Mongabay.co.id

Nasib Harimau di Sumatera Utara Memprihatinkan

 

 

 

 

 

Harimau Sumatera luka terjerat, atau mati kena jerat, bak jadi cerita biasa terdengar di Sumatera, termasuk di Sumatera Utara. Setelah mati, harimau dikuliti, lalu bagian tubuh jadi barang dagangan di pasar gelap.

Hutan-hutan tempat hidup harimau makin tergerus, dan pakan yang berkurang, menyebabkan banyak harimau masuk ke perkebunan atau pemukiman warga. Konflik manusia dan harimau terjadi. Belum lagi, banyak permintaan hingga harga pasaran harimau dan organ tubuh tinggi, memicu perburuan terus berlanjut.

Pemerintah lewat Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara, di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengupayakan berbagai cara untuk penyelamatan harimau, seperti kerjasama dengan aparat penegak hukum baik Balai Pengaman dan Penegakan Hukum, KLHK Sumatera, TNI dan Polri. Juga, menggandeng tokoh masyarakat, lembaga pemerintahan maupun swasta, perusahaan, sampai Perbakin.

Aparatur pemerintahan desa hingga pemuda desa yang tinggal di dekat kawasan hutan juga dirangkul dan mendapatkan penyadartahuan mengenai harimau Sumatera.

BBKSDA Sumut juga operasi sapu jerat. Sumut masuk kategori darurat jerat yang membahayakan satwa liar dilindungi seperti harimau.

Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut mengatakan, aparat TNI dan Polri juga terlibat dalam operasi ini. Bahkan polsek dan koramil terjun langsung untuk penyisiran jerat.

 

 

Dalam aksi sapu jerat ini tim gabungan berhasil menghancurkan sekitar 180 jerat di hutan lindung Sibual-buali, di Tapanuli Selatan. Lokasi ini, salah satu habitat harimau Sumatera selain di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan Labuhan Batu Utara.

Hotmauli mengatakan, status harimau Sumatera, terancam punah hingga harus ada pencegahan sedini mungkin.

BBKSDA, katanya, akan menyampaikan kepada Perbakin agar tak ada lagi berburu satwa liar dilindungi, seperti harimau Sumatera.

Selain itu, katanya, mereka terus membangun komunikasi dengan aparatur desa dan masyarakat setempat. Kalau ada hal mencurigakan atau ada orang asing masuk berburu atau memasang jerat dengan alasan berburu babi, mereka bisa segera lapor ke petugas.

“Masyarakat jadi garda terdepan memberikan informasi dan pengawasan, karena mereka yang setiap berada di situ. Itu gunanya penyadartahuan. Agar lebih paham dan bisa membantu petugas melindungi satwa liar dilindungi termasuk harimau sumatera,” kata Hotmauli.

Beberapa kejadian dalam tahun 2019, terekam oleh BBKSDA Sumut, ada beberapa kasus konflik harimau dan manusia. Pada akhir November 2018, Januari 2019, dan 11 Februari-12 Maret 2019, ada harimau muncul berulang di pemukiman dan perladangan masyarakat dengan memangsa empat kambing.

 

Dokter hewan dari TNBG mengukur bagian kepala dan wajah harimau yang sudah tanpa kulit lagi karena diambil warga. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Pada 11 Februari 2019, Kepala Desa Batang, Parsumulan, berkirim surat ke BBKSDA menyatakan, ada indikasi harimau Sumatera memasuki pemukiman dan perladangan masyarakat sejak November 2018 hingga Februari 2019.

Petugas BBKSDA Sumut cek lokasi dan banyak jejak harimau serta memakan beberapa kambing maupun lembu. Petugas juga pasang dentuman untuk megusir satwa dan sosialisasi mitigasi konflik harimau.

Dari hasil identifikasi jejak-jejak harimau, diperkirakan jumlah satwa ini ada tiga, dua dewasa dan satu anak. Kamera pengintai pun dipasang di beberapa titik.

Selang sehari, di Kecamatan Kecamatan Siabu, Mandailing Natal, pada 12 Februari 2019, masyarakat bertemu langsung dengan harimau.

Kemudian, pada 14-21 Maret 2019, di Kecamatan Sosopan, Padang Lawas, tiga kambing milik masyarakat kena terkam.

Pada 13 Maret 2019, Andreas Simbolon, warga Desa Pagaran Bira Julu melaporkan kepada BKSDA Wilayah III lewat foto dan video kalau ada harimau dewasa mendatangi pemukiman dan perladangan masyarakat hingga ke kandang ternak. Kawasan itu, berada di hutan produksi.

