Mongabay.co.id

Nasib Hutan Perempuan Kampung Enggros

 

 

 

 

Hari cerah. Semilir angin Teluk Youtefa, Papua, menyambut kami. Dari Pantai Ciberi, laut dan langit tampak serupa biru. Di Pantai ini juga Mama Adriana Youwe, sudah menunggu.

Mama Adriana, akan memandu perjalanan kami. Kaosnya tampak bertuliskan “Tonotwiyat hutan perempuan.”

Tonot, berarti hutan bakau dan wiyat berarti ajakan buat datang. Jadi, Tonotwiyat adalah ajakan datang ke hutan bakau. Tonotwiyat juga jadi judul satu film dokumenter tentang hutan mangrove ini. Film ini baru saja masuk dalam nominasi film panjang terbaik Piala Citra dan nominasi Film dokumenter panjang Festival Film Dokumenter Jogjakarta.

Mama Adriana, salah satu tokoh film itu. Film ini membuat orang tertarik melihat kearifan masyarakat di pesisir Kota Jayapura dalam mengelola hutan sebagai sumber hidup.

Wilayah ini dikenal dengan nama Teluk Youtefa, terletak di sebelah timur Abepura Kota Jayapura. Terpatnya di Kampung Enggros.

Berkunjung dan mendengar cerita dari perempuan-perempuan di sini jadi bagian dari rangkaian kegiatan kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Belasan perempuan dan laki-laki ikut dalam kunjungan ini.

Kegiatan ini sekaligus perayaan Hari Lingkungan Hidup Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua pada 7 Desember. GKI di Tanah Papua telah menetapkan tanggal ini sebagai Hari Lingkungan Hidup.

“Enggros dan Tobati itu jadi satu tempat di mana masyarakat asli tinggal di sini tetapi mereka juga korban rusaknya lingkungan yang sangat berat. Semua kita yang tinggal di Kota Jayapura, kalau kita buang sampah ke kali, sampah-sampah itu dibawa oleh air ke laut,” kata Pendeta Dora Balubun, Kepala Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keuntuhan Ciptaan (KPKC) GKI, saat memberi pengantar.

“Karena kita memasuki kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Dalam budaya Papua, ada tempat-tempat di mana perempuan mencari makanan di situ. Tempat-tempat ini sudah banyak rusak.”

Dari Pantai Ciberi, kami bergerak ke Kampung Enggros menggunakan speedboat. Enggros ini berarti kampung kedua. Kampung utamanya, adalah Tobati. Letak kedua kampung  berdekatan. Hanya perlu beberepa menit dari Pantai Ciberi tiba di kampung yang dibangun di atas laut itu.

 

 

Umumnya kampung, di sana ada lapangan, jalan penghubung, gereja, kantor kampung, dan berbagai fasilitas lain. Semua terbangun di atas air.

Salah satu kebudayaan yang menarik di tempat ini adalah pembagian wilayah mencari makan antara laki-laki dan perempuan. Di sini, seluruh wilayah hutan mangrove hanya untuk perempuan hingga dinamakan hutan perempuan. Laki-laki mencari di wilayah laut.

Hutan perempuan terletak beberapa meter dari pemukiman warga. Warga biasa menggunakan perahu untuk mencapai hutan ini. Tinggi mangrove di lokasi ini tampak mencapai tujuh meter. Di sini, para perempuan biasa mencari kerang, ikan maupun kepiting. Kerang yang terkenal paling enak dari tempat ini disebut kerang noor atau biasa disebut bia noor.

Selain untuk kebutuhan makanan sehari-hari dan saat upacara adat, hasil hutan ini juga sumber pendapatan.

Tak ada pembagian wilayah di dalam hutan ini. Semua perempuan bisa masuk dan mencari di seluruh bagian hutan. Sebagai kampung kedua, para perempuan dari kampung pertama Tobati pun bisa masuk ke hutan perempuan di kampung ini, tetapi tidak sebaliknya.

Karena khusus untuk perempuan, hutan juga jadi tempat para perempuan bercerita satu dengan yang lain. Kondisi tanah yang berlumpur membuat para perempuan biasa beraktivitas di dalam hutan tanpa baju atau telanjang.

“Kenapa kami tidak pakai pakaian baru turun karena kami pakai baju juga itu kan pecek (lumpur). Kami jadi gatal. Jadi sudah, buka baju sudah,” kata Adriana.

Kebiasan ini sudah turun-temurun dan diketahui semua warga di kampung. Kalau ada orang sengaja mengintip maka akan kena hukuman berupa denda. Ada perempuan yang masih meneruskan kebiasaan membuka baju ini, namun ada juga tidak karena malu. Mama Adriana masih meneruskan tradisi ini.

Meskipun begitu, bukan berarti laki-laki sama sekali tidak bisa masuk ke hutan ini. Biasa, laki-laki bisa masuk ketika para perempuan tak lagi bisa beraktivitas, misal, saat air sedang naik. Penanda yang biasa dipakai adalah air atau lumpur. Kalau air di sekitar hutan tampak kabur atau tampak jejak di lumpur, berarti ada perempuan beraktivitas di sana.

