Mongabay.co.id

Alih Fungsi Lahan Penyebab Angin Kencang, Petani Apel Kota Batu Gagal Panen

 

Dingin menyelimuti suasana kawasan pertanian di Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Udara dingin ditambah dengan pemandangan asri menjadi latar indah kawasan pertanian yang berada tepat di kaki Gunung Arjuno, salah satu gunung favorit para pendaki Jawa Timur ini.

Kabut putih pekat yang menutupi sebagian kawasan pegunungan juga menjadi panorama tersendiri. Seolah semakin menyempurnakan keindahan alam kawasan pertanian yang berjarak sekitar 10 km dari pusat kota Batu ini. Selain banyak dijumpai ladang sayur wortel, di kawasan ini juga dikenal dengan perkebunan apel.

Meskipun wilayah Perkotaan, namun wilayah ini dapat dikategorikan wilayah pedesaan. Hal itu terlihat dari banyaknya lahan pertanian di kawasan ini, baik itu untuk menanam sayur maupun apel. Rata-rata warga memiliki lahan dengan luas 0,25 – 1 ha, ada juga yang memiliki lahan lebih dari 1 ha. Ketergantungan para petani terhadap alam maupun sektor perkebunan apel ini bisa dibilang cukup tinggi. Untuk itu, mata pencaharian warga mayoritas yaitu bercocok tanam.

Namun, musim panen bulan ini petani apel di Kota Batu banyak yang mengalami kerugian. Penyebabnya yaitu bencana alam angin kencang yang terjadi pada bulan Oktober lalu. Buah apel yang siap panen banyak yang rusak dan kebun porak-poranda. Selain itu, pohon apel juga banyak yang roboh, buah-buahnya rontok diterjang angin.

baca : Begini Cara Petani Buah di Lamongan Berbagi Keberkahan

 

Petani membersihkan lahan perkebunan apel untuk memudahkan saat melakukan proses penyemprotan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Petani Apel Tekor

Budi Widiantoro, salah satu petani setempat menjelaskan pasca peristiwa yang menimpa tanaman apel miliknya, untuk saat ini masih tahap pemulihan. Proses pemulihannya dibutuhkan waktu paling tidak selama satu musim.

Menurut perhitungan petani dalam satu tahun buah apel ini dipanen dua kali. Artinya, semusim dibutuhkan waktu kurang lebih antara 5-6 bulan untuk masa pemulihan. Perhitungan itu untuk apel yang mengalami stres. Untuk tanaman apel yang harus diganti perhitungannya berbeda lagi, membutuhkan waktu kurang lebih 5 tahun dari tanam hingga panen. “Dibutuhkan biaya banyak begitu juga dengan tenaga kerjanya. Beruntung saya masih bisa panen, tapi ya tinggal 20 persen. Kebetulan punya saya ini ada dua tempat,” tutur pria umur 45 tahun ini saat ditemui Mongabay, pada Minggu (15/12/2019).

Akibat kejadian itu, banyak petani yang merasa gagal panen, termasuk dia. Kegiatan produktifitas apel juga berkurang karena tanaman apel mengalami tingkat stres tinggi. Penyerapan unsur hara di tanah bisa berhenti sejenak karena kondisi pohon apel ke goyang angin kencang. Bunganya rontok, apelnya rontok, pohonnya juga bisa kurus.

Karena peristiwa ini harga buah apel juga ikut turun, lanjut Budi, belum ada seminggu harganya Rp6500-Rp7000 per kilo. Menurut Budi, dalam kondisi normal dengan harga segitu masih bisa dapat hasil. Tapi karena kejadian kemarin itu banyak petani yang minus.

baca : Menikmati Bunga di Pasar Splendid Malang

 

Petani memanen apel yang roboh akibat angin kencang yang terjadi dua bulan lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sadi (50) petani yang sama menceritakan, sebelumnya bencana angin kencang juga pernah terjadi pada 2001-2002 silam. Hanya untuk tingkat kerusakannya tidak separah tahun ini. Karena waktu itu dibarengi dengan hujan, sehingga akar pohon apel masih kuat. Senada dengan Budi, Sadi mengatakan akibat kejadian ini harga buah apel juga ikut turun.

