Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun dari Maluku Utara: Hidup Paruh Bengkok Terus Terancam

 

 

 

 

 

Sebuah tugboat, rute Pulau Buru Ambon-Belawan, sedang menarik tongkang bermuatan kayu batang di Perairan Belawan, Sumatera Utara, 13 April 2019.

Ia tampak seperti tugboat, biasa. Ternyata, tugboat bermuatan seorang nahkoda dan tujuh anak buah kapal ini punya ‘dinding rahasia’ yang di baliknya ruangan kosong tempat menyimpan puluhan paruh bengkok dari Maluku Utara.

Petugas mencium trik para penyelundup ini dan membekuk mereka. Itu hanya salah strategi kala para penyelundup ingin membawa keluar satwa endemik Maluku ini ke berbagai daerah, seperti ke Sumatera Utara itu. Berbagai upaya mereka lakukan, baik jalur darat, laut, udara, bahkan cara-cara kejam dilakukan, seperti memasukkan paruh bengkok ke dalam botol.

Beragam paruh bengkok dari Maluku Utara, hidup dalam keterancaman. Daerah ini bisa disebut surga bagi pemburu dan pebisnis endemik paruh bengkok nan eksotik baik yang dilindungi maupun yang tidak.

Dengan wilayah luas dan sebagian besar perairan, memungkinkan jadi jalur-jalur rawan penyelundupan. Belum lagi, aparat terbatas membuat pengwasan terbatas bahkan tak terjangkau.

Daerah-daerah di Maluku Utara, seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur bahkan Tidore Kepulauan dan Halmahera Tengah, marak perburuan, perdagangan dan penyelundupan paruh bengkok.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Maluku-Maluku Utara mengakui, kendala wilayah kerja luas membuat pengawasan sangat sulit. Sementara pintu masuk dan keluar banyak, terutama bandara dan pelabuhan laut. Akses terbuka ini lebih sulit terpantau dan membuat penyelundupan makin rawan.

Awal Desember 2019 ini, sejumlah satwa endemik Maluku dan Maluku Utara juga dipulangkan oleh BKSDA Sulawesi Utara (Sulut).

 

Paruh bengkok Maluku yang berupaya diselundupkan menggunakan tugboat ke Sumatera Utara, lewat Perairan Belawan, Medan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dari laman resmi BKSDA Maluku, menyatakan, satwa- satwa itu bagian dari penyerahan satwa liar endemik Maluku-Maluku Utara (Malut), oleh BKSDA Sulut.

Satwa liar itu masing-masing diserahkan ke Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, ada 23 burung dengan rincian empat kakatua putih (Cacatua alba), enam nuri kalung ungu (Eos squamata) dan 13 kasturi Ternate (Lorius garrulus).

BKSDA Sulut juga menyerahkan empat yaki (Macaca nigra), 10 kakatua Maluku dan enam kakatua Tanimbar kepada BKSDA Maluku.

Untuk yaki, karena penangkapan dari Bacan, Malut, langsung dibawa ke Resort Bacan untuk habituasi persiapan pelepasliaran di Cagar Alam Gunung Sibela, Pulau Bacan, Halmahera Selatan.

Untuk 10 kakatua Maluku dan enam kakatua Tanimbar, masih kandang Transit Passo. Juga 10 kakatua Maluku akan masuk rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Satwa Masihulan. Untuk enam kakatua Tanimbar segera lepas liar ke habitat asli di Kepulauan Tanimbar.

Dari mana asal-usul burung-burung itu? BKSDA mengatakan, satwa hasil sitaan, temuan, dan penyerahan masyarakat di wilayah kerja BKSDA Sulut.

Sebelumnya, satwa perawatan di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki. Untuk empat yaki merupakan hasil penyerahan masyarakat di Kota Ternate kepada petugas Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Maluku dan dititipkan di PPS Tasikoki.

