Mongabay.co.id

Korupsi Sumber Daya Alam di Maluku Utara Belum Tersentuh?

Aksi protes keterancaman Hutan Ake Jira. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pada 9 Juni 2014, Maluku Utara, jadi tempat deklarasi penyelamatan sumberdaya alam di Indonesia. Eva Kartika, dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bilang, dalam penanganan korupsi sumberdaya alam, Ternate dan Maluku Utara, memiliki sejarah formal awal upaya perlindungan terhadap korupsi sumberdaya alam.

Lima tahun lalu, dia menemani Ketua KPK Abraham Samad, Kapolri Sutarman, Jaksa Agung Basri Arif dan Panglima TNI Moeldoko menyampaikan ikrar menyelamatkan sumberdaya alam Indonesia.

“Kala itu, kita punya optimisme sama untuk menyelamatkan sumberdaya alam Indonesia dan ditandatangani di Ternate,” katanya dalam seminar di Ternate, akhir November lalu.

Kala itu, katanya, deklarasi ini jadi tekad keempat pimpinan lembaga dalam mendukung tata kelola sumberdaya alam yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sayangnya, pasca deklarasi, korupsi sumberdaya alam daerah ini nyaris tak tersentuh.

Baca juga: Orang Tobelo Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira

Satu contoh, pada 2016, Pemerintah Malut menerbitkan 27 izin usaha pertambangan diduga tanpa prosedur. Kala itu, hanya ada satu IUP disebut sah atau sesuai ketentuan UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Juga, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25/2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ke-27 IUP diduga bermasalah itu, empat izin untuk PT Halmahera Jaya Mining soal izin peningkatan operasi produksi, PT Budhi Jaya Mineral izin Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan. Lalu, CV Orion Jaya, dari izin persetujuan eksplorasi ke operasi produksi, dan PT Kieraha Tambang Sentosa dari izin eksplorasi ke operasi produksi logam emas.

Sahril Tahir, Sekretaris Komisi III DPRD Malut mengatakan, izin keluar tak mengantongi kajian teknis maupun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Bahkan, sebagian izin, masuk areal sengketa tapal batas antara Pemerintah Halmahera Utara dan Halmahera Barat.

Dia menduga, ada mafia penerbitan IUP atau pihak yang sengaja mengejar keuntungan dari penerbitan IUP dengan mengabaikan mekanisme.

Sahrir contohkan, ada dokumen IUP atas nama mantan Kepala Dinas ESDM, Rahmatia, padahal pada masa kepemimpinan kepala dinas bersangkutan tak ada penerbitan IUP sebanyak itu.

“Artinya, ada manipulasi dokumen diduga dengan membuat dokumen tanggal mundur.”Kasus 27 IUP ini, Komisi III DPRD periode 2014-2019 telah membawan ke KPK.   Sayangnya, belum ada perkembangan.

 

Kayu dari hutan di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Foto: Forest Watch Indonesia

 

Hendra Kasim, pegiat hukum dan demokrasi dari Perkumpulan Demokrasi Konstitusional (Pandecta) Malut mengatakan, pengelolaan sumber daya alam tak mensejahterakan rakyat, hanya menguntungkan sekelompok orang. Bahkan, merugikan negara karena hasil banyak dibawa ke luar daerah.

Bukan hanya itu. Tata kelola sumber daya alam yang buruk ini menciptakan kerusakan lingkungan.

Menurut dia, dugaan korupsi paling fenomenal di Malut soal 27 IUP yang dinyatakan non clear and clear. Namun, katanya, hingga kini penanganan tak tentu.

“Deklarasi melawan korupsi sumber daya alam ini jangan-jangan hanya pepesan kosong,” katanya.

Hendra bilang, Malut, berkutat pada dugaan korupsi kecil dan itupun tak tertangani baik. Kasus besar, macam 27 IUP itu, seakan tak mendapat perhatian.

Dia mendesak, KPK menyelesaikan kasus dugaan korupsi perizinan 27 IUP. Juga meminta DPRD Malut menuntaskan Pansus IUP periode sebelumnya   yang hingga kini tak ada kejelasan.

