Mongabay.co.id

Tortor Pangurason Batak Toba, Pesan Jaga Alam dan Hindari Bencana

Ulos Batak, cawan kaca putih diletakkan di atas kepala bagian dari kegiatan menari tor tor pangurason Suku Batak Toba. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Anak-anak perempuan keturunan Batak Toba Samosir, sore itu tengah berkumpul. Di bawah rumah panggung khas bangunan Batak Toba, terbuat dari kayu, mereka mulai menyelempangkan selendang ulos.

Perempuan ini ada tujuh orang. Enam orang berselempang kain berwarna merah di bagian pundak, dan satu perempuan berselempang kain putih panjang dari pundak hingga pinggang. Mangkok kaca putih berisi air, daun sirih, jeruk purut dan beras sudah mereka siapkan.

Hari itu, mereka akan menampilkan tarian tortor Pangurason. Pada Suku Batak Toba, tarian tortor ada empat, yaitu, tortor sigale-gale, cawan, tunggal panaluan, dan tortor pangurason.

Setiap tarian peninggalan leluhur Suku Batak ini memiliki makna dan arti sendiri. Tidak mudah untuk mempelajarinya, karena setiap individu harus memiliki keahlian seni untuk menguasai tarian tortor ini.

Di bagian lain, orang lalu lalang menuju ladang. Anak-anak berlari bersenda gurau dan bermain di pinggir danau. Di dekat mereka belasan kerbau tengah mengunyah rumput.

Desa itu bernama Desa Sarimarrihit, Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Di desa inilah anak-anak perempuan itu tinggal.

Desa Sarimarrihit, masih memegang teguh sejumlah peninggalan leluhur, bahkan sampai sekarang ritual masih berjalan, salah satu tarian tortor pangurason. Tarian ini biasa saat pesta besar termasuk pesta perkawinan.

Saya bertemu pelestari warisan leluhur Batak Toba, Aliman Tua Limbong. Dia Ketua Koordinator Seni dan Budaya Samosir. Kegiatan mereka antara lain melatih muda-mudi menari tortor.

 

Senja di Danau Toba diiringi samar gondang tortor pangurason. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Aliman menceritakan, soal tari tortor ini. Pertama, harian tortor mula-mula, kedua, tortor sembah,  berarti harus menghormati alam atau penghuni sekitar.

“Ini dengan pengertian orang Batak, bahwa hidup ada dua kunci, yaitu alam dan kehidupan manusia,” katanya.

Ketiga, tortor pangurason, berarti menguras wilayah. Pangurason ini menyucikan supaya menghindari mara bahaya, jauh bala bencana.

Konon, awal mula tortor pangurason ini, kata Aliman, dulu kala, sang raja bermimpi datang bencana alam nan dahsyat.

Raja lalu memanggil para ahli dan penasehat spiritual. Saran dari mereka untuk menghindari bencana alam, harus jalankan ritual dan memberikan sesajian kepada alam, sambil menari yang diberi nama tortor pangurason.

Setelah penyucian wilayah, penduduk damai, hasil panen pun berlimpah, masyarakat makin sejahtera.

Tarian ini, katanya, melibatkan laki-laki dan perempuan. Ada orangtua yang langsung memainkan, dan punya peran penting dalam ritual pangurason ini, terutama dalam membersihkan desa dari mara bahaya dan bencana alam.

“Nasehat melestarikan alam, menjaga dari kerusakan, bersahabat dengan alam jadi inti dan makna dari tortor pangurason ini,” katanya.

Selain tari tradisional Batak Toba ini, ada juga pemotongan hewan dan memberikan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia rezeki dan panen berlimpah dari ladang serta kebun.

“Artinya, pembersihan desa dari bencana alam melalui ritual dan berharap tidak ada bencana yang datang. Itu jadi kata kuncinya.”

 

 

Aliman bilang, yang menarikan tortor pangurason ini para remaja. Harapannya, mereka bisa menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur, menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjaga dan melestarikan alam agar tak datang bencana alam.

Komunitas tarian mereka sudah pertunjukan setidaknya lima kali di Jakarta. “Saat itu, masih hidup abang kami, Selamat Limbong. Kami sudah main di Taman Mini Indonesia Indah pada 2002.”

Dia berharap, ada partisipasi dan dukungan pemerintah dan negara-negara lain dalam memperkenalkan kebudayaan tanah Batak ini.

Nagoes Puratus Sinaga, pegiat budaya Batak Sianjur Mula-mula mengatakan, masih banyak hal perlu dilakukan dan dibenahi dalam menjaga budaya seperti tarian tortor pangurason ini.

Untuk itu, katanya, perlu dapat dukungan berbagai pihak. Gerakan budaya harus terus berjalan agar tidak tergerus budaya asing ke Tano Batak, apalagi turis asing banyak datang.

“Salah satu, kami mendirikan rumah belajar fokus pada pendidikan budaya peninggalan leluhur, yang melibatkan anak anak. Juga menggelar kegiatan budaya di Sanggar Budaya Sianjur Mula-mula. Ini untuk membantu pemerintah, karena Samosir merupakan salah satu destinasi pariwisata,”katanya.

Menurut dia, di Sianjur Mula-mula, banyak potensi, seperti gondang, tarian tortor, juga situs budaya, tetapi perlu tata kelola bagus berbasis budaya.

“Meskipun dikembangkan Dinas Pariwisata, kita sebagai masyarakat adat memberikan masukan kepada pemerintah ataupun swasta, untuk mengelola situs dan potensi budaya di Sianjur Mula-mula berbasis masyarakat adat.”

Dia bilang, sebagai pemuda adat akan terus menggalakkan pelestarian budaya. Apalagi, kebudayaan bisa bersinergi atau menunjang pariwisata.

“Budaya ini jadi basis utama,” kata pendiri rumah belajar Sianjur Mula-mula ini.

Di Sianjur Mula-mula, kata Sinaga, merupakan asal muasal orang Batak, hingga harus bisa jadi contoh atau teladan bagi kampung-kampung lain.

 

 

Keterangan foto utama:  Ulos Batak, cawan kaca putih diletakkan di atas kepala bagian dari kegiatan menari tor tor pangurason Suku Batak Toba. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Tanpa terompet ini tak lengkap rasanya alunan tarian tor tor pangurason budaya Batak Toba. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Menari tor tor pangurason dari Sianjur Mula-mula perlu serius. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version