Mohtar Amin Ahmadi, Kepala BKSDA Maluku-Maluku Utara mengatakan, sebagai kepulauan, Maluku dan Maluku Utara, memiliki banyak pintu masuk dan keluar, terutama pelabuhan laut dan udara. Ada 45 pelabuhan resmi, 21 di Maluku dan 24 Maluku Utara. Ada juga 15 bandara di Maluku dan sembilan di Maluku Utara.

Dari begitu banyak pintu masuk dan keluar itu, katanya, sulit mereka mengawasi sendiri. Untuk itu, perlu sinergitas semua pihak, dalam menyelamatkan paruh bengkok dari perburuan, pencurian, pengambilan serta perdagangan.

Khusus Maluku Utara, katanya, terbilang sangat rawan satwa liar ke luar negeri. Kasus pernah ditangani BKSDA, upaya penyelundupan ke Filipina melalui Pelabuhan Bitung, lalu ke Davao.

Menurut Amin, ada beberapa modus, seperti warga lokal menangkap dan menjual kepada orang-orang yang sudah diberi modal oleh jaringan mereka. Setelah itu, pemilik modal mengumpulkan burung-burung di suatu tempat penampungan. Selanjutnya, dijemput dengan kapal. Burung-burung selundupan juga ditempatkan di berbagai wadah, seperti kandang besar, botol air mineral besar, bahkan dalam pipa paralon.

Penyelundupan lewat laut, katanya, banyak jalur tikus atau pelabuhan tak resmi. Para penyelundup biasa pakai kapal, tugboat maupun kapal kayu kecil.

Penangkapan tambah sulit, kala mereka bertransaksi di laut. Ada yang melalui laut Morotai sebelum sampai Filipina, bertransaksi di pulau kosong dekat Filipina. Ada juga ke Bitung, lalu Davao dan dibawa ke kota lain di Filipina.

Menurut dia, penyelundupan paruh bengkok ke Filipina, tak hanya dari Maluku dan Maluku Utara, juga Papua Barat, terutama kakatua raja dan kakatua kepala hitam. BKSDA menangani dua kasus penyelundupan burung ke Filipina.

 

Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. Foto: Grace Ellen/Burung Indonesia

 

Dari kasus-kasus ini, kata Amin, harus ada penyelesaian di hulu, yakni, masyarakat perlu mendapatkan penyadaran agar tak menangkap dan jual beli satwa endemik.

Pemerintah, katanya, juga perlu memperketat jalur ke luar, terutama pelabuhan dan bandara. Pengetatan juga perlu di hilir, terutama pembeli maupun pecinta burung.

Saat ini, kata Amin, BKSDA membuat kesepakatan dengan para pihak guna mendukung pemberantasan perdagangan paruh bengkok. Mereka juga menggelar rapat koordinasi dan penandatanganan kesepakatan komitmen.

“Dari komitmen ini ke depan dibentuk satuan tugas yang akan bekerja bersama menangani perdagangan tumbuhan dan satwa liar,” katanya.

Sepanjang 2018 , BKSDA menangani 80 kasus peredaran tumbuhan satwa liar (TSL) terdiri dari 39 kasus penangkapan langsung, 21 temuan pengangkutan satwa ilegal ilegal (tak ada pelaku), dan 20 kali menerima penyerahan sukarela dari masyarakat maupun aparat keamanan. Jumlah satwa yang diselamatkan ada 1.402, dengan rincian 1.177 burung, 156 kepiting kenari, 32 yaki.

Kasus tahun lalu, tak semua berujung penindakan hukum, tetapi pendekatan dan pembinaan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat agar tak berdagang satwa ilegal. Ada sembilan kasus peredaran satwa ilegal proses hukum.

Pada penangkapan dan penjualan paruh bengkok dan satwa lain dalam 2019 di Maluku dan Maluku Utara, ada 649 jenis burung diamankan. Terdiri dari, perkici dagu merah 109, 210 nuri Maluku, 16 perkici pelangi, 29 nuri bayan, 25 nuri tanimbar, dan 18 nuri kalung ungu. Lalu, 19 kakatua Maluku, , 25 kakatua alba, 12 kakatua tanimbar, 120 kasturi Ternate 120 dan tiga kasturi tengkuk ungu.