Sorotan serupa dikatakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut. Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut mengatakan, penegakan hukum lemah terhadap dugaan korupsi sumber daya alam.

Dia bilang, tak hanya kasus 27 IUP, yang menunjukkan kebobrokan pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa waktu lalu dalam koordinasi dan supervisi (korsup) KPK, temukan banyak perusahaan tak menyampaikan dana jaminan reklamasi pasca tambang yang harus titip ke bank atau pemerintah. Nilainya, cukup fantastis sekitar Rp100 miliar.

“Saya curiga dana itu diberikan tapi tidak dilaporkan alias disalahgunakan,” katanya.

Munadi mengatakan, jalan masuk korupsi sumber daya alam ini melalui banyak pintu. Ada yang mendorong revisi tata ruang, amdal, perubahan fungsi kawasan, dan lain-lain.

“Ini yang lazim dilakukan. Saya kira di Malut itu nampak. Ada perusahaan yang dokumen amdal tidak jelas tapi diberikan izin. Ada juga perusahaan menambang di kawasan hutan,” katanya.

Munadi menilai, KPK tak serius menangani kasus-kasus berkaitan dengan korupsi sumber daya alam di Malut.

Korupsi sumber daya alam, katanya, memicu kerugian ekologi. “Hutan rusak, sumber air hilang, debu dan penyakit bermunculan di mana- mana. Cukup kompleks.”

Belum lagi masyarakat adat kehilangan wilayah adat, tak lagi punya akses pada tanah dan sumber kehidupan.

 

Pulau Maitara dan Pulau Tidore, Maluku Utara, dengan kekayaan alam di darat dan laut yang berlimpah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Eko Cahyono, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) juga tenaga ahli dan mitra KPK untuk Gerakan Penyelamatan Sumber Daya Alam (GPNSDA) mengatakan, penyelamatan sumberdaya alam di Indonesia oleh KPK, tak dilakukan sendirian. Ada ilmuan dan peneliti bersama KPK, yang berperan dalam membantu mengungkap lewat berbagai kajian dan riset.

“Publik harus tahu kerja KPK, tranparansi. Karena sekarang hoaks dan buzzer lebih ‘benar’ dari media. Kemudian ada partisipasi publik,” katanya.

Eko bilang, sumberdaya alam menyumbang produk domestik bruto (PDB ) 10, 8% atau Rp1.489 triliun alias terbilang tinggi.   Ia sumbangan dari empat sektor, yakni, pertambangan, kehutanan, perkebunan dan perikanan tangkap.

Untuk perkebunan sawit, penguasaan lahan 10 pengusaha saja sudah 2,3 juta hektar. Data terakhir, 5 jutaan hektar dikuasai 25 pengusaha perkebunan sawit.

Sayangnya, pemanfaatan sumber daya alam, tak ada keseimbangan hingga dalam penguasaan muncul ketimpangan.

Selain ketimpangan penguasaan lahan, katanya, juga dampak terhadap lingkungan yang merupakan tanggung jawab perusahaan, kadang terabaikan.

Temuan KPK-GPSDA selama lima tahun memperlihatkan, korupsi paling tinggi terjadi dalam bentuk suap-menyuap. Contoh, dugaan suap kehutanan, mencapai Rp688 juta sampai Rp22 miliar per tahun. “Itu baru dari sektor kehutanan.”

Potensi PNPB kehutanan, secara nasional mencapai Rp70 triliun. Yang masuk atau setor ke negara hanya Rp230 milar pertahun. Kemudian, perkebunan sawit dalam kepatuhan kewajiban pajak, dari target Rp40 triliun setiap tahun, terbayar baru Rp21,87 triliun.

Kondisi ini, katanya, memperlihatkan, ada ketimpangan terutama dalam penerimaan negara.

Korupsi masih terus terjadi. Untuk itu, di kehutanan, pertambangan, perkebunan, pertanian maupun kelautan perlu membuka informasi terintegrasi baik rekonsiliasi informasi maupun hasil audit.

“Sebenarnya kerja-kerja KPK jarang dilihat publik karena orang hanya melihat KPK menangkap orang. Padahal, KPK membuat ragam peraturan baru yang jarang dilihat orang. Dengan mendampingi pemerintah membuat beragam aturan itu, ada audit kepatuhan yang sebenarnya menantang   korporasi tidak sewenang wenang.   Ini langkah– langkah taktis   yang sifatnya jangka pendek.”

