Mongabay.co.id

Saatnya Atur Kuota Tangkap Hiu

Para buruh mengangkut hiu yang baru tiba di TPI Tanjung Luar. Puluhan buruh terlibat dalam rantai bisnis hiu di Tanjung Luar. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai sudah saatnya membuat regulasi pembatasan penangkapan hiu. Kuota penangkapan setiap tahun harus dihitung sesuai tempat pendaratan setiap daerah. Pemerintah juga harus mulai menyiapkan regulasi pelarangan jenis hiu tertentu yang mulai langka. Demikian ungkapan Evron Asrial, Rektor Universitas 45 Mataram.

Dalam beberapa kali kunjungan ke lokasi pendaratan hiu terbesar di Tanjung Luar, Lombok Timur, Evron melihat para nelayan sudah sadar hiu, makin lama makin berkurang. Nelayan juga sudah tahu jenis hiu yang dilarang ditangkap.

“Saya rasa sekarang saatnya sudah tepat untuk memberlakukan kuota penangkapan hiu,’’ kata pria yang juga peneliti kelautan dan perikanan kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dia bilang, beberapa program pemerintah dan organisasi non pemerintah yang mendampingi nelayan pemburu hiu juga sudah lama memberikan edukasi. Kalau pembelakuan kuota itu berlaku, Evron merasa tak akan terlalu timbul gejolak.

“Asalkan dasarnya itu harus jelas. Menurut saya 50% dari yang ditangkap selama ini, itulah kuota yang bisa diberlakukan. Kasi kesempatan hiu hiu berkembang biak,’’ katanya.

Baca juga : Pertama Kali di Indonesia, Ditemukan Hiu ‘Living Fossil’ Goblin di Aceh

Data Wildlife Conservation Society (WCS), hiu yang didaratkan di Tanjung Luar pada 2014 sebanyak 6.480, 2015, sekitar 5.198 hiu. Pada 2016 (8.006), dan 2017 (6.690). Dari jumlah ini, didominasi hiu kejen (Carcharnihus falciformis) 36%, hiu macan (Galeocerdo cuvier) 20%, hiu lonjor (Carcharnihus limbatus) 10%. Lalu, hiu martil (Sphyrna lewini) 10%, hiu karet (Prionace glauca) 7%, hiu lonjor (Carchanihus brevipinna) 5%, hiu merak bulu (Carcharhinus obscurus) 3%, hiu tenggiri (Isurus oxyrinchus) 2%, hiu lonjor (Carharnihus sorrah) 2%, hiu tikus (Alopias pelagicus) 2%, dan 10% hiu jenis lain.

“Hiu kejen ini paling banyak, bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia,’’ kata Evron.

 

Usman, pengepul hiu pari menunjukkan sirip hiu yang siap dikirim ke Surabaya. Menurut dia, belakangan ini jumlah hiu yang ditangkap makin sedikit dan makin ketat aturan pengiriman sirip hiu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kalau kuota penangkapan terbit, masih ada kesempatan bagi pemerintah dan organisasi non pemerintah untuk sosialisasi. Begitu juga dengan perguruan tinggi siap membantu sosialisasi.

Pada masa sosialisasi aturan itu, katanya, sekaligus memantau tangkapan hiu. Dengan cara ini, bisa terlihat efektivitas pemberlakuan aturan. Ervon tak ingin kasus kegaduhan karena aturan pelarangan ekspor anakan lobster terjadi pada aturan penerapan kuota penangkapan hiu.

Pemerintah, katanya, tak bisa langsung menangkap, bahkan sampai memenjarakan nelayan yang melanggar aturan. “Harus bijak juga pendekatannya.”

Edukasi di masyarakat juga penting terutama masyarakat pesisir. Sosialisasi hiu dan pari harus jadi bagian setiap program kelautan dan perikanan. Pemerintah, katanya, harus mampu meyakinkan masyarakat pesisir, anak-anak yang kelak akan jadi nelayan, bahwa menangkap hiu berlebihan itu tak baik. Selain itu, katanya, sosialisasi kepada konsumen juga penting.

Baca juga: Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

Selama ini, hiu diburu untuk diambil sirip. “Isu hiu ini harus jadi isu publik,’’ kata Evron.

Melihat karakteristik nelayan penangkap hiu di Tanjung Luar Lombok Timur, Evron juga menyarankan, pemerintah bisa menyiapkan keahlian mereka pasca tak menangkap hiu.

Nelayan penangkap hiu ini memang spesifik. Mereka melaut khusus menangkap hiu, bukan mencari ikan lain. Ketika kelak ada pembatasan harus dipikirkan keberlangsungkan ekonomi mereka.

Evron melihat, potensi pengolahan perikanan, pariwisata, dan budidaya masih terbuka lebar. Kawasan Tanjung Luar dan Jerowaru Lombok Timur, merupakan daerah cocok perikanan budidaya.

Mengubah kebiasaan nelayan tangkap jadi budidaya, katanya, juga perlu proses panjang dan modal tak sedikit.

