Mongabay.co.id

Tahun Baru dan Kebun Pisang Terakhir Made Liu [3]

Kebun pisang batu di Dusun Selasih,Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali yang memberikan penghasilan bagi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Made Liu, petani perempuan Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, menawarkan pisang raja di rumahnya. “Ini pisang terakhir saya, untung bisa dipanen untuk Hari Saraswati,” senyumnya merekah menunjukkan wadah anyaman berisi sesajen buah yang dihaturkan usai perayaan turunnya Ilmu Pengetahuan itu, Minggu (8/12/2019).

Pisang ranum ini empuk dan segar karena matang di pohon. Pisang dominan yang dibudidayakan berjenis pisang batu karena daunnya tak mudah robek dan berdaun lebih lebat. Namun warga juga menanam jenis pisang lain untuk bahan pangan dan banten (sarana sembahyang).

Ribuan batang pisang di kebun Liu terlihat rebah ke tanah, dirobohkan alat berat. Tersisa beberapa batang di belakang rumahnya. Selain kebun, keluarga ini juga terancam kehilangan rumah yang sudah beberapa generasi ditempati.

Kebun pisang keluarga Liu masuk dalam kawasan yang diklaim milik PT Ubud Raya Duta Development (URDD). Puluhan keluarga yang tergabung dalam Serikat Petani Selasih (SPS) sedang memperjuangkan hak menggarap setelah perusahaan mulai meratakan kebun untuk pembangunan fasilitas wisata di area lebih dari 100 hektar. Lahan keluarga Liu disebut yang pertama kali diratakan alat berat, yang kata warga bakal diubah jadi lapangan golf.

baca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Lokasi dekat aliran sungai ini sebelumnya disebut sebagai titik helipad yang dibangun oleh investor sebagai tempat wisata di Desa Puhu, Gianyar, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Wayan Kariasa dan Liu bersama sekitar 30 KK yang lahan dan rumahnya masuk dalam kawasan yang diklaim PT URDD sedang ketar ketir tentang masa depannya. Apakah tahun baru 2020 ini mereka harus pindah rumah dan kehilangan lahan garapan?

Kariasa bersama lebih dari 70 orang warga jadi pengumpul daun pisang siap jual dari petani. “Hampir semua menjual langsung ke Denpasar, kami sering kekurangan buruh panen,” sebut pria yang kerap jadi juru bicara SPS di sejumlah forum mediasi ini.

Pertanian daun pisang makin bernilai ekonomi seiring maraknya kampanye pengurangan kemasan plastik. Sejumlah swalayan kini menggunakan daun untuk membungkus sayuran yang dijual. Selain itu, sehari-hari umat Hindu di Bali menggunakan daun untuk membuat sesajen.

Buruh panen mendapat upah tergantung keterampilan dan kecepatannya. Jika dari pagi mulai bekerja sampai sore hari, tiap buruh panen bisa mengantongi Rp80-120 ribu. Sementara itu satu gabung daun dijual Rp30-60 ribu tergantung persediaan di pasar dan lokasi pasarnya. Makin dekat area pariwisata dan perkotaan, makin mahal. Tiap petani memiliki langganan pengepul sesama warga Selasih dan desa sekitarnya juga. Sampai pasar bisa dibeli eceran oleh pembeli langsung atau distributor.

“Tahun 2000-an daun pisang booming. Semua dusun di Desa Puhu tanam pisang. Anak muda banyak pulang kampung pasca krisis moneter,” ingat Kariasa. Bertani daun pisang dinilai lebih mudah dibanding padi, bahkan mendapatkan hasil lebih rutin.

baca juga : Sentra Daun Pisang di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Made Liu, salah satu petani perempuan yang sudah kehilangan kebun pisang karena menjadi yang lahan pertama dibersihkan investor. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Made Liu bisa memanen tiap dua hari sekali dengan hasil sekitar 20-70 gabung. Jika panennya kurang, ia bisa membeli panen petani lain. Panen daunnya terakhir kali sekitar 5 bulan lalu, ketika PT URDD mulai pembersihan lahan.

“Kalau hilang kebunnya bagaimana? Rumah juga masuk kawasan perusahaan,” tanyanya. Dengan bercanda ia bilang tak lagi memikirkan mantu karena sudah tak ada yang bisa dipanen.

 Konflik lahan pertanian terjadi di Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Desa ini terkenal sebagai produsen daun pisang, komoditas bernilai tinggi di Bali. Lahan pertanian ini ditelantarkan oleh PT. URDD, perusahaan yang mendapat izin HGB sejak tahun 90-an, hingga menimbulkan gejolak sampai kini. Obyek konflik adalah lahan produktif dengan komoditas ekonomis seperti buah-buahan, daun pisang, dan padi. Konsorsium Pembaruan Agraria Bali dan warga mengajukan lahan pertanian tersebut sebagai Lokasi Prioritas Reformasi Agraria.

