Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Warga adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, hingga kini masih was-was karena kebun dan hutan adat mereka tak ada perlindungan negara. Izin kepada perusahaan perkebunan sawit keluar di atas lahan warga. Di berbagai daerah lain, baik di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan sampai Papua, kasus-kasus perampasan wilayah hidup warga masih terus terjadi.

Jerat hukum kepada mereka yang berjuang mempertahankan hak kelola lahan atau hutan juga terus berlanjut tahun ini, salah satu di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.

Pemerintah Joko Widodo, periode lalu dan kepemimpinan kedua, tetap menggadang-gadang reforma agraria dan perhutanan sosial sebagai salah satu program prioritas. Program ini bertujuan mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan hingga mengurai konflik agraria. Sayangnya, implementasi masih jauh panggang dari api.

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Di penghujung tahun, Komnas HAM merilis, konflik agraria terus meluas. ”Konflik agraria mencerminkan keadaan tak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidup dari tanah dan kekayaan alam. Potensi meluas dan massif,” kata Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM dalam Seminar Nasional Penyelesaian Konflik Pertanahan yang Ramah HAM, belum lama ini di Jakarta.

Ada lima kasus konflik agraria yang dicermati Komnas HAM dengan konflik tak tuntas, yakni, pertama, sengketa lahan Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Ada sekitar 500 keluarga dan 1.450 jiwa mendiami 363 hektar lahan sebagai petani, peternak sapi, pekebun dan nelayan. Mereka korban penetapan lokasi jadi Suaka Margasatwa Baluran pada 1937. Pada 1975, terbit izin PT Gunung Gumitir dalam kawasn Taman Nasional.

Kedua, sengketa lahan di lahan hak guna usaha PT Wira Karya Sakti, Batanghari, Jambi, ada 61 warga tersangka dari petani dan Suku Anak Dalam Jambi (versi Polda Jambi) atau 119 orang versi Pemerintah Kabupaten Batanghari.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Ketiga, kasus kematian 35 orang di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur, keempat, penolakan izin konsesi hutan tanaman industri di Siberut, Kepulauan Mentawai. Kelima, sengketa lahan Urut Sewu, Kebumen, Jawa tengah, yang memicu konflik berkepanjangan antara petani dan TNI AD.

Berdasarkan data Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, pengaduan masyarakat kepada komisi ini menunjukkan, konflik agraria jadi masalah mendasar dan penyelesaian mendesak . Luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada dalam kawasan hutan.

Konflik terjadi antara lain, sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), pertambangan, kehutanan dan lingkungan.

”Ada lebih 30% pengaduan masyarakat masuk ke Komnas HAM itu kasus terkait konflik pertanahan atau agraria sumber daya alam,” kata Taufan.

 

Spanduk menentut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, ada 1.162 pengaduan kasus ke Komnas HAM, 269 kasus atau 23,14% terkait konflik agraria. Dalam kurun 2018-April 2019 tercatat, 196 kasus konflik agraria di Indonesia ditangani Komnas HAM, kejadian terbesar di 29 provinsi.

Enam besar sebaran paling banyak, di Sumatera Utara (21 kasus sektor perkebunan), Jawa Barat (18 kasus sektor infrastruktur), Jakarta (14 kasus sektor infrastruktur dan BMN). Lalu, Jawa Timur (11 kasus sektor perkebunan), Jawa Tengah (10 kasus sektor perkebunan/kehutanan), Kalimantan Tengah (10 kasus sektor perkebunan/kehutanan), dan Riau (delapan kasus sektor perkebunan/kehutanan).

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Dia meyakini, masih banyak kasus tak mendapatkan advokasi dan belum diadukan ke Komnas HAM.”Dari sebaran konflik, paling banyak di Sumatera dan Jawa,” katanya.

Konflik agraria, katanya, masih terjadi dan potensial meningkat terus pada level nasional mengingat ada kebijakan investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur. “Kami tidak ingin memperdebatkan investasi dan hak asasi manusia, kita ingin mengawinkannya.”