 

Deretan perahu nelayan di Pulau Maringkik, satu desa yang jadi kantong nelayan penangkap hiu. Mereka menangkap hiu hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Isu sensitif

WCS dan Rekam Nusantara pada Agustus 2019 menggelar sosialisasi melalui media film berjudul “Gelombang Tanjung Luar dan Pulau Maringkik.”

Film ini mendokumentasikan penangkapan hiu oleh nelayan Tanjung Luar dan Pulau Maringkik. Di sana ada penayangan proses penangkapan hiu di tengah laut. Nelayan penangkap hiu dibekali kamera untuk merekam aktivitas keseharian mereka.

Melalui film ini, diharapkan para nelayan dan masyarakat Tanjung Luar dan Pulau Maringkik, sadar penangkapan hiu berlebihan tidak baik bagi ekosistem.

Film ini juga mengkampanyekan ke publik bahwa persoalan penangkapan hiu tak sesederhana bayangan mereka. Tak bisa langsung melarang begitu saja. Hiu salah satu komoditas yang menggerakkan ekonomi masyarakat di dua tempat pengambilan film itu.

Saat pemutaran film di Pulau Maringkik, sempat terjadi insiden. Beberapa staf desa dan warga meminta jangan memutar film. Mereka khawatir para nelayan penangkap hiu tersinggung. Setelah negosiasi dan menonton bersama sebelum tayang pada malam harinya, pemuturan film bisa berjalan aman.

“Isu hiu ini memang sensitif,’’ kata Benaya Simeon, Shark and Ray Office WCS.

Benaya sudah bertahun-tahun melakukan pendampingan di Tanjung Luar dan Pulau Maringkik. Bertahun-tahun mengumpulkan data. Mempelajari kebiasaan nelayan, barulah perlahan mengedukasi mereka, terutama para penangkap hiu.

Pendekatan panjang ini agar tak resisten. Jangan sampai, katanya, ada kesan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil melarang nelayan menangkap ikan, yang sebenarnya tak semua dilarang.

Perputaran uang dari hiu dan pari di Tanjung Luar, cukup besar. Dalam setahun perputaran uang khusus hiu sekitar Rp5,6 miliar dan pari Rp2,4 miliar. Di Tanjung Luar dan Pulau Maringkik, seluruh bagian tubuh hiu dijual. Sirip hiu, yang selalu kontroversi terutama menjelang Imlek, bagian paling mahal. Harga satu kg sirip hiu bisa Rp2.500.000, tergantung jenis.

Selain sirip, daging juga hadi daging asap dan sate. Dari hasil riset Dinas Kelauatan dan Perikanan NTB, ada 15 pasar tradisional di Lombok jadi tempat penjualan hiu. Harga daging hiu lebih murah jadi penyebab laris. Kulit hiu juga dijual jadi berbagai produk turunan. Usus dan bagian isi dalam perut, jadi olahan pakan ternak. Tak ada bagian yang tak berharga.

“Hiu ini menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Ini yang membuat resistensi ketika dianggap akan menganggu bisnis mereka,’’ kata Benaya.

WCS dan Rekam Nusantara, sengaja memilih film dokumenter sebagai media kampanye agar memudahkan publik mengetahui seluk beluk penangkapan hiu. Film juga mudah disebarkan ke publik. Film juga lebih menarik, hingga tidak mudah bosan dibandingkan seminar-seminar.

Selain menyasar masyarakat di desa tempat pendaratan hiu, WCS dan Rekam Nusantara juga sosialisasi ke kampus-kampus di Mataram, NTB. Universitas Mataram dan Universitas 45 Mataram dipilih karena memiliki jurusan kelautan dan perikan.

Harapannya, para mahasiswa ini paham dengan isu penangkapan hiu dan bisa ikut sosialisasi di masyarakat.

 

Proses pengeringan sirip hiu di Tanjung Luar, Lombok Timur. Sirip hiu yang sudah kering selanjutnya dikirim ke Surabaya. Tanjung Luar dikenal sebagai salah satu pendaratan hiu dan pari terbesar di Indonesia. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

***

Usman, pengepul hiu di Tanjung Luar mengajak saya ke rumahnya. Dia membuka keranjang tergeletak di sudut rumah. Keranjang itu penuh sirip hiu.

“Sekarang ini bisa dibilang sepi,’’ kata Usman.

Menurut dia, era kejayaan hiu Tanjung Luar dan Pulau Maringkik, mulai terkikis. Bukan saja karena aturan makin ketat, tangkapan mulai berkurang. Tidak ada penambahan kapal dan nelayan penangkap hiu, justru sebagian ada beralih jadi nelayan bukan penangkap hiu. Sebagian kecil beralih ke pemandu wisata.

“Kalau dulu ke sini penuh halaman ini. setiap hari orang bekerja,’’ katanya menunjuk halaman rumah.