Selain tempat hidup berbagai jenis ikan, kepiting dan kerang, warga memanfaatkan mangrove sebagai bahan obat-obatan, kayu bakar. Juga, bahan bangunan, pengawet jaring hingga penghalus dan pewarna perahu.

 

Mama Adriana Youwe. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Banyak sampah….

“Kamu lihat, ada kulkas, mesin cuci, ada bantal. Mau cuci mau tidur ada semua. Lengkap,” kata mama Adriana dari atas perahu saat kami tiba di hutan perempuan.

Meski dari jauh hutan ini tampak hijau, di dalamnya penuh sampah. Di antara akar-akar bakau, tampak tumpukan kulkas dan mesin cuci bekas, bantal, tikar hingga pemasak nasi. Belum terhitung dengan tumpukan botol plastik dan berbagai jenis sampah lain yang tersebar di banyak titik. Kondisi ini terlihat di permukaan, belum terhitung yang terbenam di dalam lumpur.

Menurut Adriana, sampah-sampah ini datang dari arah Abepura, Entrop dan Hamadi. Saat hujan sampah datang melalui beberapa daerah aliran sungai menuju ke kampung dan hutan ini. Saat air naik sampah-sampah ini masuk hingga ke tengah hutan mangrove, lalu tenggelam bersama lumpur saat air turun. Tak jarang bangkai berbagi jenis binatang pun ikut hanyut bersama sampah.

“Ia tutup kami punya hasil. Jadi kami turun mau raba bia, kami injak dulu sampah, kasi pindah dulu baru kasi turun kaki. Juga itu pun tidak banyak seperti dulu. Sekarang, kalau kami mau jual harus tampung dulu isi di keranjang. Sudah dapat empat atau lima tumpuk baru kami ke pasar.”

Di laut pun demikian. Jaring yang terpasang nelayan laki-laki kadang berisi sampah. Kondisi air yang tercemar juga membuat warga jarang gunakan air laut kebutuhan, misalkan menggarami masakan, mandi saat badan sakit atau mencuci beras.

“Lewat sampah orang kota bikin rusak perempuan di kampung. Sampah bikin hancur kami pu laut, hancur kami punya hidup.”

Beberapa jenis ikan dan kerang makin pun sulit. Kondisi ini, membuat mama-mama makin jarang pergi mencari di hutan perempuan. Mama Adriana mengatakan, hanya sekitar lima atau enam perempuan dalam keadaan terpaksa masih menjalani aktivitas ini.

Pembangunan masif di tempat ini juga jadi ancaman. Sebelumnya, Entrop– sekarang pusat bisnis— adalah kawasan bakau. Sumber air bersih warga kampung juga ada di sana. Semua itu kini tertimbun dan jadi kota.

Presiden Joko Widodo juga baru meresmikan satu jembatan megah yang dikenal dengan Jembatan Merah. Ini jalan baru yang menghubungan Kota Jayapura dengan Kabupaten Keerom dan perbatasan Papua New Guinea.

Hampir sebagian besar jalan di kawasan mangrove. Alih fungsi hutan hutan mangrove tampak akan terus berlanjut. Di beberapa titik di sepanjang lintasan baru ini, penebangan masif berlangsung.

Pantai Ciberi, terletak tepat di bawah Jembatan Merah ini juga makin ramai dengan kunjungan wisatawan. Warga kampung mencoba memanfaatkan dengan menyewakan tempat dan berjualan. Sampah tetap jadi masalah.

Adriana mengatakan, kadang orang memanfaatkan lintasan baru ini untuk membuang sampah terutama saat malam.

 

Bak air dari fiber tersangkut di dahan bakau. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Wisata alam yang tercemar

Jauh sebelumnya, pemerintah telah menetapkan wilayah Tobati, Enggros dan Nafri sebagai Kawasan Wisata Alam Teluk Youtefa. Penetapan ini melalui Keputusan Menteri Pertanian No.372/kpts/Um/1976. Luas KWA Teluk Youtefa mencapai 1.650 hektar.

Yunus P. Paulangan dari Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Cenderwasih (UNCEN) pernah penelitian tentang potensi ekosistem mangrove di Taman Wisata Teluk Youtefa. Penelitian ini dimuat dalam Jurnal Kelautan pada 2014.

Jenis mangrove di kawasan ini antara lain Rhizophora mucronata, R. stylosa, R. apiculata, Bruguera gymnoriza, B. cylindrical, Ceriops tagal, Avicennia marina, A. alba, A. Apiculata. Ada juga, Soneratia alba, Aegiceras comiculatum, Scyphyphora hydrphylacea, Xylocarpus granatum, X. mollucensis dan Nypa fruticans. Paling dominan, Rhizophora stylosa dengan tinggi mencapai 7–12 meter dan diameter 10–15 cm.