Komnas HAM, sedang menyusun konsep penyelesaian konflik agraria berdasarkan aduan masyarakat dengan mencari resolusi konflik berperspektif hak asasi manusia. Komnas HAM juga mendorong dan memastikan semua kebijakan pemerintah berlandaskan prinsip HAM yang melindungi hak dan martabat kemanusiaan beserta seluruh hak sebagai warga negara.

 

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

Konflik belum selesai

Eko Cahyono, peneliti Sajogjo Institute mengatakan, laporan konflik agraria saat ini membuktikan, secara nyata penyelesaian konflik belum terjawab dengan kebijakan reforma agraria.

”Ada yang aneh dengan program reforma agraria digenjot tapi konflik agraria masih terus meningkat,” katanya.

Menurut dia, penyebabnya konsep kebijakan reforma agraria selama ini bukan reforma agraria sejati (genuine). Ia baru sebatas didominasi legalitas lahan dan sertifikasi, padahal tak menyelesaikan konflik, hanya membuat menjadi legal.

”Padahal, legalisasi aset itu juga tidak mampu memberikan penyelesaian konflik. Selama ini, banyak kasus kami teliti yang mendapatkan sertifikasi itu hanya di wilayah yang sudah aman. Orientasi pemerintah hanya mau menaikan agregat, berapa jumlah yang sudah diberikan.”

Reforma agraria sejati, katanya, memiliki mandat dalam restrukturisasi, pembongkaran ketimpangan penguasaan tanah, akses, dan distribusi kepemilikan.

”Kalau itu dijalankan, pasti akan terlihat rezim besar yang selama ini menyebabkan konflik.”

Dia bilang, kalau melihat trend, konflik agraria banyak pada sektor infrastruktur dan perkebunan. ”Pertanyaannya, reforma agraria menjawab itu atau tidak? Bagi kami, tidak (menjawab).”

Eko menyayangkan, kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak membahas konflik perkebunan misal, minimal memperkuat komitmen dalam penyelesaian konflik perkebunan, melalui moratorium sawit.

 

***

Data Komnas HAM, berdasarkan sektor, konflik agraria di Indonesia, menempati posisi tertinggi sektor perkebunan 53 kasus, diikuti 44 kasus infrastruktur, 41 kasus sektor Barang Milik Negara, 14 kasus sektor kehutanan dan 11 kasus pertambangan.

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, antara lain, pemerintah pusat, pemerintah daerah, tni, polri, lembaga peradilan, BUMD, BUMN, maupun swasta. “Paling besar korporasi,” kata Taufan, seraya bilang, sebanyak 74 kasus atau 38,54% dari 192 konflik.

Dia mengatakan, unsur-unsur kekerasan dalam konflik agraria ini perlu dicermati saat mencari penyelesaian.

Penyebab utama konflik agraria, katanya, antara lain pengakuan dan perlindungan minim atas hak entitas masyarakat, perampasan dan penyerobotan lahan sewenang-wenang, dan sengketa tapal batas. Juga, ketidakpastian dan diskriminasi hukum, di mana banyak masyarakat kecil tak terlalu mengetahui hukum hingga mudah kalah. Tak hanya itu, penyerapan aspirasi, partisipasi, sosialisasi kepada masyarakat dalam sebuah proyek atau investasi juga minim membuat masyarakat terpingirkan.

Soal transparansi, pengawasan dan koordinasi terkait penguasaan, pegelolaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.

Pada sektor perkebunan, pola konflik agraria antara lain, terjadi tumpang tindih lokasi, sengketa lahan, perusakan lingkungan, marjinalisasi masyarakat lokal atau masyarakat adat, keberatan nilai ganti rugi, pelibatan aparat, hingga kriminalisasi.

“Tumpang tindih terjadi tidak hanya pada izin, tata ruang dan lain-lain juga regulasi, tidak hanya menyelesaikan kasus per kasus juga review kebijakan lebih besar.”

