Mongabay.co.id

Merawat Aren, Alam Sehat, Ekonomi Warga Bergeliat

 

 

 

 

 

Minggu pagi, pada penghujung November lalu, Yuliana, keluar rumah berpakaian beda dari biasa. Mengenakan kebaya warna krem, wajah berbedak tipis. Berpadu dengan gincu merah terang.

Kaki beralas sandal, yang biasa keluar saat kondangan atau berkunjung ke kota. Hari-hari biasa, Yuliana mengenakan sarung atau rok yang sudah pudar. Tak berdandan.

Hari itu, Yuliana ingin  tampil istimewa. Walau sebagai pedagang tuak dia ingin tampak rapi. Kala itu, Pemerintah Desa Pusuk Lestari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar Festival Minum Tuak. Ada puluhan pedagang tuak di sepanjang jalur desa yang berbatasan dengan Lombok Utara ini.

Baca juga: Manisnya Gula Aren dari Merawat Hutan di Kerinci

Ada belasan pedagang tuak membuka lapak di Rest Area Pusuk Pas, hutan lindung yang terbelah jalur lintas Lombok Barat-Lombok Utara.

Para pedagang tuak bersukacita menyambut festival ini. Kawasan hutan tempat wisata itu kerap jadi lokasi beragam kegiatan. Para pejabat, wisatawan nusantara dan asing sering mampir sebelum meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Bangsal, jalur menuju Gili Trawangan.

Pusuk Pas jadi pintu masuk, sekaligus pintu keluar bagi pecinta dunia mountain bike. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membangun jalur untuk sepeda.

Setengah hari bersepeda, bisa istirahat di lapak-lapak pedagang tuak. Akhir bulan ini, wisatawan juga bisa menikmati buah-buahan hasil kebun dan hutan Pusuk Lestari seperti durian, nangka, kepundung, maupun rambutan.

Pada musim puncak durian, kawasan ini banyak pembeli. Mereka menikmati buah sambil menikmati suasana hutan. “Kami senang ramai seperti ini, saya sudak setok lebih banyak tuak,’’ kata Yuliana.

Panitia menyiapkan tiga gelas tuak gratis, termasuk ratusan botol bagi seluruh peserta festival yang berjudul “Pesona Pusuk Lestari” ini. Panitia juga menggelar pentas seni, motor trek, sepeda gunung, hiking, termasuk mengamati dan memberikan makan di Monkey Forest.

 

Petani aren di Desa Pringajurang Utara, Lombok Timur, mengolah nira aren menjadi gula cakep. Prosenya lebih cepat tetapi harga lebih murah. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Para peserta gratis minum tuak. Walaupun ada tuak gratis, Yuliana, tak khawatir jualan tak laku. Dia yakin lebih banyak orang akan singgah di lapaknya. Apalagi, dia juga menjual beberapa jajanan lokal, termasuk buah hasil kebun.

Pedagang tuak senang festival ini, termasuk dukungan penuh Pemerintah Lombok Barat. Sejak rilis dua pekan sebelumnya, festival ini memantik kontroversi karena tuak itu terlanjur melekat pada air nira (aren) yang sudah terfermentasi alias mengandung alkohol.

Desa-desa yang berbatasan dengan hutan di Kecamatan Gunungsari, Kecamatan Lingsar, Kecamatan Narmada, dikenal sebagai sentra aren. Beberapa desa dikenal sebagai sumber tuak (beralkohol) kerap jadi sasaran razia. “Kami ingin mengubah stigma itu,’’ kata Junaidi, Kepala Desa Pusuk Lestari.

Tuak manis dan tuak sudah mengandung alkohol sama-sama berasal dari air nira. Tetesan dari tangkai buah aren menghasilkan air manis yang disebut nira. Warga Pusuk Lestari, langsung menjual air nira yang masih manis itu. Masih segar. Mereka menyebut, tuak. Mereka juga mengolah jadi gula merah.

Di tempat lain, air nira itu terfermentasi. Sebutan tuak berkonotasi dengan minuman beralkohol. Akhirnya, para pedagang tuak menambahkan kata “manis” di produk mereka.

Nama tuak tanpa embel-embel manis (tuak manis) itulah yang ingin dilakukan Pemerintah Desa Pusuk Lestari. Desa yang di kelilingi kawasan hutan ini ingin mengenalkan ke publik bahwa seharusnya tuak itu dijual manis, alami, tanpa fermentasi.

Festival ini tak mau menambahkan kata “manis” hingga muncul pro kontra, walau satu sisi membantu promosi juga. Ribuan orang tumpah ruah di Pusuk Pas.

Warga Desa Pusuk Lestari, mendukung. Bahkan, anak muda desa ini kompak kenakan pakaian adat, tak sekadar para menyambut tamu.

Para petani pengambil air nira yang biasa hanya memakai celana pendek dan sarung, hari itu tampil dengan pakaian adat. Sambil memanggul bambu tempat menyimpan air nira, mereka menuangkan ke gelas-gelas bambu yang disediakan, termasuk para penonton yang membawa tumbler.

 

Tanaman aren tumbuh berbsama pepohonan lain, jadi tutupan terjaga di hutan maupun kebun masyarakat Desa Pusuk Lestari. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tanaman konservasi

Aren merupakan tanaman yang banyak dijumpai di pinggir hutan di Pusuk Lestari dan pinggir hutan di desa-desa yang berbatasan dengan Gunung Rinjani. Desa-desa di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara, dan Lombok Barat, pasti ada tanaman aren. Ia tumbuh liar di sepajang aliran sungai, di bibir tebing, dalam kebun, maupun kawasan hutan.

