- Di Pulau Para, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara terdapat tradisi bahari yang unik yaitu tradisi menjaring ikan menggunakan alat tangkap tradisional Seke. Tradisi Seke yang ramah lingkungan ini mempunyai nilai sosial sangat tinggi yaitu kebersamaan warga Pulau Para untuk menangkap dan membagi hasil tangkapan ikan secara merata kepada seluruh warga.
- Tradisi Seke mulai ditinggalkan pada 2003 sejak peristiwa perebutan lokasi pencarian ikan di Pulau Sanggeluhang yang menewaskan 5 warga dan 1 orang anak kecil. Kemudian diterbitkan SK Bupati untuk mengatur penangkapan ikan.
- Tradisi Seke mulai ditinggalkan karena produksi tangkapan ikan sangat sedikit dibandingkan menggunakan alat tangkap ikan yang lebih modern.
- Untuk membantu kesejahteraan nelayan Kepulauan Sangihe Talaud, pemerintah menertibkan rumpon ilegal milik nelayan Filipina, penegakan hukum terhadap kapal ikan ilegal Filipina, memberi bantuan kapal dan alat tangkap ikan kepada nelayan Sangihe Talaud, serta kartu nelayan dan asuransi nelayan
- Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari dua tulisan. Tulisan pertama bisa dibaca disini
Sebagian besar warga di Pulau Para Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe mengingat tradisi Seke Maneke mulai ditinggalkan pada tahun 1999. Secara menyeluruh di Pulau Para, akhir eksistensi Seke pada tahun 2003 ditandai dengan pergolakan antara nelayan Pulau Mahengetang dan Pulau Para memperebutkan lokasi pencarian ikan di Pulau Sanggeluhang. Peristiwa ini mengakibatkan terbunuhnya 5 orang dan seorang anak kecil terbunuh di Pulau Sanggeluhang.
Sejak peristiwa itu diterbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor 65 berisi pembagian waktu menangkap ikan di Sanggeluhang. Jadwal penangkapan ikan yang diatur dalam SK 65 itu adalah dimana nelayan Pulau Para mendapatkan waktu 3 bulan menangkap ikan dan Pulau nelayan Mahengetang juga mendapat waktu 3 bulan, dan 6 bulan berikutnya adalah masa konservasi.
Elengkey Nesar, mantan Kepala Desa Para mengungkapkan perwakilan dari Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah datang dan mengatakan siap membiayai bila ada masyarakat yang ingin melaksanakan Seke, “Namun begitu hingga sekarang belum ada tindaklanjutnya” kata Elengkey yang 15 tahun pernah menjadi Kepala Desa Para itu yang ditemui Mongabay Indonesia pada Kamis (12/12/2019).
baca : Matinya Tradisi Bahari ‘Seke-Maneke’ di Kepulauan Sangihe [1]
Sedangkan Richard Hamel, Pjs. Kepala Desa Para mengatakan pihak KKP pernah datang untuk melakukan penelitian dan pernah menyepakati akan membiayai dihidupkannya lagi tradisi Seke. Namun sampai sekarang belum terwujud. Hamel mengatakan memang butuh sumber daya yang cukup besar dalam melaksanakan Seke.
“Kalau cuma dipakai sebagai ikon budaya atau festival masih bisa. Tapi hanya miniaturnya mungkin, sebab itu melibatkan masyarakat banyak. Jadi ada dua armada untuk memuat Seke itu, dan orang-orangnya ada banyak dan didukung dengan belasan perahu Londe. Setiap Perahu Londe itu ada sampai tiga orang di dalamnya, ada juga sampai lima. Jadi itu pertimbangannya untuk generasi sekarang, itu sangat besar biayanya. Kalau dihitung sekarang ini, harga perahu Londe sampai Rp5-6 juta. Apalagi ini kita membutuhkan kurang lebih 10 perahu,” jelas Hamel.
Sementara itu, Prof. Dr. Frans G. Ijong, pakar perikanan Sulawesi Utara menjelaskan kehadiran Seke menjadi simbol kesadaran intelektual masa lalu orang-orang Sangihe dalam mengembangkan sebuah alat yang efektif dalam menangkap ikan, yang juga ramah terhadap lingkungan khususnya laut.
“Prinsip Seke hampir sama dengan jaring yang digunakan hari ini. Tujuannya adalah untuk efektifitas menangkap ikan. Hanya di masa lalu, orang Sangihe tidak punya teknologi membuat benang jaring. Akhirnya mereka berfikir menganyam bambu,” kata Ijong, Senin, (16/12/2019).
