Mongabay.co.id

Sedimentasi Parah Ancam Keberadaan Teluk Kendari

Lumpur sedimentasi tampak di mulut DAS Wanggu yang mengakibatkan Teluk Kendari dangkal. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pemerintah Kendari, Sulawesi Tenggara, jadikan hutan mangrove sebagai destinasi wisata baru selain bahari, goa dan peninggalan prasejarah. Hutan mangrove di Kendari, juga tempat belajar menjaga dan melestarikan hutan.

Hutan mangrove ini tumbuh di air payau, dan dipengaruhi pasang surut air laut. Saat ini, tercatat hampir 500 meter jalan terbuat dari kayu mengelilingi hutan mangrove Kendari. Masyarakat bisa swafoto dan menikmati atau tinggal sejenak dalam hutan dengan bangunan-bangunan kecil membentuk rumah adat Tolaki, suku asli Kendari.

Sayangnya, di balik keindahan hutan mangrove yang membentang luas di tengah kota, Teluk Kendari, hadapi beragam masalah. Salah satu masalah, sedimentasi, yang mengancam keberlangsungan teluk bahkan bisa jadi daratan.

Berdasarkan perhitungan batimetri, sejak 1960–2010, sedimentasi Teluk Kendari alami peningkatan, dari satu juta meter kubik ke 55 juta meter kubik pada 2010.

Pada 1960, laju sedimentasi tercatat 1.084.285.7 meter kubik, tahun 1992 (34.697.142.9), 1995 (37.950.000), 2000 (41.838.333.3), 2005 (49.553.366.7) dan pada 2010 mencapai 55.304.766.7 meter kubik.

Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Tenggara memprediksi, ancaman sedimentasi bisa berakibat fatal pada kondisi teluk. Kala pertemuan dengan seluruh pimpinan dinas terkait di rumah jabatan beberapa bulan lalu dia bilang, Teluk Kendari makin kritis.

Penyelamatan teluk harus dengan membuat gagasan baru dan melibatkan lintas pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Teluk Kendari, katanya, simbol kota yang multifungsi. Untuk itu, perlu perhatian serius dari ancaman sedimentasi.

“Sedimentasi berjalan cepat. Itu karena Teluk Kendari jadi muara pembuangan lumpur erosi maupun sampah dari sejumlah anak sungai sekitar,” kata Ali.

 

Foto satelit yang memperlihatkan pergerakan sedimentasi di mulut DAS Wanggu. (Foto: Komunitas Teras Kendari, komunitas yang fokus pada pemetaan wilayah Sultra.

 

Sedimentasi Teluk Kendari dari pasokan lumpur 13 daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara di teluk. Ke-13 DAS itu hulu ada di dua kabupaten terdekat, yakni Konawe dan Konawe Selatan. Dari 13 DAS, Sungai Wanggu dan Lali Mandonga, terbesar.

Berdasarkan hasil penelitian Catrin Sudardjat, M. Syahril B.K., dan Hadi Kardhana, mahasiswa magister program studi pengelolaan sumber daya air, Institut Tehnologi Bandung, menyatakan, sedimentasi di muara jadi persoalan utama di teluk yang ada kegiatan manusia. Sedimentasi terjadi karena ada suplai muatan sedimen tinggi di lingkungan pantai, hingga terjadi pendangkalan.

Sedimentasi yang terbawa dari Muara Sungai Wanggu ke Teluk Kendari, cukup tinggi. Sungai Wanggu, menguasai DAS seluas 339,73 km persegi merupakan penyumbang sedimentasi terbesar sampai 143.147 meter kubik pertahun.

“Hingga suplai sedimen ditakutkan dapat membahayakan. Tidak saja teluk, melainkan pengecilan volume atau luasan DAS itu sendiri. Ketika DAS mengalami penyempitan, luapan air dimungkinkan setiap saat bisa terjadi,” katanya.

 

Pesisir DAS Wanggu, yang tadinya ruang terbuka hijau, kini sudah menjadi tempat pemukiman warga. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Sumber: tambang sampai sampah

Pemerintah Kota Kendari, melalui Sekretaris Daerah, Nahwa Umar mengatakan, sedimentasi Teluk Kendari karena banyak faktor terutama pertambangan di hulu sungai atau DAS.

Kerja pemkot, katanya, bisa sia-sia kalau hanya mengeruk teluk sedang suplai lumpur setiap saat masuk. “Jadi, harus ada proyek kerja sama antara pemerintah daerah untuk mengatasi Teluk Kendari. Kita di kota melakukan pengerukan, sementara lumpur buah dari penambangan sangat massif juga terjadi,” katanya.

Nahwa mengutip sebuah studi penelitian Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Sampara, yang menyebutkan, dalam kurun 13 tahun terakhir terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut berkisar 9-10 meter.

“Padahal, jika kita bandingkan dengan yang lalu-lalu, di sekitar pesisir saja itu kedalaman air teluk mencapai 22 meter. Artinya, sedimentasi teluk sudah menghawatirkan.”

Selain aktivitas pertambangan, Sudrajat peneliti ITB menerangkan, hasil penelitian menunjukkan dinamika penggunaan lahan 1992–2010 di DAS Wanggu telah menyebabkan, penurunan luas hutan DAS per tahun seluas 478,2 hektar. Kedua hal, katanya, memberikan dampak signifikan terhadap penurunan karakteristik lahan.

“Selain tambang, konstribusi sedimentasi di Teluk Kendari periode 1960–2010 dari sedimentasi erosi lahan sampah dan erosi seperti infrastruktur, tebing sungai, tanah longsor,” kata Sudrajat.

Nur Arafah, ahli lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari mengatakan, Teluk Kendari jadi daratan mungkin terjadi. Penyebabnya, bukan hanya sedimentasi, melainkan pembangunan infrastruktur di sepanjang pesisir teluk.

Ancaman serius lain, katanya, sampah dari aktivitas manusia yang bermukim di pesisir teluk.

Pembukaan lahan sepanjang DAS seperti untuk pemukiman, katanya, menyebabkan erosi karena membawa partikel tanah. “Itu membuka pemukiman di sekitar pesisir, seperti Wanggu, Andonohu dan Lapulu. Susah lagi dicegah,” katanya.

Dia bilang, kerusakan 85% ulah manusia, antara lain lewat reklamasi. Dari 1990-2019, katanya, merupakan masa kritis bagi Teluk Kendari.

“Membangun [mulai] tahun 80. Tahun 90, massif membangun. Proses manusia itu jadi penyebab. Reklamasi teluk itu massif zaman pemerintah lama,” katanya.

Untuk itu, perlu ada penghijauan kembali seperti menanam pohon atau perbaikan DAS.

 

Keterangan foto utama:  Lumpur sedimentasi tampak di mulut DAS Wanggu yang mengakibatkan Teluk Kendari dangkal. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Foto satelit yang memperlihatkan kondisi hutan mangrove di pesisir Teluk Kendari, dari 2010-2018. Foto: Komunitas Teras Kendari

 

 

Exit mobile version