Mongabay.co.id

Rinjani Harus Tetap Terjaga di Tengah Ramai Kunjungan Wisata

Jalur antara Pos III menuju Pos IV. Tampak sisa kebakaran dan tanaman rumput yang mulaii tumbuh. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

“Hati-hati, jangan terlalu ke pinggir jurang. Kalau jatuh, akan terus meluncur sampai kawah,” kata Abdul Haris Agam, mengingatkan kami kala mendaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dia tahu, rute ini tak bisa menurunkan kewaspadaan.

Agam, seorang pendaki gunung dari Makassar. Tahun 2011, dia ke Lombok dan bermain di Rinjani. Beberapa tahun meninggalkan Lombok kembali lagi aktif pada 2014. Perjalanan bersama kami kali ini kali ke-90 menapak puncak.

Kami berada di ketinggian hampir 3.000 meter dari permukaan laut. Di jalur ini, semua batu kerikil dan pasir, tak ada pohon.

Jurang-jurang menganga dan bertemu di kawah yang membentuk danau Segara Anak serta gunung api aktif, yang dikenal dengan Gunung Baru Jari atau Anak Rinjani.

Kami memulai perjalanan di camp terakhir, Pelawangan, pukul 03.00 dini hari. Dua rekan pendaki lain, Anugrah dan Joko Hatta, juga tiba.

Anugrah pada 2015, sudah mencapai puncak Rinjani. Joko Hatta belum pernah, ini kali pertama menapak Rinjani, sama seperti saya.

“Kenapa?” kata Joko.

“Saya ampun. Kayaknya mau balik mi,” kataku.

“Saya juga. Berat sekali,” jawab Joko.

Aii, rugi. Itu sudah dekat sekali. Hanya tinggal setengah jam,” kata Anugrah.

Kami lalu memutuskan menapak kembali jalur yang melelahkan. Di jalur yang mereka namakan Letter S, kami dihantam panas. Mata memicing, tetapi udara tetap dingin. Pukul 11.00 siang kami tiba di puncak. Sebuah tempat sempit dengan bebatuan lepas.

Di bagian lain di puncak, ada kawah dalam. Warna kuning dan berbau belerang. Inilah kawah yang fenomenal itu. Kawah ketiga, di mana orang-orang ingin melihat. Dua kawah lain berada di Gunung Baru Jari.

Kawah Gunung Baru Jari dan Danau Segara Anak, adalah kesatuan dari struktur Rinjani. Danau Segara Anak, berada pada ketinggian 2.008 meter. Ia danau kaldera dengan gunung api aktif tetinggi di dunia.

Heryadi Rachmat, Perekayasa Utama Museum Geologi, dalam Majalah GeoMagz, Mei 2014 mencatat, morfologi Rinjani saat ini mulai pada kala plitosen sekitar satu juta tahun lalu. Masa itu, Rinjani Tua yang dikenal dengan nama Samalas berangsur aktif dan bertumbuh.

 

Gunung Rinjani, bekas kebakaran lalu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketika kawah Samalas tersumbat, terjadi letusan dan membentuk kaldera dengan diameter 7,5 x 6 km dengan kedalaman bibir sampai dasar sampai 750 meter. Lestusan besar Samalas pada tahun 1200 sampai 1300 (abad 13) ini terjadi dengan rentang 13-22 jam. Letusan itu menjangkau jarak 660 kilometer. Letusan inilah yang menyisakan kerucut gunung setinggi 3.726 meter yang dikenal dengan Rinjani kini.

Kami hanya sekitar 10 menit di puncak. Selain karena ada longsoran material jatuh menuju kawah, sensasi puncak memang tak lebih dari 15 menit.

Apa yang membuat orang berpikir terus melaju dan ingin menaklukkan puncak-puncak gunung? “Itu susah sekali jawabnya. Saya juga bingung menjawabnya,” kata Agam.

 

Menjaga Rinjani

Gunung Rinjani, masuk kawasan konservasi. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, cukup dikenal di Indonesia. Kami menapak jalur Rinjani dari Sembalun. Berjalan kaki melewati savana menuju Pos III. Melewati rumput yang mulai bertumbuh karena kebakaran pada Oktober 2019 sampai 2.557 hektar.

Savana terhampar luas, bergelombang di sepanjang bukit. Ketika kami berjalan sekitar 20 menit melintasi rumput, seekor rusa berlari cepat. Tak semua pendaki bisa menikmati rusa melintas.

Sejak Juni-19 Desember 2019, Rinjani dikunjungi 15.662 pendaki, sebanyak 12.250 orang dari mancanegara. Sekitar 3.412 orang dari dalam negeri. Jumlah ini bisa lebih dari itu, karena sejak gempa Lombok 2018, Rinjani dinyatakan ditutup hingga Juni. Pada Oktober tutup kembali beberapa pekan karena kebakaran.

Pendakian ke Rinjani juga masih terbatas hanya sampai Pelawangan, tak boleh menapak hingga ke puncak. Puncak masih tertutup hingga Maret. Januari-Maret adalah musim hujan, dan gunung itu benar-benar ditutup.

Resminya, ada empat jalur buat pendaki menuju Rinjani, yakni, Sembalun, Senaru, Aik Berik, dan Timbanuh. Di lapangan, ada puluhan jalur dibuat mandiri. Pintu-pintu jalur itu bukanlah gerbang resmi.