Di halaman rumah semen itu para pekerja membersihkan hiu. Pemotongan sirip dan bersih-bersish usus di tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjung Luar. Di halaman rumah itu, pembersihan hiu. Sirip dijemur. Daging dipotong kecil untuk proses pemindangan. Tak ada bagian hiu tak dijual.

Dulu, tak ada yang protes tentang penangkapan hiu di Tanjung Luar. Belakangan, pemerintah dan organisasi masyrakat sipil masuk memberikan sosialisasi tentang hiu. Awalnya, para nelayan merasa terhalangi, perlahan mereka sadar, ada pembatasan jenis hiu dan pari tertentu.

Karena itulah, nelayan Tanjung Luar dan Pulau Maringkik tidak mau menangkap yang dilarang, seperti hiu paus, pari manta, maupun pari gergaji. Kalau tiga jenis itu tertangkap secara tidak sengaja, mereka akan melepas.

Suparman, seorang pengepul hiu di Tanjung Luar bilang, aturan pengiriman hiu makin ketat. Dulu, dia bebas mengirim hiu ke Surabaya. Sekarang, sebelum pengiriman harus ada pemeriksaan dulu terhadap sirip-sirip hiu itu. Pemeriksaan itu untuk menjamin sirip itu bukan dari jenis terlarang.

“Pembatasan ekpor ini mengurangi tangkapan,’’ katanya.

Dia juga sudah mendengar rencana ada pembatasan kuota penangkapan. Dia belum tahu berapa kuota, termasuk belum tahu bagaimana nasib nelayan yang menangkap hiu. Yang pasti, katanya, kuota akan mengurangi pendapatan mereka.

Kalau nanti aturan kuota penangkapan keluar, dia berharap pemerintah jangan langsung membawa ke ranah hukum. Dia berharap, pemerintah bijak dalam menerapkan aturan. Pemerintah juga harus memikirkan nasib para nelayan penangkap hiu, termasuk para buruh yang bekerja di juragan-juragan pengolahan hiu. Selama ini, hidup mereka bergantung pada hiu dan pari.

 

Pokdarwis Tanjoh membuat miniatur hiu yang diisi dengan sampah plastik yang dipungut di laut. Beberapa anggota pokdarwis ini dulunya nelayan penangkap hiu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Ekowisata jalan keluar?

Suhariyono, Kepala Seksi Kapal dan Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan NTB bilang, pemerintah menggalakkan ekowisata di Tanjung Luar dan Pulau Maringkik. Pemerintah provinsi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Pariwisata membina nelayan untuk pengembangan ekowisata.

Saat ini, para operator perahu angkutan pariwisata adalah nelayan Tanjung Luar. Ada dua dermaga penyeberangan wisatawan, dermaga TPI dan Dermaga Tanjoh. Dua lokasi ini dikelola kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan koperasi wisata.

“Sudah berjalan pariwisata di sini. Kita harapkan jadi alternatif bagi nelayan Tanjung Luar,’’ katanya.

Jalur transportasi laut ke wisata Pantai Pink dari Tanjung Luar sebenarnya faktor kebetulan. Awalnya, beberapa wisatawan mencoba naik perahu dari Tanjung Luar. Mereka menyewa perahu nelayan. Cerita ini menjadi viral, dan makin banyak wisatawan mencoba lewat jalur laut. Kelebihan jalur laut ini, tak perlu melewati jalan rusak dan bisa singgah di beberapa pulau kecil dan garis pantai dari Keruak hingga Jerowaru. Nelayan pun mulai mengubah penampilan perahu mereka. Setelah cukup modal mereka membeli perahu khusus untuk melayani penumpang.

Melihat perubahan ini, barulah pemerintah masuk memberikan pembinaan. Melihat pengalaman Tanjung Luar ini, pemerintah bisa berkaca bahwa masyarakat nelayan sebenarnya bisa berubah. Mereka dengan sadar mencari alternatif selain menangkap hiu atau melaut sepanjang malam.

“Beberapa yang bawa turis ini memang ada eks penangkap hiu,’’ kata Daeng Acok, Ketua Pokdarwis Tanjoh.

Kalau pemerintah serius mengembangkan pariwisata di kawasan itu, Acok yakin perlahan nelayan mengubah haluan terutama nelayan penangkap hiu. Para nelayan penangkap hiu itu sebenarnya hanya buruh. Mereka berbagi keuntungan dengan pemodal dan pemilik perahu.

Risiko melaut, katanya, sangat besar. Mereka memburu hiu ke perairan selatan Sumbawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Kalau ada alternatif lain lebih mudah dan hasil sama, Acok yakin pemerintah tak akan terlalu pusing memikirkan penangkapan hiu.

“Sekarang tinggal keseriusan pemerintah mengembangkan pariwisata di kawasan ini,’’ katanya.

 

Keterangan foto utama: Para buruh mengangkut hiu yang baru tiba di TPI Tanjung Luar. Puluhan buruh terlibat dalam rantai bisnis hiu di Tanjung Luar. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version