Mongabay.co.id

Urusan King Kobra dan Kobra, Amir Hamidy Pakarnya

 

 

Kasus kematian akibat gigitan ular king kobra peliharaan terus terjadi.

Rendy Arga Yudha [18], menghembuskan napas terakhir, setelah empat hari dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Universitas Indonesia, Minggu [10/11/2019] Pukul 03.35 WIB.

Remaja asal Wonosobo ini sudah dua tahun ikut Bukdenya, berkediaman di RT 001/004 No. 42, Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Dikutip dari Info Depok, sebelumnya Rendi sempat dibawa ke RS Citra Medika Depok, lalu di rujuk ke RS UI pada Kamis [7/10/2019]. Atas permintaan keluarga, Rendi dimakamkan di Wonosobo.

Kejadian berawal Rabu [6/11/2019] pukul 08.00 WIB, ketika Rendy hendak memberi minum ular peliharaannya itu di kandang. Tiba-tiba, ular itu mematuknya. Dikutip Detikom, Rendy tidak langsung mencari pertolongan pertama, tapi hanya mengobati luka itu dengan mengolesi minyak angin. Ular ini nyatanya baru dipelihara Rendy sekitar seminggu yang dibeli online.

Dua jam berselang, Rendy merasakan kebas tangannya, hingga pada pukul 11.00 WIB dia tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit.

Di Kabupaten Bandung, HT [24], pemuda asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meninggal akibat dipatuk king kobra saat beratraksi di halaman Gedung Budaya Sabilulungan, Pemkab Bandung, Rabu [27/11/2019]. Berdasarkan informasi, ular tersebut adalah pinjaman, bukan milik korban.

Masih di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sebagaimana diberitakan Detikom, Syahril Sultan Nasir [14], remaja asal Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, meninggal akibat patukan king kobra peliharaannya, saat memandikannya, pertengahan Desember 2019.

Peristiwa serupa sebelumnya terjadi pada 12 Juli 2018, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Remaja 19 tahun bernama Rizky Ahmad juga meninggal dunia akibat dipatuk king kobra peliharaannya.

Baca: Nyawa Taruhannya, Kenapa King Kobra Dipelihara?

 

Amir Hamidy menunjukkan spesimen king kobra di laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi, LIPI Cibinong. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

King kobra [Ophiophagus hannah] merupakan spesies ular paling mematikan di Indonesia, selain viper [Viperidae] dan welang [Bungarus]. Pastinya, Indonesia belum memiliki serum antibisa king kobra.

Lalu kenapa king kobra dipelihara? Seberapa dahsyat racunnya? Dari mana ular ini didapat?

Mongabay Indonesia secara khusus mewawancarai Dr. Amir Hamidy, Peneliti Herpetologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], di ruang kerjanya di LIPI Cibinong, baru-baru ini.

Alam, bagi Amir, adalah laboratorium luar biasa dengan banyak aspek biologi yang harus diteliti. Selama menjadi peneliti, ia juga memiliki pengalaman mengesankan ketika tersesat sehari semalam saat survei di hutan hujan tropis, wilayah Sumatera.

“Saat jam 1 malam, terdengar auman harimau. Jam 3 menjelang pagi, giliran suara gajah yang terdengar membahana. Kalau kita tidak terbiasa menjelajah hutan suasana ini sangat menakutkan.”

Amir secara gamblang juga menjelaskan perbedaan king kobra dan kobra, sesama ular dengan venom mematikan. Termasuk juga, fenomena masuknya kobra ke rumah masyarakat di Pulau Jawa, akhir-akhir ini.

Baca: Ular Kobra Masuk Rumah Warga, Fenomena Apa?

 

 

 

Mongabay: Seberapa mengerikannya bisa [venom] king kobra?

Amir Hamidy: King kobra memiliki karakter bisa neurotoksin. Jika kita petakan ular berbisa, karakter ini secara umum ada dua: neurotoksin dan hemotoksin. Neurotoksin menyerang saraf pernapasan, sementara hemotoksin merusak sel darah merah.

Hemotoksin, masa inkubasinya agak lama sementara neurotoksin sangat cepat, hitungannya menit dan jam. Tentu saja neurotoksin sangat berbahaya. Neurotoksin membuat shut down pernapasan, artinya saraf pernapasan lumpuh, mengakibatkan korban patukan king kobra tidak bisa bernapas.

Harus diketahui, king kobra merupakan ular berbisa terpanjang di dunia, 5,8 – 6 meter, dan bisa mengangkat sepertiga ukuran tubuhnya, sekitar 2 meter. Volume bisanya untuk sekali gigit sangat besar, sekitar tujuh mililiter. Dapat membunuh seekor gajah, apalagi manusia.