Bagi masyarakat di pinggir hutan, aren ini dijuluki pohon uang. Sepanjang tahun, uang bisa “dipetik” dari tanaman ini. Air nira adalah sumber uang terbesar dan bisa panen setiap hari. Aren tumbuh sehat, bisa hasilkan lima liter air nira, satu liter Rp5.000 jadi satu batang bisa Rp50.000 perhari.

Alhamdulillah, setiap hari bisa sampai 30 botol saya jual,’’ kata Yuliana, pedagang air nira.

Seluruh bagian tanaman aren menghasilkan uang. Buah aren kupas disebut kolangkaling, bisa jadi campuran es buah dan kolak nan lezat. Daun aren jadi bahan atap. Lidi bisa jadi sapu.

Ijuk juga bernilai tinggi. Di tengah geliat pariwisata di Lombok, ijuk jadi barang langka dan mahal untuk hiasan, tali, atap bangunan-bangunan yang mengusung konsep alam. Ketika mati pun aren masih bernilai. Kayu bisa jadi kayu bakar.

Manfaat ekonomi inilah, hingga aren jadi tanaman unggulan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Lombok Tengah dan Lombok Utara.

Surat keputusan Bupati Lombok Utara Nomor 192/2013 dan surat keputusan Bupati Lomnbok Tengah Nomor 5a/2013 tentang unggulan HHBK.

“Aspek penting aren ini juga nilai ekologisnya,’’ kata Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara.

 

Gula semut hasil olahan petani aren di Pusuk Lestari. Di beberapa gerai minimarket di Kota Mataram, sudah bisa dijumpai gula semut produksi para petani sekitar hutan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Aren tumbuh di lahan milik masyarakat maupun kawasan hutan secara alami. Penyebaran oleh binatang pemakan buah. Dalam riset WWF Nusa Tenggara, ada dua jenis aren tumbuh di hutan maupun lahan masyarakat. Pertama, aren ginjah, cepat berproduksi dan produktivitas tinggi tetapi umur pendek.

Kedua, aren dalam, lambat produksi, produktivitas lebih rendah tetapi usia sangat panjang.

“Secara ekologis, aren lokal atau aren dalam lebih tepat sebagai tanaman dalam hutan,’’ katanya.

Dibandingkan tanaman lain, aren merupakan tanaman konservasi. Berbeda dengan mahoni, sengon dan pohon lain ditebang pada masa tertentu, setelah itu ditanami tanaman semusim.

Aren cenderung sengaja dibiarkan. Mereka sadar, nilai ekonomis kayu aren tak bagus, lebih bagus menjaga untuk diambil air nira. Dengan begitu, secara tak langsung aren di kawasan hutan dan kebun kelestarian terjaga.

Ia terlihat di Desa Pusuk Lestari. Sepanjang aliran sungai, kebun, halaman belakang rumah, dan dalam hutan tumbuh lebat tanaman aren. Hampir tak pernah ada penebangan aren di kawasan hutan dan berganti tanaman semusim.

Justru, masyarakat menjaga aren itu. Mereka membersihkan sekitar tanaman agar tumbuh sehat, bila perlu memberikan pupuk.

Tak heran, kawasan hutan, kebun, bukit di Pusuk Lestari, begitu terjaga. Ini berbeda dengan bukit-bukit dan kawasan hutan di bagian selatan Lombok, pepohonan ditebang berganti jagung. Termasuk juga kawasan-kawasan di hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm) yang tak tumbuh aren ada yang beralih fungsi jadi kebun jagung dan kebun pisang.

 

Para pemuda di Desa Pusuk Lestari, membawa tabung bambu berisi tuak yang akan dibagikan ke peserta Festival Minum Tuak. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

***

Produksi aren dalam maupun ginjah berlangsung sepanjang tahun. Ada tiga jenis atau bentuk gula aren bertransformasi dari nira aren, yaitu, gula cakep, gula briket dan gula semut.

Sebagian besar pengolah gula aren, memproduksi gula cakep, karena dianggap pembuatan lebih mudah, pengerjaan bisa bersama dengan pekerjaan rumah tangga dan pasar lebih jelas walau harga jauh lebih murah gula briket maupun gula semut.

Kalau gula cakep harga Rp30.000 perkg, gula briket Rp45.000 dan gula semut Rp60.000 perkg.

Junaidi, Kepala Desa Pusuk Lestari bilang, sekarang pemerintah desa mengarahkan masyarakat membuat gula semut, harga lebih mahal dan bisa jual ke luar daerah. Gula semut juga bisa jadi oleh-oleh khas Pusuk Lestari.

Dalam hitungan WWF Nusa Tenggara dalam hasilkan sembilan kilogram gula cakep atau gula semut, perlu nira masing-masing 50 liter.

Untuk hasilkan sembilan kilogram gula semut perlu 70 liter nira. Harga nira aren di petani Rp2.500 per liter, setelah jadi gula cakep di pengolah atau pengepul Rp30.000 perkg dan Rp35.000 kg di pengecer. Kalau diolah jadi gula briket, harga pada pengolah atau pengepul Rp45.000 perkg dan pengecer Rp50.000 perkg.

Bila diolah jadi gula semut, nira aren Rp60.000 perkg di pengolah atau pengepul dan pengecer Rp70.000 perkg. “Petani kami dapat dampingan untuk mengolah gula semut. sekarang kualitas bagus, kemasan juga bagus, bisa masuk toko,’’ kata Junaidi.

 

Petani aren memanen buah aren (kolangkaling). Dengan menjaga aren berarti mereka juga menjaga hutan tetap lestari. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Exit mobile version