 

Pondok orang Tobelo Dalam di Hutan Ake Jira. Masih ada beberapa keluarga hidup di dalam hutan, seperti tetua Ibu Tupa. Foto: AMAN Malut

 

Pada sektor infrastuktur, konflik agraria terkadi karena pengadaan tanah tak prosedural, pengambilalihan lahan sewenang-wenang, penggusuran, dan pencaplokan lahan warga. Kemudian, perintah pengosongan lahan dan permasalahan ganti rugi, tidak ada sama sekali, besaran/nilai tidak sesuai dan lain-lain.

Akar konflik agraria, katanya, terjadi karena paradigma pembangunan bertumpu pada ekstraksi dan eksploitasi sumber-sumber agraria. ”Perbedaan perspektif atas hak masyarakat di ruang hidup yang mau kita galakkan di lintas sektor dan jadi monitor dalam kebijakan nasional.”

Faktor lain, ada klaim hak milik negara (hutan negara, tanah negara, aset milik negara), ketiadaan payung hukum bagi penyelesaian akar konflik agraria struktural, dan pembangunan infrastruktur skala besar minim prinsip keadilan sosial dan kepekaan ekologis. Juga, belum ada kelembagaan otoritatif maupun lintas sektoral dalam penyelesaian konflik agraria.

”Kami kira yang membuat konflik agraria masih terus ada, karena ketiadaan strategi dalam pencegahan konflik sistemik, ketiadaan koreksi kebijakan dan izin yang salah, cacat dan korup.”

Dia bilang, pemerintah harus berani mengkaji ulang kebijakan atau aturan yang dinilai belum berlandaskan pada keadilan masyarakat.

Komnas HAM memiliki kesulitan dalam penguatan kelembagaan. Komisi ini banyak sekali menerima pengaduan. Mereka lakukan investigasi dan pantau, terakhir keluar rekomendasi. Berdasarkan UU 39/1999, rekomendasi Komnas HAM tak memiliki sanksi hukum.

”Ini yang saat ini kita diskusikan dengan pemerintah dan DPR, agar membuat para pihak memiliki kewajiban dalam mematuhi (rekomendasi itu).” Selain itu, juga berkaitan komitmen kementerian dan lembaga untuk memperhatikan prinsip-prinsip HAM.

 

Kawasan industri yang mulai dibangun. Foto: AMAN Malut

 

Kian terancam

Pengakuan dan perlindungan hak minim hingga masyarakat adat masih harus menghadapi berbagai masalah. Konflik agraria terus terjadi di wilayah-wilayah adat. Belum selesai masalah, kekhawatiran warga bertambah ditambah lagi dengan niatan pemerintah lakukan omnibus law (penyederhanaan hukum) demi kelancaran investasi.

”Kondisi masyarakat adat hari ini mengarungi badai investasi, seperti perahu yang bertolak ke tengah laut kemudian akan dihadang di tengah laut, karena kriminalisasi kepada masyarakat adat terus terjadi,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Catatan Akhir Tahun dengan tema ”Mengarungi Badai Investasi.”

Rukka mengatakan, Omnibus law ini bisa jadi aturan sapu jagad. Dia penasaran, apakah masyarakat selama ini dianggap menghambat investasi hingga mau ada omnibus law ini. “Omnibus law ini muncul di tengah konflik yang tidak terselesaikan.”

Sampai 2019 berakhir, Pemerintahan Joko Widodo, tak mampu menepati janji. Bahkan, ada kecenderungan pemerintah ini melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan komitmen maupun prinsip pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

AMAN menilai, aroma keberpihakan terhadap investasi makin menguat di tengah makin kaburnya komitmen pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Dia bilang, UU Masyarakat Adat belum ada, ada agenda perampasan wilayah adat tersembunyi di dalam RUU Pertanahan, tidak ada sikap serius pemerintah dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi soal hutan adat bukan hutan negara (MK35).

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA menyebutkan, pengakuan masyarakat adat masih setengah hati. Pengakuan pemerintah baru ada di lahan-lahan clean and clear. ”[Di lapangan] banyak terjadi tumpang tindih [wilayah adat] dengan perusahaan, dengan konsesi milik negara dan lain-lain,” katanya.

Seharusnya, melalui proses RUU Masyarakat Adat, strategi penyelesaian ini bisa jadi lebih strategis.

Berdasarkan data KPA 2015-2018, mencatat terjadi 1.769 konflik agraria melibatkan masyarakat adat, petani dan masyarakat pedesaan. Peningkatan ini mencapai 13-15% per tahun.

Ada sembilan lokasi teridentifikasi AMAN terkait investasi yang mengabaikan hak masyarakat adat, yakni, lima warga Dayak Limbai, Melawi, Kalimantan Barat, berkonflik dengan PT Bintang Permata Khatulistiwa, kriminalisasi masyarakat adat Matteko, Gowa, Sulawesi Selatan. Lalu, penangkapan dan kekerasan terhadap masyarakat adat Sihaporas karena dilarang menanam benih jagung di lahan adat yang masuk konsesi PT Toba Pulp Lestari.

Ada juga penangkapan warga adat Sakai, Bongku bin Jelodan karena mengolah tanah untuk menanam ubi dan tanaman penghidupan lain. Wilayah adatnya tumpang tindih dengan konsesi PT Arara Abadi. Juga, kasus pembangunan Waduk Lambo, Kecamatan Aesesa Selatan, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, perampasan wilayah adat Kinipan untuk perkebunan sawit.

Kemudian, perampasan wilayah adat untuk jadi peternakan sapi di Aru Selatan, Kepulauan Aru, Maluku, konflik Suku Tukan Hoken dengan PT Rero Lara Larantuka dan perampasan wilayah adat Tobelo Dalam, Maluku Utara.

 

Warga Sungai Tohor, yang sudah mendapatkan hak kelola pemerintah. Tiap pagi, Ridwan selalu melihat bibit tanaman dan kayu alam milik kelompok masyarakat. Bibit kayu alam ini akan ditanam pada Hutan Desa Sungai Tohor. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata pemerintah?

Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang menyatakan, capaian target reforma agraria Kementerian ATR/BPN sudah melampaui target, terutama dalam legalisasi aset mencapai 3,9 juta hektar, atau 15,8 juta bidang.

Untuk redistribusi aset, dari target 400.000 hektar, realisasi hingga 23 September 2019, mencapai 133,8% atau 535.291 hektar dengan 664.809 bidang tanah.

Berdasarkan data KATR/BPN, sengketa atau konflik sejak 2015/2019 sebanyak 9.124 kasus, 3.100 masih berproses, 1.958 kasus masih blank dan 3.179 kasus klaim sudah selesai.

Tahun ini, kata Surya, KATR menyelesaikan sengketa sebanyak 1.291 kasus atau 86% dari target 1.500 kasus. Total luas tanah bersengketa mencapai kurang lebih 20.102,971 hektar.

Surya mengatakan, dibandingkan legalisasi aset, redistribusi jadi tantangan, terutama dalam eksekusi redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan yang memiliki target 4,1 juta hektar. Adapun, realisasi pelepasan kawasan hutan hingga Desember 2018 seluas 1.001.454 hektar dan penerbitan sertifikat tahun 2018-2019 seluas 24.323 hektar atau sekitar 0,59%.

Sementara itu, realisasi inventarisasi melalui Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) yang diamanatkan dalam Perpres 88/2018 masih proses. Pada tahap I, di 74 kabupaten/kota seluas 110.882 hektar dan tahap II seluas 94.723,5 hektar.

”Kami masih kesulitan eksekusi karena BPN belum mendapat (data) tanah yang lengkap,” katanya.

Surya juga mengakui, tantangan dalam PPTKH ini kala pengalihan fungsi kawasan, redistribusi dari bekas kawasan hutan yang masih hutan atau bukan, ada pemukiman dan lain-lain. ”Concern KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) ini jangan sampai lingkungan itu rusak, kita pertemukan saja. Jadi, redistribusi dengan pendekatan tata ruang.”

Dalam upaya percepatan target reforma agraria, KATR/BPN akan membuat pilot project penyelesaian konflik di tujuh provinsi. Saat ini, KATR mendata provinsi mana yang akan jadi percontohan, terutama pada wilayah yang konflik tinggi.

”Kami akan membuat mechine delivery, yakni menghimpun, mengkonsolidasikan semua kekuatan ATR/BPN dari semua dirjen. Selama ini, kan mencar-mencar, padahal saling terkait kerjaannya.”

Sebelumnya, pada 2018, terbit Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria. Pada saat bersamaan, Konsorsium Pembaharuan Agraria pun menyerahkan Peta Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) kepada pemerintah.

Setahun berlalu, kata Surya, peta LPRA itu harus diperiksa terlebih dahulu apakah bisa masuk dalam program tanah obyek reforma agraria (Tora) atau tidak.

”Itu kan tidak bisa semua dimauin, apakah di situ masih ada hak atau tanah terlantar, banyak syaratnya. Perlu juga dicek koordinat. Karena ini mau memberikan hak milik, satu-satu kepada masyarakat, beda dengan perhutanan sosial, beda dengan kerjasama dengan BUMN.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun menekankan, perhutanan sosial sangat priotitas seperti mandat presiden.

”Pokoknya lima tahun ini masyarakat yang jadi perhatian pemerintah itu, terasa dampaknya dari pembangunan lingkungan dan kehutanan. Kita sepakat ini membangun ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,” katanya.

Program perhutanan sosial ini, kata Siti, mampu memberikan akses nyata untuk keadilan masyarakat. “Mereka bisa bekerja di kawasan hutan. itu perspektif masyarakat yang masuk di dalam kawasan hutan.”

Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK mengatakan, pemerintah terus berupaya percepatan perhutanan sosial. Mereka berkoordinasi dengan tim kelompok kerja di seluruh provinsi untuk menjemput bola dengan menyambangi desa yang ada hutan, tetapi belum berizin.

”Termasuk yang open access (kawasan hutan tetapi sudah terbuka).”

Sebelumnya, kata Bambang, target perhutanan sosial hingga 2019 mencapai 4,38 juta hektar. Realisasi sampai 17 Desember 2019, sekitar 3.877.079,49 hektar, dari luasan itu 925.505,08 hektar hutan adat termasuk masih wilayah indikatif hutan adat. Hutan adat sudah ditetapkan baru 24.624,34 hektar.

Untuk realisasi skema perhutanan sosial yang lain, yakni, 1.455.515,15 hektar hutan desa, 727.303,82 hektar hutan kemasyarakatan, 351.046,68 hektar hutan tanaman rakyat, dan 393.084,37 hektar kemitraan kehutanan. Ia terdiri dari 6.213 surat keputusan, meliputi 795.678 keluarga.

”Hingga 31 Desember, proyeksi kita mencapai 4,056 juta hektar. Sedang kita kerjakan,” kata Bambang, 30 Desember lalu.

Dalam upaya percepatan perhutanan sosial, katanya, KLHK akan menerbitkan peraturan menteri soal percepatan dan peningkatan kualitas perhutanan sosial. Rencananya, permen LHK ini terbit awal Januari. Kini, proses sudah disetujui Menteri LHK dan menunggu harmonisasi dari Kementerian Hukum dan HAM.

Bambang mengatakan, KLHK juga akan revisi Permen LHK Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Saat ini, katanya, masih tahap harmonisasi.

Nanti, permen ini akan mengatur penunjukan hutan adat berdasar produk hukum daerah terhadap subyek masyarakat dan wilayah adat. Setelah ada peraturan daerah, akan ditetapkan jadi hutan adat.

 

Keterangan foto utama:  Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version