Jumlah pengunjung inilah diduga penyebab rusa mulai sulit. Ketika di Pelawangan dan berbicara dengan beberapa guide, mereka tak bisa menjelaskan kekayaan alam Rinjani. Mereka hanya tahu mengantar tamu sampai ke puncak.

Padahal dari Pos II hingga Pelawangan, saya menyaksikan beragam burung melintas dan berbunyi menemani pendaki. Ada pula beberapa jenis serangga, hingga tak kalah unik adalah formasi batuan yang menopang Rinjani.

Lapisan-lapisan tanah longsor, menyisakan tebing rapuh, memperlihatkan bagaimana struktur penopang gunung itu. Ada pasir berwarna coklat, hitam, hingga kelabu. Ia seperti melihat kue lapis legit. Di Pos III, para pendaki disambut gerombolan monyet dengan bulu lebat. Monyet ekor panjang (Macaca fascicular). Monyet ini tak takut lagi dengan manusia. Mereka bahkan mendekat dan dapat merampas makanan.

Monyet-monyet itu dengan telaten mencari sisa nasi pendaki. Mengubek-ngubek tumpukan sampah, makan apa saja bahkan tisu bekas membersihkan sisa makanan.

Lalu Umar, pemandu wisata yang menemani perjalanan kami, bilang, kalau monyet itu makin tak terkontrol. “Kalau tenda ditinggalkan, monyet itu bisa merobek, dan mencuri apa saja,” katanya.

Dedy Asriady, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, bilang, sebuah pekerjaan rumah yang berat karena rantai ekosistem mulai rusak. Kebiasaan pengunjung Rinjani memberikan makanan kepada monyet jadikan hewan itu tergantung.

“Kita belum tahu, bagaimana kelak monyet-monyet itu beradaptasi kembali. Makanan yang tak sehat yang terus dikonsumsi dari pengunjung bisa saja menimbulkan penyakit,” katanya.

 

Ekor panjangdi Pelawangan mencabut rumput muda dan memakan bagian batangnya. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

2020 catat sampah

Bagi Dedy, Rinjani adalah kekayaan alam, baik dari flora fauna, hingga geologi. Untuk itu, pada 2020, eRinjani, aplikasi registrasi online akan terintegrasi dengan asuransi dan penanganan sampah.

“Jadi akan pencatatan barang bawaan, naik dan turun. Bagi pelanggar, tentu saja akan mendapatkan sanksi.”

Di Pelawangan, pada Desember 2019, ada puluhan tenda berjejer. Sisa-sisa makanan, tak habis para pendaki akan dibuang ke sembarang tempat. Monyet-monyet itu akan bergerumul memungut mie instan, nasi, hingga tulang ayam.

“Ini salah satu sisi negatif pariwisata,” kata Agam.

“Berarti kamu termasuk di dalamnya yang merusak, karena menjadi pengantar tamu,” kata saya.

“Benar, he..he…he…he… Mungkin ke depan, Rinjani harus memberlakukan sistem kuota tamu per bulan atau per tahun,” kata Agam.

Balai Taman Nasional Gunung Rinjani mencatat, sepanjang jalur pendakian, ada 45 jenis burung yang dapat diamati dengan mudah, seperti pipit benggala (Amandava amandava). Burung kecil ini bermain di rerumputan dan terbang bergerombol. Di Pos III, jalur Sembalun, rombongan burung kecil berukuran 12 sentimeter ini begitu dekat shelter posko.

Saya menyaksikan sendiri Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus) di antara jalur Pos II menuju Pos III.

Informasi lain dalam buku catatan taman nasional terdapat burung alap-alap Cina (Accipiter soloensis), burung migran dari belahan bumi utara, yang mengunjungi Indonesia pada November hingga Desember. Sayangnya tak ada penjelasan, mengapa burung ini migrasi ke Rinjani.

Ketika berada di puncak, sepasang kacamata gunung (Zosterops montanus) bermain dan melintas dekat kepala saya. Dalam catatan Taman Nasional, burung kecil berwarna kuning dengan lingkaran putih di bulatan matanya itu, hanya ditemukan pada ketinggian 900 hingga 2.800 meter. Sementara puncak gunung itu mencapai 3.726 meter.

Di tempat registrasi pendakian menuju Rinjani di Sembalun, petugas taman nasional hanya memastikan usia pendaki dan jumlah. Tak ada pendataan mengenai makanan hingga informasi lain mengenai kekayaan biodiversiti kawasan konservasi itu.

Sepanjang jalur pendakian dari Sembalun, banyak sampah berserakan, mulai plastik makanan, sampai botol minuman.

Anugrah lebih awal mencapai Sembalun. Agam dan Pia berjalan jauh di belakang. Saya bersama Joko Hatta dan Lalu Umar, terus menapak pulang dengan lutut hampir copot. Saya meringis di setiap jalur turunan. Berupaya menjaga semangat, sambil mengucapkan selamat Hari Gunung Internasional, 11 Desember.

 

 

Keterangan foto utama:  Jalur antara Pos III menuju Pos IV. Tampak sisa kebakaran dan tanaman rumput yang mulaii tumbuh. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Ojek motor dari kampung terakhir menuju Pos II GUnung Rinjani. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version