Mongabay.co.id

Putusan Majelis Hakim Tidak Berpihak pada Masyarakat Teluk Sepang [Bagian 1]

 

 

Ruang sidang di Jalan Martadinata Kandang Mas, Kampung Melayu, Kota Bengkulu, siang itu sesak. Puluhan warga Kelurahan Teluk Sepang beserta pegiat lingkungan dan gabungan mahasiswa seluruh Bengkulu menantikan putusan majelis hakim terkait gugatan izin lingkungan PLTU Teluk Sepang, Bengkulu, yang mereka layangkan.

Gugatan warga Teluk Sepang telah didaftarkan sejak 20 Juni 2019, dengan nomor 112/G/LH/2019/PTUN.BKL. Tergugat I adalah Gubernur Bengkulu, Tergugat II Lembaga OSS, dan Tergugat II [intervensi] PT. Tenaga Listrik Bengkulu [TLB], pemilik proyek PLTU 2×100 Megawatt [Mw].

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Bengkulu, Baherman dan Hakim Anggota I Indah Tri Haryanti, serta Hakim Anggota II Erick Siswandi, bergantian membaca putusan tersebut.

“Dengan ini, kami putuskan bahwa seluruh dalil gugatan yang diajukan ditolak,” ucap Baherman, Selasa [17/12/2019]. Baherman langsung mengetok palu tanda sidang selesai.

Baca: Pembangunan PLTU Teluk Sepang Tidak Sesuai RTRW Bengkulu

 

Limbah PLTU yang mencemari lingkungan. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Alasan mejelis hakim menolak gugatan karena penggugat tidak punya kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Pertimbangannya, pembangunan dan uji coba PLTU tidak memiliki dampak merugikan penggugat saat ini.

Selain itu, menurut majelis hakim, potensi dampak operasional PLTU di kemudian hari dapat dicegah dengan dokumen amdal yang termasuk rencana pengelolaan lingkungan hidup [RKL] dan rencana pemantauan lingkungan hidup [RPL].

Mejelis juga menilai, PLTU Teluk Sepang merupakan Proyek Strategis Nasional, sehingga kekesuaian tata ruang mengacu Pasal 114A PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.

Baca: Penolakan PLTU Teluk Sepang Terus Digemakan Warga

 

Pantai di Teluk Sepang yang dipenuhi busa sisa pembuangan limbah PLTU. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Kecewa berat

Warga Kelurahan Teluk Sepang, Hamidin [57 tahun], kecewa berat dengan putusan tersebut. “Sudah tidak ada keadilan di PTUN ini. Kami meminta, tutup saluran air bahang itu Pak Hakim, kembalikan hutan mangrove kami,” kata dia.

Hamidin adalah tokoh masyarakat Kelurahan Teluk Sepang. Dia pernah menjabat Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat [LPM] Teluk Sepang. Sejak awal rencana pembangunan PLTU, tepatnya ketika Rapat Konsultasi Publik Rencana Pembangunan PLTU yang dihadiri 18 warga, dia menyuarakan penolakan.

Ketika peletakan batu pertama, Oktober 2016, Hamidin bersama warga berunjuk rasa, bahkan mereka nekat memblokade jalan. Begitu juga saat pembebasan lahan dan penebangan 10 hektar hutan mangrove, Agustus 2017, dia lantang bersuara.

“Kami warga Teluk Sepang menolak pembangunan PLTU, karena mayoritas pekerjaan kami nelayan dan petani. Kami takut ladang dan laut rusak akibat limbah,” terangnya kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

 

Pantai Teluk Sepang yang tercemar. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Kuasa hukum penggugat, Saman Lating, juga kecewa. Menurut dia, hakim mengabaikan poin gugatan yang diajukan tanpa mempertimbangkan bukti-bukti. Pihaknya sudah mengajukan 72 alat bukti surat dan 5 saksi ahli untuk memperkuat dalil gugatan.

“Salah satu dalil adalah dugaan maladministrasi. Itu dibuktikan dengan surat rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia,” jelasnya.

Ombudsman, lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, telah bersurat ke Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah [Bappeda] Provinsi Bengkulu pada 12 September 2019. Surat itu berupa hasil Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan [LAHP] Ombusdman nomor 0175/IN/III/2019/JKT terkait dugaan maladministrasi proses pembangunan PLTU di Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

Sebelumnya pada 22 Agustus 2019, Ombusman mengirim surat yang sama kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu.

Dalam surat tersebut, Ombudsman menyampaikan dua pernyataan penting. Pertama, Kepala Bappeda Provinsi Bengkulu melakukan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Surat Nomor 650/0448/BAPPEDA perihal surat rekomendasi RTRW lokasi PLTU 2×100 MW dan jaringan transmisi 150 kV, pada 3 Mei 2016 kepada Direktur PT. Tenaga Listrik Bengkulu.

Kedua, Kepala DLHK Provinsi Bengkulu melakukan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur dalam proses penilaian dokumen kerangka acuan sebagai bagian dokumen Amdal PLTU.

Namun sayang, kata Saman, majelis hakim mengabaikan fakta-fakta itu. “PLTU ini proyek nasional, dalam RTRW Nasional hanya disebutkan lokasinya di Bengkulu. Namun, dalam RTRW Provinsi Bengkulu disebutkan lokasi proyek seharusnya di Napal Putih, Bengkulu Utara. Tidak ada penyebutan Teluk Sepang,” paparnya.

 

Dampak pembuangan limbah PLTU Teluk Sepang. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Pihak penggugat pun menghadirkan saksi ahli perwakilan tim teknis penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [Amdal] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu, perwakilan dari Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji.

Gunggung pada sidang penyerahan alat bukti tambahan dan pemeriksaan saksi fakta, Senin [14/10/ 2019] mengungkapkan, tim teknis bekerja mengacuh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan.

“Tugas tim teknis memastikan kendali mutu atas Kerangka Acuan, AMDAL, dan RKL-RPL. Salah satu poinnya yaitu kesesuaian lokasi proyek dengan RTRW, baik provinsi maupun kabupaten/kota,” jelasnya.

Dengan dasar itu, saat pembahasan dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan [KA-Amdal], sebagian tim sudah mempersoalkan kesesuaian pembangunan PLTU dengan RTRW yang ada.

“Kami dari perwakilan Universitas Bengkulu mempertanyakan lokasi pembangunan, apakah sesuai RTRW? Bila tidak, amdal harus dikembalikan ke pemrakarsa,” katanya.

Puncak jalan buntu itu, tim teknis merekomendasikan meminta petunjuk langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Namun, sejak itu, tim teknis yang mempertanyakan keabsahan pembangunan karena tidak sesuai RTRW, tidak pernah lagi diundang.

“Sehingga, kami tidak tahu hasil akhir dari komisi penilai amdal,” jelas Gunggung sewaktu di persidangan.

 

Sekitar 10 hektar mangrove dibabat untuk pembangunan PLTU Teluk Sepang, Agustus 2017. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Tetap menolak

Puluhan warga Teluk Sepang dan mahasiswa yang tidak bisa masuk ke ruang persidangan, melampiaskan emosi mereka dengan meletakkan papan liang lahat bertuliskan: “Keadilan Ekologis Wafat 17-12-2019” di depan pintu PTUN Bengkulu. Papan itu mereka siram air dan ditaburi bunga, bergantian.

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu [UMB], Abdullah mengatakan, pihaknya bersama warga Teluk Sepang dan pegiat lingkungan di Bengkulu akan terus berjuang hingga PLTU ditutup.

“Kami tidak akan berhenti di sini,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version