Amin bilang, terjadi penurunan satwa yang berhasil diamankan pada 2019 dibandingkan 2018. Dia akui kendala utama karena wilayah kerja luas dan keterbukaan akses.

Dalam kasus perburuan dan penjualan paruh bengkok, katanya, karena harga cukup mahal, masyarakat tergiur dan terus menangkap.

BKSDA, katanya, akan terus meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, pemberdayaan, patroli, dan lain-lain. Penegakan hukum, katanya, juga perlu dan memutus rantai jaringan perdagangan.

Bagi masyarakat pecinta dan pemelihara burung, katanya, juga sosialisasi, baik melalui media agar sadar dan peduli satwa liar ini.

 

Nuri bayan yang sudah masuk kandang angkut milik BKSDA Ternate. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Nuri Ternate terbanyak diburu

Nuri Ternate (Lorius garrullus) atau chattering lorry adalah paruh bengkok paling diburu dalam beberapa tahun terakhir ini. Burung yang punya bulu merah hijau dan kuning diburu setidaknya 16.000-an lebih.

Burung Indonesia, organisasi non pemerintah yang concern soal burung dalam kajian pada 2012, menyebutkan, kepulauan di Malut mencakup Morotai, Halmahera, Ternate, Tidore, Kayoa, Bacan, Kasiruta, dan Obi , setidaknya ada sembilan kasus penangkapan dan perdagangan jenis paruh bengkok.

Dari kajian itu juga menyatakan, kasturi Ternate atau nuri Ternate jenis paling sering ditangkap (16.233), disusul kakatua putih (1.152), eclectus parrot (474), dan nuri kalung ungu(137).

Burung-burung itu sebagian besar ditangkap dari pesisir Halmahera bagian utara dan timur, dan Morotai.

Untuk jalur perdagangan, meliputi pasaran lokal eceran Ternate dan Tobelo, kota-kota besar di Indonesia seperti Manado, Surabaya, dan Jakarta, bahkan sampai Filipina.

Tobelo, Halmahera Utara jadi pintu ke luar paling penting dalam perdagangan paruh bengkok, menyusul Morotai dan Ternate.

Untuk pengiriman sampai ke Filipina, Desa Pelita di Halmahera Utara , Posi-posi di Morotai dan Jara-jara di Halmahera Timur merupakan lokasi- lokasi kunci.

Penyelundupan paruh bengkok ke Filipina ini diperkirakan masih terus terjadi sampai sekarang.

Benny Aladin, Biodiversity Officer Burung Indonesia mengatakan, berdasarkan kajian mereka 2018, antara Februari hingga Desember tahun itu diperoleh data, burung banyak ditangkap dari Halmahera Timur dan Halmahera Selatan.

Untuk Halmahera Selatan, wilayah paling banyak jadi sumber tangkapan seperti Gane, Pulau Obi.

Baru baru ini, ada ratusan paruh bengkok asal Maluku, Maluku utara, dan Papua disita di Filipina, dan dalam proses pengembalian ke lokasi asal.

Perburuan dan perdagangan paruh bengkok marak, katanya, karena pengawasan melah di pulau pulau terluar Maluku seperti Morotai, Obi, dan pulau kecil lainya. Pada 2019, khusus Halmahera Utara, pengawasan lebih ketat karena kolaborasi antar instansi seperti BKSDA, kepolisian, polair, dan kejaksaan.

Selain itu, di desa-desa dampingan Burung Indonesia di Maluku Utara, masih ada pembeli dan pemesan dari oknum aparat.

“Dalam kajian Burung Indonesia menemukan, pemburu yang memiliki langganan dari kalangan aparat merasa lebih aman dan memiliki kekuatan untuk terus berdagang paruh bengkok.”

DI Malut, katanya, juga banyak rumah dan kios memelihara paruh bengkok. Dia minta, pemerintah mendata pemilik paruh bengkok.

 

 

Kakatua putih lepas liar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Nuri Ternate, kembali hidup bebas di alam…Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version