Mongabay.co.id

Hutan Gambut, Benteng Alami Tsunami yang Tidak Diperhitungkan

 

 

Masyarakat Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, punya pengalaman tak terlupakan akan tsunami yang menghantam Aceh keseluruhan, 26 Desember 2004 silam. Bencana dahsyat itu, meski menghantan Nagan Raya, namun sebagian besar wilayah itu selamat. Sementara di tempat lain menghancurkan sejumlah kabupaten/kota di Aceh.

Hutan gambut Rawa Tripa, sebagai benteng alami, berperan penting meredam terjangan air tersebut.

“Kalau tidak ada hutan gambut Rawa Tripa, mungkin kerusakan akibat tsunami di Nagan Raya akan lebih parah. Hutan gambut ini menyelamatkan kami,” sebut Kamaruddin, warga Nagan Raya.

Baca: PLTD Apung, Jejak Tsunami Aceh yang Kini Menjadi Objek Wisata Bersejarah

 

Museum Tsunami Aceh, bukti sejarah dahsyatnya bencana yang terjadi pada Desember 2004 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana peranan hutan gambut sebagai benteng tsunami?

Peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center [TDMRC] Aceh dan Dosen Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala, Ibnu Rusydy, mengakui hutan gambut mampu menjadi benteng dari bencana tsunami.

“Benteng yang dimaksud adalah hutan gambut dengan pepohonan yang bagus mampu meredam kekuatan dan kecepatan tsunami. Selain itu juga dapat menurunkan ketinggian air karena terhalang pepohonan,” ujar Ibnu yang rutin melakukan kajian gempa dan tsunami di Aceh dan berbagai daerah Indonesia.

Ibnu mengatakan, pepohonan lebat di pinggir pantai sangat penting keberadaannya. “Apalagi tumbuhan atau pepohonan itu tumbuh alami berbentuk hutan,” sambungnya.

Namun, saat ini sebagian hutan gambut di Aceh mulai rusak akibat ekspansi perkebunan, khususnya sawit. “Kerusakan ini terjadi mulai Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam,” terangnya, Rabu [25/12/2019].

Di Aceh, gambut yang kedalamannya kurang 100 sentimeter hingga lebih 300 sentimeter didominasi gambut saprik dan hemik dengan luas total 267.150 hektar. Hutan gambut ini tersebar di enam kabupaten dan satu kota yang terletak di pantai barat selatan Aceh yaitu, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.

Baca: Mencermati Kondisi Mangrove 11 Tahun Pasca Tsunami Aceh

 

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perambahan

Monalisa, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dan Ketua Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, pada 24 Desember 2019 menyatakan, meskipun secara umum hutan gambut di Aceh masih alami, namun perambahan untuk perkebunan khususnya sawit terus terjadi.

“Peluang untuk diperbaiki ada, hanya kemauan untuk melakukannya,” jelas pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh.

Monalisa mencontohkan, hutan gambut Rawa Tripa yang sebagian besar masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. “Ancaman utamanya perambahan, termasuk oleh perusahaan pemegang hak guna usaha [HGU]. Bahkan, di kawasan yang dikuasai HGU ditemukan ada kubah gambut.”

Baca juga: Rawa Tripa yang Tidak Lagi Bersahabat untuk Orangutan Sumatera

 

PLTD Apung, menunjukkan betapa dahsyatnya kejadian tsunami. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Akibatnya, karena Rawa Tripa dikeringkan untuk dijadikan lahan perkebunan, tanahnya mulai turun. Berdasarkan penelitian, setiap tahun turun hingga lima sentimeter dan besar kemungkinan akan tenggelam karena lebih rendah dari laut.

“Hutan gambut masih dianggap tidak produktif, sehingga harganya sangat murah. Ini yang membuat perusahaan tertarik mengelola, selain izinnya mudah dan wilayahnya belum terfragmentasi,” ungkapnya.

Belum lagi, Aceh jika dibandingkan daerah lain, masih tertinggal dalam pengelolaan gambut lestari, termasuk belum memiliki peta detil. Padahal, banyak tumbuhan bernilai ekonomi tinggi tumbuh seperti sagu dan lannya yang tidak merusak seperti sawit.

“Pemerintah Aceh harus berpikir mengelola gambut lestari, sehingga masyarakat yang tinggal di sekitarnya bisa sejahtera,” ujarnya.

 

Peta tutupan hutan Rawa Tripa hingga September 2018. Sumber: HAkA

 

Tutupan hutan berkurang

Data analisis Geographic Information System [GIS] yang dibuat Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] memperlihatkan tutupan hutan di Rawa Tripa berkurang setiap tahun.

Tutupan hutan tersisanya pada Desember 2016 mencapai 6.200 hektar. Perhitungan ini berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001 tentang Pengesahan Batas KEL Daerah Istimewa Aceh.

Namun, Desember 2017, tutupan hutan Rawa Tripa tersisa menjadi 5.824 hektar atau berkurang 376 hektar. Hal yang terjadi pada Desember 2018, luas tutupannya sekitar 5.437 hektar.

Nasib serupa terjadi di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam. Berdasarkan surat Keputusan Nomor: 103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015, luasnya mencapai 81.802,22 hektar.

Berdasarkan data HAkA pada 2016 deforestasi di Suaka Marga Satwa Rawa Singkil mencapai 219 hektar. Pada 2017 kerusakannya 520 hektar, di 2018 sebesar 126 hektar, sementara Januari-April 2019 sudah 17 hektar hutan yang rusak.

 

 

Exit mobile version