Kenapa bisa begitu? King kobra sejatinya merupakan top predator yang memakan ular. Jadi, dia berevolusi, terspesifikasi makan ular. Ini mengapa nama latinnya Ophiopagus, artinya pemakan ular. Dalam evolusinya, ia dapat melumpuhkan mangsa dengan cepat, melalui racun dahsyatnya.

Jadi, memang ada korelasi kuat kandungan bisa king kobra dengan perjalanan evolusi hidupnya, termasuk juga pada mangsa dan perilakunya.

 

Sejumlah spesimen ular ditunjukkan Amir Hamidy di laboratorium Herpetologi, LIPI Cibinong. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Jelas-jelas sangat berbahaya, kenapa ada yang memelihara?

Amir Hamidy: Sejauh ini kita belum punya SOP keselamatan untuk memelihara hewan berbahaya. Negara lain yang impor king kobra, tidak bisa memilikinya atas nama perseorangan. Harus untuk kebun binatang atau lembaga konservasi.

Di Indonesia, aturan yang ada saat ini hanya masih pada status perlindungan, dan king kobra belum dilindungi. Ini kelemahannya, kenapa king kobra banyak beredar luas.

Kenapa orang cenderung memelihara? Mereka adalah orang spesial, yang mengerti dan senang ular, tentunya. Nah, King kobra dan kobra adalah dua jenis ular yang sering digunakan untuk atraksi. Pertunjukan menggunakan ular memang sudah sejak lama digunakan di India, Asia Timur, dan Indonesia.

Dua jenis ini kenapa yang sering digunakan? Karena, perilakunya bisa dibaca manusia, terutama kapan menyerang. Maka, yang dilakukan si pemelihara adalah selalu mendistraksi dengan gerakan juga, terutama agar mata king kobra mengikuti gerakan. Itulah kenapa ketika fokusnya pada gerakan, king kobra bisa dicium dari atas [kepalanya].

Atraksi ini sering dilakukan, untuk saling pamer sesama pemelihara king kobra. Narsis yang mengalahkan segala ketakutan bahwa jenis ini seolah tidak berbahaya.

Saya sering mengatakan kepada mereka [pemelihara], king kobra itu bukan untuk mainan, tidak ada antibisa, digigit bakal mati. Tapi, tetap saja susah.

 

Perilaku alamiah ular adalah bila bertemu manusia akan menghindar. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Berarti, belum ada antibisa king kobra di Indonesia?

Amir Hamidy: Di Indonesia memang belum ada. Baru Thailand yang memproduksi.

 

Mongabay: Dari mana para pemelihara mendapatkan king kobra?

Amir Hamidy: King kobra di Indonesia tersebar dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, hingga Sulawesi. Dengan wilayah persebarannya yang luas, mereka mendapatkannya dari lokasi-lokasi tersebut.

Ingat, pastinya memang ada pencari ular jenis ini dan mereka menjual kembali, melalui online juga ditawarkan. Pencari ular, tentu saja mendapatkannya dari alam, karena belum ada hasil penangkaran.

 

 

King kobra [Ophiophagus hannah], ular sangat berbahaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Mongabay: Apa perbedaan utama king kobra dan kobra?

Amir Hamidy: Secara awam, masyarakat menyebutnya sama-sama kobra. Akan tetapi secara marga dan morfologi, keduanya jelas berbeda.

King kobra marganya Ophiophagus sementara kobra marganya Naja yang panjangnya tidak lebih 2 meter [sering disebut ular sendok]. Tudung king kobra lebih melebar dan memanjang, kalau mau menyerang akan menaikkan tudung dahulu.

Perbedaan lain, kobra dapat menyemburkan racun [bisa mencapai 2 meter] dan mendesis, sementara king kobra tidak. Untuk persebaran, kobra hanya ada di Jawa [Naja sputatrix] dan Sumatera [Naja sumatrana].

Pastinya, perilaku alamiah ular adalah bila bertemu manusia akan menghindar.

 

Ular kobra yang juga agresif dan bisa menyemburkan racun hingga dua meter. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Mongabay: Bagaimana dengan fenomena kobra yang akhir-akhir ini masuk rumah masyarakat di Pulau Jawa?

Amir Hamidy: Kobra jawa menyukai habitat perbatasan hutan terbuka, savana, persawahan, dan pekarangan. Sang induk betina, sekali bertelur menghasilkan 10-20 butir.