Direktur Politeknik Negeri Nusa Utara itu menambahkan tidak semua ikan yang dapat terjaring dengan menggunakan alat Seke. Adapun ikan-ikan yang dapat ditangkap hanya ikan Malalugis, Tude, atau ikan-ikan jenis Pelagis. Oleh karena itu memang menurutnya Seke tidak dioperasikan di daerah karang, sehingga dikategorikan aman untuk kelestarian karang.
“Dia memang tidak dioperasikan di daerah karang. Tetapi ketika dia menarik ikan dari laut, dia akan melawati daerah karang. Kemudian sesudah itu dia akan di bawah ke pasir dan ikan itu akan dijaga. Jadi kalau ditanya tentang apakah tradisi Seke bisa menjaga kelestarian lingkungan, bisa karena dioperasikan tidak di dasar laut, tetapi di permukaan,” jelasnya.
baca juga : Liputan Sangihe : Di Pusat Ikan, Tapi Jauh dari Pusat Perikanan, Nasib Nelayan Tidore (Bagian 3)
Ijong melihat tradisi menangkap ikan dengan Seke mulai ditinggalkan karena kemajuan zaman yang memang menuntut produktivitas. Kemajuan teknologi penangkapan ikan tidak terbendung sehingga alat tangkap tradisional Seke hasil kreativitas dan inovasi orang Sangihe masa lalu hanya menjadi ikon ritual saja.
“Jadi terkikisnya tradisi menangkap ikan menggunakan alat tangkap tradisional Seke hari ini karena memang produktivitasnya untuk sekarang rendah sekali. Karena orang cenderung sakarang menggunakan alat tangkap jaring dan lain sebagainya. Jadi kalaupun Seke hari ini masih ada itupun tinggal ritual yang dilakukan untuk mengingat bagaimana peradaban orang Sangihe di masa lalu. Tetapi jika hari ini itu dipakai untuk dalam hal produksi penangkapan ikan, itu sudah ketinggalan,” ungkapnya
“Satu pesan dari tradisi Seke yang paling positif adalah orang Sangihe masa lalu itu kreatif, inovatif pada masa itu, karena dapat membuat alat tangkap ikan dari bilah bambu. Apakah bambu kecil yang itu ataupun bambu yang dibelah. Yang kedua, mereka mengambil sumber daya ikan itu secukupnya. Ketiga ada sisi sosial. Seke itu tidak bisa dioperasikan sendiri tapi dioperasikan secara bersama-sama. Namun sisi ekonominya untuk hari ini, barangkali tidak efisien,” jelasnya lagi.
menarik dibaca : Liputan Sangihe: Tepatkan Dagho Jadi Sentra Perikanan? (Bagian 2)
Konflik Perairan Perbatasan
Budayawan Sulawesi Utara, Iverdixon Tinungki juga mengungkapkan salah satu faktor matinya tradisi Seke-Maneke karena kehadiran rumpon (ponton) yang terpasang di laut Kepulauan Sangihe-Talaud.
“Rumpon memang menjadi salah satu cara membunuh ekonomi kehidupan nelayan Pulau. Aktivitas Seke di Para itu tentu salah satunya karena ikan-ikan jenis pelagis sudah terhalang oleh rumpon ketika mau masuk ke perairan pulau-pulau. Tak hanya itu, kehilangan Seke-Maneke, tidak serta merta hanya kehilangan tradisi menangkap ikan, tetapi yang lebih besar adalah kehilangan sistem sosial budaya yang pernah melekat dalam aktivitas keseharian masyarakat di sana,” ungkap Tinungki.
Hal itu dibenarkan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Jasip M Manganang, yang kerap menyuarakan terkait persoalan rumpon (ponton) di wilayah pengelolaan perairan (WPP) 716 di berbagai kesempatan.
“Pada jarak 20 mil, kita sudah terpagar dengan ponton-ponton. Jadi diharapkan itu dihapuskan. Dulu ikan tuna jarak 4 mil bisa masuk kemari. Sekarang tertahan di 8 mil. Itupun hanya rembesan saja. Sedangkan kebijakan yang mengatur (pengelolaan perairan) 0-12 mil itu kewenangannya provinsi, 12 mil ke atas kewenangan pemerintah pusat. Jadi pusat yang mengeluarkan ijin. efek ini bisa diperhitungkan kedepannya, kita bisa kehilangan ikan. Kondisi ini memungkinkan terjadi kesalahpahaman di laut antara pemilik ponton dan nelayan kecil,” ungkap Manganang, saat diwawancarai Selasa (17/12/2019).
perlu dibaca : Perairan Laut Sulawesi Utara Lokasi Favorit Pemasangan Rumpon Ilegal
Hal itu dibuktikan dengan dengan keberhasilan Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tahuna ketika mengamankan 12 unit ponton milik nelayan Filipina di WPP 716 Sulawesi Utara, pada Rabu (20/11/2019). Posisi WPP 716 yang berbatasan dengan Filipina ini menjadi lahan penangkapan ikan oleh nelayan negara tetangga itu.