Untuk kerja-kerja KPK jangka panjang, aksi dengan standar pelayanan publik, misal, mendorong regulasi agar penerbitan izin atau regulasi tak korup, termasuk mendorong kerangka penyelesaian konflik.

KPK juga melakukan harmonisasi 26 regulasi atau UU yang tumpang tindih hingga membuka ruang korupsi.

Apa dampak setelah KPK terlibat dalam pencegahan dan penyelamatan sumberdaya alam ini. Ada pendapatan pajak ikut naik, karena ada terselamatkan. Fungsi pengendalian pemerintah juga membaik.

 

Warga masih menggunakan air Sungai Ake Tabobo, untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci.Air sungai sudah tercemar, berubah warna. Foto: AMAN Malut

 

Bajak aturan

Grahat Nagara dari Yayasan Auriga mengatakan, rencana aksi tak terlalu berhasil selama tiga tahun. KPK pun membantu pemerintah mengundang pakar berdiskusi menyusun kajian hukum.

Dia bilang, korupsi sumberdaya alam perlu ada kajian hukum karena dari pembelajaran KPK memperlihatkan, korupsi struktural justru dengan cara membajak peraturan perundang- undangan.

Peraturan perundang- undangan, katanya,   sengaja dibajak gunakan institusi pemerintahan. Peraturan yang dibajak sedemikian rupa pakai celah kelemahan, hingga jadi alat melakukan kejahatan.

Juga sengaja membangun regulasi atau peraturan sebagai instrumen agar aksi memungkinkan berjalan mulus tanpa hambatan.

KPK sendiri setidaknya telah mengkaji 86 sistem laporan administrasi pemerintahan. Dari kajian itu memperlihatkan, korupsi lebih banyak berhubungan dengan regulasi. Persoalannya, dampak buruk regulasi itu jadi beban publik.

Dia contohkan, kasus bawang putih mahal, dan pengusaha bisa untung berlipat-lipat.   “Kalau ditanya ke beberapa pengusaha, ternyata harga bawang putih tak sampai begitu mahalnya. Pengusaha sudah bisa untung dengan menjual harga bawang putih Rp12.000 perkilogram.”

Masalahnya, pengusaha harus membeli kuota impor kemudian harus menutupi “manipulasi anggaran.” Akhirnya, dengan menghitung biaya- biaya formal, kemudian pengusaha menaikkan harga kepada konsumen . Kenaikan harga itu tiga, lima bahkan sampai 10 kali lipat.

“Jangan dikira dalam kasus ini kerugian hanya berhubungan dengan fiskal negara, juga kehidupan masyarakat sehari-hari,” katanya.

Dalam kasus ini,   katanya, karena kolusi segelintir orang yang ingin mendapat bagian dari nilai ekonomi harga bawang putih, kemudian publik jadi korban.   Praktik sama juga terjadi untuk eksploitasi sumberdaya alam,   listrik, pertambangan, kehutanan, perkebunan sawit, perikanan dan lain-lain.

Grahat bilang, kajian kehutanan pada 2013, menunjukkan, di semua rantai pengurusan izin sektor kehutanan, ada suap. Suap capai Rp2 miliar per tahun per konsesi. Tidak itu saja, tiap tahun konsesi itu dikunjungi pejabat sampai 578 kali. Padahal, setahun hanya 365 hari.

Artinya, sehari setiap konsesi dikunjungi dua kali pejabat. Kunjungan para pejabat itu diongkosi perusahaan. Biaya urusan- urusan informal itu lebih mahal bahkan per tahun sampai Rp22 miliar.

Bagaimana perusahaan menutupi dana Rp22 miliar pertahun itu? Dia bilang, perusahaan membebankan kepada publik dengan cara mengambil hak-hak publik.

 

 

Keterangan foto utama:  Aksi protes keterancaman Hutan Ake Jira dari tambang nikel. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Perkebunan sawit di Gane, salah satu izin perkebunan skala besar di Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version