Telur-telur itu menetas tiga hingga empat bulan, yang biasanya berada di lubang-lubang tanah atau di bawah serasah daun kering lembab. Hampir semua jenis ular, termasuk induk kobra pada periode tertentu, akan meninggalkan telur-telurnya, hingga menetas sendiri. Begitu telur menetas, anakan kobra otomatis menyebar.

Awal musim penghujan adalah waktu menetasnya telur. Fenomena ini memang wajar dan merupakan siklus alami.

 

Ular kobra yang dalam dua bulan terakhir ditemukan di rumah masyarakat di Pulau Jawa. Foto: Buku 107+ Ular Indonesia/Riza Marlon

 

 

Mongabay: Kedepannya, king kobra perlu perlindungan?

Amir Hamidy: Saya melihatnya iya, kenapa? Status king kobra saat ini Appendix II CITES [Convention on International Trade in Engdangered Spesies of Wild Flora and Fauna]. Artinya, secara internasional perdagangannya atau eksploitasinya sudah dievaluasi. Dianggap sebagai jenis terancam punah. Mengapa begitu?

King kobra merupakan top predator yang mempunyai fungsi sangat signifikan, mengontrol populasi ular-ular lain. King kobra adalah ular pemakan ular, paling suka ular jali dan python.

Secara ilmiah [biologi atau ekologi] top predator itu populasinya tidak banyak, tidak akan pernah meledak. Tingkat survivalnya juga rendah. Misal, dari 28-29 telur yang dihasilkan, yang menetas itu paling 1 ekor.

Tempat hidupnya di hutan tropis, pinggiran hutan, dan juga kebun sawit. Tidak ada di perkampungan. Beda dengan kobra yang bisa di rumah, sekitar sawah, dan populasinya dapat melimpah.

King kobra pun memiliki perilaku unik. Ketika ada betina yang sudah dikawini jantan, lalu ada jantan lain yang ingin mengawininya dan menolak, maka betina itu akan dibunuh. Beberapa kasus menunjukkan, kobra betina yang mati dalam kondisi bertelur. Ini semua perilaku alamiah yang membuat jenis ini dipastikan tidak akan banyak jumlahnya di alam liar.

Kita tahu, kuota tangkap king kobra untuk ekspor hanya 100 ekor setiap tahun. Seharusnya, yang boleh diambil di alam itu hanya 100 ekor. Kenyataannya, lebih dari itu. Pemelihara king kobra dan penghobi, dipastikan ilegal mendapatkannya, tidak termonitor. Ini tentunya akan meningkatkan eksploitasi.

 

 

 

Mongabay: Bila diusulkan dilindungi, artinya?

Amir Hamidy: Artinya, king kobra akan menjadi jenis satwa dilindungi, masuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dengan begitu posisinya sebagai top predator aman. King kobra itu satu-satunya ular di dunia yang membuat sarang dan menjaganya.

 

Mongabay: Aksi konservasi untuk king kobra, apa yang harus dilakukan?

Amir Hamidy: Bila kita petakan kondisi saat ini, ancaman kehidupan king kobra adalah rusaknya habitat, konflik dengan manusia yang cenderung membunuh, eksploitasi untuk diperdagangkan, maupun dipelihara dengan tujuan atraksi.

Rata-rata king kobra yang ditangkap adalah yang sudah besar, individu yang survive di alam. Padahal jumlahnya terbatas.

Untuk itu, aksi konservasi yang harus kita lakukan adalah kajian ilmiah untuk membuka kemungkinan jenis ini menjadi dilindungi. Tidak ada salahnya melindungi jenis ini, karena peredarannya lebih terpantau dan populasi alaminya berkembang sebagaimana mestinya.

 

Indonesia memiliki 77 jenis ular berbisa yang belum tentu saja tersedia semua antibisa di rumah sakit. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Pesan Anda untuk para pemelihara king kobra yang digunakan untuk atraksi?

Amir Hamidy: Pertama, sadar. Ketika Anda memelihara ular beracun mematikan, Anda harus siap menerima risiko terburuknya, kematian. Bila tergigit, harus tahu rumah sakit terdekat yang menyediakan antibisa.

Catat, Indonesia memiliki 77 jenis ular berbisa, belum tentu ada semua antibisa di rumah sakit. Setiap ular punya karakter tersendiri.

Kedua, harus tahu bagaimana penanganan pertama bila dipatuk. Berpikirlah jauh ke depan, jernih, jangan hanya sebatas kesenangan kalau pada akhirnya menyusahkan keluarga. Biaya pengobatannya sangat mahal.

Ketiga, kasihan juga ularnya. Ular cukup indah di alam, bukan di kandang!

 

 

Exit mobile version