Kepala Stasiun PSDKP Tahuna Johanis Rio Medea menjelaskan semua rumpon yang diamankan oleh Kapal Pengawas (KP) Hiu 15 itu tidak memiliki izin. Bahkan rumpon itu dipasang di perairan Indonesia berjarak 2-5 mil dari perbatasan Indonesia-Filipina. Sebelumnya KP Hiu 15 Stasiun PSDKP Tahuna menangkap dua unit kapal ikan asing (KIA) Filipina dengan empat unit rumpon yang dipasang di perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia Laut Sulawesi WPP-NRI 716 perbatasan Indonesia-Filipina pada Jumat 24 Mei 2019.
Kebijakan moratorium perizinan kapal asing oleh Pemerintah Indonesia memang dirasakan positif oleh nelayan Kepulauan Sangihe dengan meningkatnya ekspor ikan tuna dari wilayah itu.
“Karena dengan moratorium itu, data dari karantina, produksi khusus ikan tuna sebanyak 320 ton pada bulan Juni 2018. Kemudian naik lagi di tahun 2019 menjadi 632 ton,” ungkap Manganang.
baca juga : Menjadikan Sulawesi Utara sebagai Provinsi Tuna, Bagaimana Caranya?
Bantuan Kapal dan Asuransi
Selain dari meningkatnya produksi perikanan, pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terus berinovasi dengan memberikan berbagai paket bantuan untuk mendukung produktivitas nelayan. Di antaranya di awal tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe memberikan bantuan perahu jenis Pamo sebanyak lima unit, 49 unit mesin katinting 5,5 PK, lima unit mesin katinting 13 PK dan lima unit freezer kepada masayarakat nelayan di Sangihe, Selasa, (12/2/2019).
Selanjutnya pada Rabu (11/12/2019) kembali diserahkan bantuan 30 unit kapal perikanan jenis pumboat kepada kelompok nelayan Sangihe, dan di susul pada Jumat (20/12/2019) diserahkan 13 paket perahu jenis pamo hand line di Kampung Dagho Kecamatan Tamako, lengkap dengan alat tangkap berupa tali hand line, cool box, dan dilengkapi alat navigasi kompas basah, lampu jalan, lampu tanda otomatis serta life jacket.
Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, Jabes Ezar Gaghana ketika diwawancarai Jumat (20/12/2019) mengatakan pengelolaan paket bantuan untuk individu dan bantuan kapal untuk kelompopk itu itu diharapkan dapat menopang pendapatan keluarga nelayan.
“Intinya perahu bantuan yang diberikan untuk masyarakat nelayan tersebut, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah bagi warga nelayan. Jadi saya menegaskan untuk yang kelompok penerima pemanfaatannya harus dilakukan secara bersama, serta tidak ada saling klaim karena perahu bantuan itu milik bersama dan digunakan secara bersama pula,” kata Jabes.
Tak hanya itu, masyarakat nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe juga difasilitasi dengan asuransi nelayan oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) yang ditanggung oleh KKP. Pada 2019, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe merekomendasikan asuransi nelayan sebanyak 976 orang yang memegang Kartu Pelaku Usaha Perikanan dan Kelautan (Kusuka). Jumlah itu tergolong memuaskan sebab di tahun-tahun sebelumnya hanya mendapatkan kuota asuransi untuk 750 orang.
“Batasan umur dalam pengusulan asuransi ini 65 tahun. Asuransi ini berlaku satu tahun. Kalau di tahun lalu ada peraturan dari KKP yang sudah menerima asuransi nelayan, tidak boleh diusulkan lagi. Jadi harus ikut mandiri. Yang mandiri itu, kalau sudah ada kartu Kusuka, dia daftar sendiri di Jasindo, sebab kerja sama dengan Jasindo membayar Rp160 ribu/tahun. Tapi kalau sekarang dari KKP yang bayar, dari KKP berikan kerja sama dengan Jasindo hanya membayar Rp140 ribu/tahun,” jelas Olga Salaa, Kepala Seksi Pendayagunaan Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Wisata Bahari, DKP Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Masyarakat nelayan mengapresiasi keberpihakan pemerintah dalam mendukung produktivitas nelayan di Kepulauan Sangihe. Diantaranya Dikson Makalikis, nelayan asal Pulau Tatoareng. “Kali ini kami memang benar merasakan sentuhan pemerintah dalam mendukung kami warga nelayan. Perahu ini sangat-sangat membantu, sebab sesungguhnya ini akan dapat saya pergunakan dengan baik,” ungkapnya.
***
*Agrendy Saselah, jurnalis website berita Barta1.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia