Mongabay.co.id

Mangrove Madura Kritis, Makin Terkikis

Achmad Fauzi, Wakil Bupati Sumenep saat menanam bibit mangrove. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Kadang, di republik ini yang jadi persoalan adalah ada yang menanam, ada yang merusak, ada merawat, ada yang merusak,” kata Wakil Bupati Sumenep, Achmad Fauzi.

Fauzi mengatakan ini saat sambutan aksi menanam 1.000 pohon mangrove memperingati Hari Pohon Sedunia sekaligus Hari Menanam Indonesia di Desa Aeng Dake, Kecamatan Bluto, Sumenep, Madura, awal Desember lalu.

Dia bilang, aksi-aksi penghijauan, menanam mangrove, masih jarang. Padahal, kalau ingin biota laut terjaga, keberadaan mangrove sangat penting.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mangrove kritis di Madura, pada 2018, seluas 9. 179 hektar, baik kawasan hutan maupun luar kawasan. Rincian, Sumenep, bukan kawasan hutan 2.731 hektar dan kawasan 708 hektar; Pamekasan luar kawasan 950 hektar, dalam kawasan 767 hektar. Kemudian, Sampang, luar kawasan 459 hektar dan dalam kawasan 355 hektar, dan Bangkalan luar kawasan 639 hektar dan dalam kawasan 2.661 hektar.

Biodata laut yang bisa dimanfaatkan masyarakat di sekitar hutan mangrove adalah kerang, kepiting mangrove, ikan-ikan. Fungsi lain, mangrove mampu membendung ombak dan mencegah abrasi.

“Kepiting bakau sekarang banyak dari Vietnam, Filipina. Mengapa? Karena di sana sudah jauh-jauh hari proses panjang, menanam mangrove di mana-mana hingga kepiting bakau banyak,” kata politisi PDI-P ini.

Menurut dia, kondisi itu berbanding terbalik dengan Sumenep, atau Indonesia umumnya, makin sulit mencari kepiting mangrove karena tanaman ini banyak beralihfungsi.

Imranto, Kepala Seksi Pencegahan Pencemaran dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Sumenep, mengatakan, dalam enam tahun terakhir, kerusakan mangrove sekitar tiga hektar pertahun.

“Karena itu, pemahaman kepada konsep pembangunan berkelanjutan itu tak ada. Jadi, mereka hanya melihat dari sisi ekonomi, begitu menebang mangrove mikirnya hanya dari sisi ekonomi,” katanya.

 

Perusakan mangrove di Madura. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Dia menyayangkan, perilaku tak bertanggung jawab ini karena dampak sosial dan ekologi lebih besar daripada peluang ekonomi bagi masyarakat.

Dia menilai, aturan mengenai perusakan lingkungan hidup ini sudah jelas. Hanya saja di negara ini penegakan hukum masih lemah.

Program-program sektor lingkungan pun, katanya, termarginalkan. Hal itu bisa terlihat dari anggaran pusat maupun daerah terhadap program lingkungan. Dia contohkan, anggaran mangrove di instansinya tak ada untuk tahun ini walau mereka sudah mengajukan.

Soal kerusakan, wakil bupati merujuk kepada Undang-undang Nomor 3/2013 tentang wewenang provinsi terhadap laut, biasa 4-12 mil, sekarang 0-12 mil adalah wewenang provinsi. Pemerintah kabupaten, katanya, tak mempunyai wewenang atas laut, termasuk pengawasan. Regulasi itu berlaku sejak 2017.

 

Tanam 1.000 mangrove

Kelompok Peduli Mangrove Madura (KPMM) mempelopori aksi menanam 1.000 mangrove di Desa Aeng Dake, Kecamatan Bluto, Sumenep, bersama masyarakat dan pelajar dari beberapa sekolah.

Sebelumnya, rencana menanam 1.000 bibit mangrove dan 500 propagul, karena beberapa pertimbangan, hanya 500 mangrove dan 500 propagul.

Endang Triwahyurini, Ketua KPMM mengatakan, pemilihan desa ini karena tidak ada pohon mangrove hingga bibir pantai abrasi, gersang. Sebelum penanaman, terlebih dahalu peninjaun lokasi.

 

Para siswa ambil bagian dalam aksi tanam mangrove, Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, mangrove tumbuh hingga ada kehidupan baru, yang dapat berguna buat masyarakat sekitar.

“Saya juga lihat ada terumbu karang. Itu saya yakin, kala mangrove bagus, terumbu karang juga bagus,” katanya.

Endang bilang, ingin membangun daerah pesisir melalui mangrove. Dia prihatin, terhadap keadaan pesisir Madura.

Dia tak ingin sekadar menanam, juga mempelajari regulasi mangrove, pesisir, lingkungan hidup, dan yang berelasi.

Ngeri gitu kalau lihat di pesisir, dan kepedulian itu lebih ngeri. Orang lebih suka mereklamasi. Jadi, orang lebih suka membuka lahan mangrove untuk jadi tambak garam, tambak udang,” kata dosen Prodi Agribisnis Pertanian, Fakultas Pertanian, Univeritas Islam, Madura itu.

Asmuye, warga setempat membangun gubuk di pesisir pantai. Dia suka rela menjaga pantai, memperbaiki sengkedan rusak terhantam ombak.

Dia bilang, di sana tak pernah ada penanam mangrove. Dia senang ada orang peduli terhadap laut, menanam mangrove di pantai itu.

Engghi ca’oca’en reng towa gebey panangkesah aeng. Jelenah aeng tor tabentor, olle rendha ka tabun (Iya seperti pepatah orang, [mangrove] sebagai penangkis air. Jalannya air tersendat, bisa menghambat abrasi,” katanya.

Fauzi dan Imranto mengapresiasi aksi ini karena membantu melestarikan Sumenep. Fauzi berharap, ke depan ada kegiatan serupa lebih besar lagi dengan koordinasi lebih baik dan bisa memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan, BUMD maupun BUMN di Sumenep.

 

 

Keterangan foto utama: Achmad Fauzi, Wakil Bupati Sumenep saat menanam bibit mangrove. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

Exit mobile version