 

Pasca mediasi

Pasca mediasi antara Serikat Petani Selasih dan PT URDD Minggu (24/11/2019) oleh I Nyoman Parta anggota DPR dan Arya Wedakarna anggota DPD dari Bali, para petani masih gelisah.

Kesepakatannya berbunyi seluruh pura di tanah Hak Guna Bangunan (HGB) tetap dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Mengijinkan petani memanfaatkan tanah garapan di wilayah HGB sepanjang belum dibangun, dan memprioritaskan warga penggarap dan banjar Selasih menjadi tenaga kerja sesuai keahliannya. Jumlah lahan pekarangan menurut manajemen PT. URDD sebanyak 30, sementara menurut warga 32 di area lahan HGB perusahaan.

menarik dibaca : Ketika Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik Lahan Termasuk Dalam Konsesi

 

Kebun pisang yang subur Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali ini adalah potensi ekonomi besar bagi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Made Sudiantara, petani dan tokoh SPS yang pernah bersengketa dengan investor di pengadilan mengatakan petani kewalahan, karena sebagian besar tak punya bukti secara yuridis. “Ini tanah rabasan, sejak kakek buyut di zaman kerajaan merabas hutan, meluas jadi lahan pertanian. Saya generasi keempat. Setelah bisa menghasilkan, syaratnya bayar upeti di zaman kerajaan,” ingatnya.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya ada program land reform tapi proses peralihan tanah untuk rakyat ini tak merata. “Ada yang dapat SK redistribusi, ada yang tidak. Karena yang kerja land reform adalah orang puri, saat itu disebut pasedahan, jadi ada (SK) yang tidak nyampe,” Sudiantara memaparkan ikhwal konflik sesuai versinya.

Ia mengingat pada 1990-an, tanah di dusunnya dibilang tak produktif oleh calo, padahal isinya padi, cengkeh, durian, dan lainnya. Sampai kemudian krisis moneter pada 1998 dan ada krisis air, subak makin sulit mengairi sawah. Banyak perbaikan irigasi, lalu beralih fungsi jadi ladang pisang. Karena nadi perekonomian lebih lancar, warga tak kembali ke padi. “Pemeliharaan gampang, panen 15-30 hari, harga menjanjikan,” jelasnya. Tak hanya untuk petani, hasilnya juga dinikmati pemetik daun serta pengepul warga desa juga.

Menurutnya pisang sudah ada dari dulu tapi sedikit, dan jadi bahan sampingan untuk ternak. Setelah permintaan pasar meningkat, lalu dibudidayakan sampai kini.

Saat penguasaan tanah oleh investor mulai terjadi, sekitar 1994, Sudiantara melawan untuk mempertahankan tanahnya. Ia dituduh menguasai tanah tanpa hak. Bapaknya dihukum percobaan 3 bulan setelah mendapat advokasi dari aktivis lingkungan dan pengacara publik saat itu.

Saat ini anggota SPS sebanyak 52 KK, dan 32 KK di antaranya rumahnya masuk kawasan yang diklaim milik investor. “Tuntutannya Perpres, reforma agraria, dan PP tanah telantar. Saya tidak melawan investor,” urai Sudiantara dan Kariasa bergantian. Keduanya merasa petani serba salah karena tidak tahu peraturan.

 

Sejumlah Polwan berjaga di lokasi konflik Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pada 24 November. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Kesedihan sekaligus kemarahan juga terlihat di wajah Gede Nova, anak muda generasi kini petani Dusun Selasih. Ia hendak mempertahankan lahannya yang kurang satu hektar. “Masih berharap sama pemerintah. Saya harap Jokowi mendengar agar tak percuma buat Perpres,” harapnya.

Dari kejauhan ia melihat pergerakan alat berat yang sedang bekerja meratakan kebun di seberang sungai. Beberapa petani perempuan datang dan mereka terlibat dalam perbincangan emosional mengenai masa depan mereka. Salah satu yang dibahas, apa yang akan mereka lakukan untuk mencegah alat berat meratakan kebunnya.

Area sekitar tebing sungai terlihat indah dan meneduhkan. Juga memilukan, karena hamparan pohon pisang yang rebah di tanah.

Sebelum meninggalkan Dusun Selasih, saya menyempatkan membasuh wajah di sebuah sumber air. Airnya bening dan dingin. Sebuah pura kecil dibangun untuk menjaga sumber air yang juga dijadikan lokasi melasti (penyucian) dan pengambilan tirta untuk persembahyangan. Sumber air dan lahan pertanian kerap jadi pertarungan kapital di pulau dewata. Selasih adalah salah satu babaknya.

***

Keterangan foto utama :  Kebun pisang batu di Dusun Selasih,Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali yang memberikan penghasilan bagi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version