Penelitian ini juga menyebutkan, hutan mangrove di sini jadi rumah bagi 10 jenis burung, tiga antara lain langka, yaitu kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kuntul karang (Egretaa sacra) dan cenderawasih besar (Paradisaea apoda).

Penelitian lain dari FMIPA UNCEN oleh Hendrikus Randongkir , Henderite L. Ohe, dan John D. Kalor pada 2015. Mereka meneliti komposisi vegetasi dan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kawasan Wisata Alam Teluk Youtefa Kota Jayapura.

Dari penelitian ini ketahui potensi perikanan di kawasan mangrove di KWA Teluk Youtefa ini antara lain terdapat empat jenis ikan, liga jenis kepiting dan lima jenis kerang.

Warga memiliki sebutan sendiri daalam bahasa lokal untuk tiap jenisnya. Adapun jenis Ikan antara lain rar (bulana), romant (bandeng), rindin (samandar) dan anar (kakap merah).

Jenis kerang antara lain hwatari (kerang lola), twuad (kerang noor), ree (kerang noor), hwandek (kerang lola) dan wenggop rimesi (kerang panjang). Jenis kepiting ada tiga yaitu hrook (kepiting hitam), hos-hos (kepiting merah) dan yabruki (kepiting hijau).

Penelitian tentang kondisi pencemaran di kawasan ini juga sudah dilakukan. Dikutip dari Jubi.co.id, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UNCEN, Hazmi, meneliti pada 2014 dan menemukan, ikan dan kerang di Teluk Youtefa tercemar kandungan logam berat Plumbum atau timbal.

Sebelumnya, penelitian lain oleh Janviter Manalu dkk dari Institut pertanian Bogor. Hasil penelitian yang terbit di Pusat Penelitian Biologi–LIPI pada 2011 ini menyebutkan, perairan di Teluk Youtefa masuk kategori tercemar ringan dan sedang. Ia diukur dari derajat keasaman (pH), padatan tersuspensi total (TSS), oksigen biokimia (BOD), nitrat (NO3-N), fosfat (P-PO4) dan NH3-N.

Menurut mereka, alih fungsi lahan dari hutan menjadi area pemukiman dan pertanian di daerah hulu, perambahan hutan. penduduk meningkat, kemiskinan dan perilaku sosial membuang sampah dan limbah ke sungai jadi penyebab utama kerusakan kawasan teluk.

Kondisi ini membuat sedimentasi, air laut keruh, dan produksi limbah meningkat hingga ekosistem di teluk rusak, biota hidup makin berkurang, kesehatan warga terganggu dan keindahan teluk berkurang.

 

Jembatan merah yang melintasi wilayah kampung Enggros. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pengaturan ruang dan limbah

Hutri Yewi dari Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) prihatin dengan kondisi hutan perempuan. Alih fungsi berbahaya karena mangrove penting dalam menjaga kawasan teluk dari ancaman gelombang. Apalagi, teluk langsung berhadapan dengan Samudra Pasifik. Begitu juga pencemaran yang terjadi membahayakan.

“Bagaimana kota mau menjaga makan makan lokal kalau lingkungan terutama di sekitar hutan perempuan penuh dengan sampah. Apakah masih ada nilai gizinya?”

Tempat khusus bagi perempuan untuk mencari makan bukan hanya ada di pesisir Jayapura, juga di Biak, Waropen maupun Serui.

Kepada peserta kunjungan, Hutri berbagi tentang Indegenous Community Conversation Areas (ICCAs) atau disebut kawasan konservasi masyarakat adat. Konsep KKMA sangat berbeda dengan konservasi pemerintah selama ini, di mana masyarakat dilarang beraktivitas dalam kawasan konservasi. Dalam KKMA konservasi, kehidupan, dan budaya menjadi satu kesatuan.

Dia bilang, memang sulit dilakukan di tengah ancaman pencemaran teluk. Menurut Hutri, penegakan peraturan daerah Kota Jayapura, tentang limbah dan sampah harus benar-benar berjalan. Adapun pengaturan limbah dan sampah diatur dalam Perda Kota Jayapura Nomor No13/2017 tentang kebersihan.

Namun dengan memperhatikan banyak persoalan yang merusak kawasan teluk, tampak tidak hanya perlu menegakkan perda kebersihan. Pengaturan ruang yang tepat juga jadi hal penting yang perlu diperhatikan.

Kota Jayapura, katanya, adalah ibu kota provinsi. Kota ini juga pusat aktivitas pendidikan, kesehatan, hingga bisnis.

Kalau peruntukan ruang tak diatur baik, kerusakan lingkungan akan jadi ancaman baru sebagaimana mulai dirasakan Mama Adriana dan warga di Teluk Youtefa.

Dari hutan perempuan, kami lanjut menelusuri kawasan teluk yang lain. Menyaksikan keindahan teluk, mengetahui keragaman isi laut dan hutan dan mendengar kekhasan tradisi masyarakat jadi pengalaman menarik. Mari bersama-sama, semua pihak segera bergerak menyelamatkan teluk ini.

 

Hutan mangrove di Kampung Enggros. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version