“Konsumen juga tau buah apelnya juga banyak yang rontok. Dan itu sangat mempengaruhi harganya. Karena harga petikan sama yang rontok itu kan sudah berbeda,” ujarnya.

Petani lain, Heri Prasetyo (31) juga menjelaskan di lahan pertanian berukuran 200 meter persegi miliknya itu. Dalam kondisi normal, semusim dia bisa panen 6 ton. Sekarang ini turun tinggal 1 ton. Kerugian bisa dikatakan 90 persen. Untuk pemulihan Heri mengaku membutuhkan biaya Rp4 juta, perawatan satu musim diprediksi membutuhkan biaya Rp8 jutaan. “Kalau harga buah apel tidak bisa pas ya gigit jari,” keluhnya.

Untuk biaya, sebagian petani ada yang hutang ke pengepul, ada juga yang hutang ke bank. Untuk itu, petani berharap ada perhatian dari pemerintah baik daerah maupun pusat untuk meringankan beban yang mereka rasakan sekarang ini.

perlu dibaca : Musim Kemarau, Petani Manfaatkan Rawa yang Mengering

 

Apel yang dipanen petani merupakan apel ana dan manalagi. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Petani setempat mengaku akibat peristiwa itu petani mengalami kerugian hingga 90 persen. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Faktor Alih Fungsi Lahan

Staf Rehabilitas Rekontruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu, Eko Prasetyo Kurniawan menjelaskan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh BPBD setempat total kerusakan tanaman apel ini kurang lebih 200 hektare, kerugian ditaksir mencapai miliaran rupiah. Dari kajian ini rencananya akan diajukan ke pemerintah baik daerah maupun pusat. Terkait dengan bagaimana penanganan selanjutnya.

“Mungkin seperti pupuk atau obat-obatan lain yang bisa mengembalikan apel-apel yang terdampak,” ujarnya. Untuk kerusakan, ada tiga titik desa yang terdampak, diantaranya Sumberbrantas, Tulungrejo, dan Sumbergondo.

Lanjut Eko, karena kerusakannya banyak, baik itu sektor ekonomi, sosial, pemukiman, dan infrastruktur. Untuk itu BPBD masih melakukan perhitungan yang matang. Supaya nanti pemulihan pasca bencana ini bisa tertangani dengan baik.

BPBD mengupayakan Januari bulan depan kajian sudah masuk semua. Karena jika ini dibiarkan dan tidak tertangani itu juga tidak sesuai dengan rencana Walikota untuk menuntaskan kemiskinan. Karena petani ini tidak dapat penghasilan lagi. Dampaknya akan semakin luas.

 

Pasca terjadi peristiwa angin kencang yang menimpa kawasan ini untuk perawatan tanaman apel semakin tinggi. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan kajian Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kata Eko faktor penyebab terjadinya angin kencang yaitu karena alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Dulu, di kawasan ini masih banyak pohon yang berfungsi sebagai pemecah angin. selain itu, ada perubahan pola tanam masyarakat sekitar. Dulunya alat yang digunakan untuk bercocok tanam sederhana seperti cangkul, sekarang ini memakai alat berat. Hal itu bisa mempengaruhi struktur tanah pegunungan yang relatif lembut. “Begitu ada angin besar, tanah itu langsung ikut tertiup. Langsung los,” imbuhnya.

Kebakaran hutan di Gunung Arjuno beberapa bulan lalu juga turut mempengaruhi datangnya angin kencang, angin akan mencari tempat yang lebih rendah. Kawasan yang terdampak ini merupakan titik terendah, dan yang paling berpengaruh angin ini bertemu dari berbagai sisi. Tidak ada penghalang seperti pohon-pohonan yang berfungsi sebagai pemecah angin. Dari kejadian ini selain pendataan, BPBD juga melakukan pembentukan Desa Tangguh, sehingga warga bisa mengenali potensinya, mengurangi resikonya dan mewaspadai ancamanya.

 

Miskan (55) buruh tani saat berada diantara perkebunan apel yang meranggas di Junggo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version