampai Kapan Penyelundupan Benih Lobster Terus Terjadi?

 

Kapolda Jambi, Ijen Pol Muchlis menunjukkan benih lobster yang akan diselundupkan ke luar negeri. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Melalui pembahasan dan kajian dengan melibatkan para pakar dan praktisi, Edhy berharap akan muncul kebijakan perdagangan BL yang tepat dan bisa tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan untuk menjaga laut dan sumber daya ikan yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, ada keseimbangan antara mata pencaharian dengan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan komunikasi yang sudah dilakukan dengan para ahli, Edhy mengklaim bahwa tingkat kelulushidupan (survival rate/SR) BL saat berada di alam sampai mencapai usia dewasa hanya mencapai 1 persen saja. Hasil riset tersebut dipublikasikan sebelumnya oleh Carribean Sustainable Fisheries dan Australian Center for International Agriculture Research.

Di sisi lain, Edhy menyebutkan, upaya untuk melaksanakan pelestarian lingkungan di sekitar lokasi habitat BL, juga harus mempertimbangkan keberlangsungan hidup masyarakat yang selama ini masih bergantung pada pemanfaatan BL untuk mendapatkan penghasilan. Untuk itu, harus ada kebijakan yang tepat agar pemanfaatan BL bisa berjalan baik.

 

Legalisasi

Dari sekian banyak opsi yang sudah didiskusikan dengan para pakar, Edhy mengatakan bahwa opsi legalisasi pembesaran BL dan ekspor BL menjadi opsi yang paling mengemuka. Akan tetapi, dia memastikan kalau opsi tersebut sampai sekarang masih dipelajari lebih dalam dan belum diputuskan menjadi kebijakan yang tetap.

“Ada opsi untuk ekspor, apakah solusi itu benar? Apakah tepat ekspor 100 persen? Saya tidak akan setuju kalau mau tanya sikap saya. Saya maunya dibesarkan 100 persen di Indonesia, karena itulah potensi kita dan akan mendapatkan nilai tambah yang besar,” tegasnya.

baca juga : Benih Lobster Senilai Lebih Rp 5 Milyar Hendak Diselundupkan ke Vietnam

 

Bayi lobster sitaan lepas liar di perairan Sumatera Barat. Foto: Vinoloa/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Edhy, dengan fakta SR yang sangat rendah, maka jika tidak dilaksanakan pembesaran, BL berpotensi akan mengalami kematian. Sementara, jika dibesarkan, maka BL akan berpotensi memiliki SR hingga mencapai 70 persen, walau diakuinya ada juga yang kisarannya mencapai 40 persen.

Akan tetapi, sekali lagi Edhy menegaskan bahwa prinsip yang paling penting dalam pemanfaatan BL adalah bagaimana untuk mempertahankan para pencari nafkah tidak kehilangan mata pencahariannya. Selama ini, pemanfaatan BL dilakukan oleh nelayan pengambil BL dan nelayan penangkap lobster dewasa.

“Kedua profesi nelayan ini harus bisa hidup berdampingan, tanpa kehilangan mata pencahariannya. Dua sisi mata pedang ini harus saya temukan dalam satu kesempatan yang sama,” sebutnya.

Untuk memastikan kelangsungan lobster di alam, Edhy mengungkapkan kalau KKP saat ini sudah menerapkan beberapa aturan untuk pembesaran BL. Di antara aturan itu, adalah mewajibkan pelaku pembesaran BL untuk mengembalikan sedikitnya 5 persen hasil dari pembesaran BL untuk dikembalikan ke alam.

“Kelulushidupan BL di alam akan meningkat dari 1 persen menjadi sedikitnya 5 persen,” tutur dia.

Selain melalui metode tersebut, Edhy menyebutkan upaya untuk mempertahankan lobster di alam adalah dengan menjaga wilayah perairan dari praktik penangkapan ikan dengan cara merusak (destruktif). Praktik seperti itu, biasanya akan melibatkan bahan kimia yang berbahaya seperti sianida dan akan mengakibatkan kerusakan pada ekosistem perairan laut, terutama pada terumbu karang.

“Intinya adalah dalam langkah satu kebijakan yang akan kami ambil harus mempertimbangkan aspek ekonomi, tetap mempertahankan lapangan pekerjaan yang dulunya ada agar tetap ada, dan menghasilkan devisa negara, namun lingkungannya juga terjaga,” pungkasnya.

 

Exit mobile version