Sebulan setelah itu, di Kecamatan Sibolangit, Deliserdang di Tahura Bukit Barisan pada 18-20 April 2019, warga melaporkan bertemu harimau dan ada jejak.

Tim BBKSDA Sumut mengecek bekas tapak sekaligus memberikan imbauan kepada masyarakat agar tak bertindak yang bisa bahayakan manusia dan harimau. Jejak identik dengan harimau Sumatera.

Pada 17 Mei 2019, di kebun karet milik Braji Hasibuan di Desa Siraisan, Palasseorang warga, Abu Sali Hasibuan tewas diduga diserang harimau Sumatera. Masih bulan sama, di Desa Hutaimbaru, Kecamatan Longonan, Padanglawas pada 30-31 Mei 2019, tampak harimau melintasi kebun warga dan tak memasuki pemukiman.

Namun, katanya, pada 23 Mei–2 Juni 2019, harimau memangsa ayam, tiga kambing dan satu kambing jantan hilang. Petugas pasang kandang jebak.

Di Desa Hutabargot, Kecamatan Sosopan, Padang Lawas, pada 10-16 Juli 2019, satu harimau tertangkap kandang jebak.

Kemudian, pada 28 November 2019, ada lima bangkai lembu diduga korban dari si raja hutan. Mendapat informasi ini, BBKSDA Sumut ke lokasi.

Mereka berkoordinasi dengan Kecamatan Batangtoru, kepolisian sektor dan koramil setempat, monitoring pergerakan, memasang kamera pengintai, mensterilkan lokasi konflik, dan penghalauan harimau dengan bunyian keras.

Konflik antara manusia dan harimau makin banyak terjadi. Ia juga berpotensi menggerus satwa langka ini karena membuka peluang jadi target buruan.

 

Polda Sumut membongkar jaringan perdagangan kulit harimau Sumatera. Fo: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dodi Arfah, Wildlife Trade Analyst Forum Investigator Zoo Indonesia punya catatan terhadap sejumlah kasus kematian harimau di Sumut. Seperti kasus di Hajoran, Desa Silantom Julu, Kecamatan Pangaribuan, Tapanuli Utara, daging dan bagian tubuh harimau dipotong-potong dan dibagikan ke warga kampung.

Satwa ini ditembak oknum polisi hingga mati. Kasus ini sudah tiga tahun lebih, katanya, tetapi tak jelas sampai sekarang.

“Jadi, harimau ini terkena jerat pemburu. Berontak mau lepas dari jeratan. Warga takut dan polisi mengeksekusi hingga tewas,” kata Dodi.

Di Desa Bankelang, Kecamatan Batang Natal, Mandailing Natal (Madina) juga begitu. Harimau sakit masuk perkampungan minta diobati malah ditembak polisi dan ditombak warga.

“Ini juga tak jelas kasusnya,” katanya.

Belum lagi, kasus jerat si Gadis, harimau Sumatera yang terkena jerat terpaksa satu kaki diamputasi. Lalu kasus Monang, harimau Sumatera terjerat di hutan Parmonangan juga tak terungkap.

Di Padang Lawas, harimau kena racun dan mati, di Labuhan Batu Utara juga mati kena jerat dan ditombak. “Tak ada pengusutan. Semua mengendap begitu saja.”

Dia mempertayakan kelanjutan kasus-kasus kematian harimau itu. “Kapan diungkap? Semua warga Indonesia sama di mata hukum, jadi jangan tebang pilih. Jangan berani cuma menyidik petani dan tukang sate aja,” kata Dodi.

 

Tak jera

Dodi juga menyayangkan, kasus-kasus yang naik ke pengadilan, pelaku hanya mendapatkan hukuman ringan, tak ada efek jera.

Dia contohkan, kasus terbaru di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat. Pelaku perdagangan dua lembar kulit harimau Sumatera dan satu tengkorak kepala, hanya mendapatkan hukuman delapan bulan penjara.

“Vonis tak ada sampai hukuman maksimal, lima tahun penjara denda Rp100 juta. Belum lagi, kalau dikasih denda Rp100 juta pada tahap tuntutan tetapi subsider cuma tiga hingga enam bulan. Begitu juga saat vonis, hukuman rendah, denda rendah. Bagaimana bisa ini mampu membuat jera?”

Dia juga mendesak revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No 5/1990 dengan menetapkan hukuman minimal.

 

Kepala harimau Sumatera, hasil buruan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version