Mongabay.co.id

Begini Nasib Keramba Jaring Apung Waduk Cirata Ditengah Dilema Pencemaran

 

Di Waduk Cirata, dampak perubahan iklim dan pencemaran ditandai dengan ancaman kematian ikan budidaya di Keramba Jaring Apung (KJA). Pembudi daya pusing oleh fenomena itu. Mereka begadang di keramba berjaga hingga subuh untuk mempertahankan sepetak kolam ikan dengan untung tak seberapa.

Pagi itu, Iim Lukman masih duduk terpekur di keramba miliknya. Kakinya ditekuk, matanya menatap kolam. Sudah hampir sebulan lebih, pria 54 tahun itu was – was.

Bayang – bayang bakal mendulang rugi seperti panen kemarin kerap terngiang dipikirannya. Apalagi, idealnya waktu panen ikan sudah molor dari jadwal. Ia pun tak berani menabur pakan. Kalaupun nekad, sekitar 1.5 kuintal ikan dalam satu petak bisa mati keracunan.

“Beberapa tahun terakhir, cuaca dan kualitas air waduk sedang tidak baik. Suhu air tidak karuan,” katanya memandang langit mendung di blok KJA Kecamatan Cipeudeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (3/1/2020).

baca : 30 Tahun Waduk Cirata, Ditandai Penurunan Kualitas Air

 

Dua orang pembudi daya ikan keramba jaring apung di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Sesaat ponselnya berdering. Ia diberi tahu jika akan ada tamu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Iim lantas bergegas menuju saung yang sudah dimodifikasi menjadi tempat tinggal selama 20 tahun.

Tak lama, banyak perahu parkir mengelilingi 20 petak kolam terapung miliknya. Rupanya Menteri KKP Edhy Prabowo bersama rombongannya datang meninjau KJA di Waduk Cirata. Sebelumnya, Edy mengunjungi tempat pelelangan ikan (TPI) modern di Soreang Kabupaten Bandung.

“Saya mendengar adanya upaya pemulihan di Citarum. Itu bagus. Penataan lingkungan perlu, tapi juga aspek ekonomi penting. Maka saya ke lapangan untuk memastikan usaha budidaya masyarakat dapat terus berjalan,” kata Edhy

Edy mengaku sudah mengetahui tentang permasalahan di Waduk Cirata. Maka, ia ingin memastikan aktivitas budidaya tidak terganggu, mengingat jumlah KJA akan dibatasi sebagai salah satu upaya pemulihan lingkungan pada program Citarum Harum.

Waduk Cirata adalah salah satu dari tiga waduk yang memanfaatkan aliran Sungai Citarum. Waduk Cirata terletak di antara Waduk Saguling di hulu dan Waduk Jati Luhur di hilir Citarum. Sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini juga digunakan untuk Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA). Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi bagi 420.000 hektar lahan pertanian.

Buruknya kualitas Citarum akibat pencemaran yang sudah terjadi di hulu yakni limbah pertanian dan peternakan. Turun ke bawah, sungai tercemar limbah industri ditambah limbah rumah tangga.

Hal itu berimbas pada penurunan kuliatas air di waduk. Menurut Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Wawan Darmawan, yang ikut dalam rombongan KKP, kualitas air waduk yang memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik masuk kategori level 3 dan 4. “Pada kategori 3 dan 4 hanya bisa digunakan untuk pembangkit saja. Sekarang tidak bisa jadi air baku,” katanya.

baca : Terapkan Perikanan Berkelanjutan, Waduk Jatiluhur Bersihkan Praktik Keramba Jaring Apung

 

Petugas membersihkan eceng gondok di tepian Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jabar, pada pertengahan 2019 lalu. Menurut data Pembangkit Jawa Bali (PJB) Cirata, dampak polutan dalam air membuat persebaran eceng gondok meningkat pesat dan memakan biaya pembersihan mencapai Rp 3 – 5 milar/tahun. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Selain itu, pemanfaatan waduk yang berlebih untuk perikanan juga sangat mempengaruhi kualitas air. Ketentuan jumlah KJA sebanyak 12.000, di Waduk Cirata justru disesaki sekitar 93.000 petak keramba.

Menurut Wawan, budidaya ikan yang tak ditata jumlahnya juga menimbulkan masalah. Satu diantaranya adalah sisa pakan. Pakan tidak lantas semua dimakan oleh ikan, sisanya larut dalam air dan terkontaminasi dengan bahan kimia lainnya. “Setengah dari pakan ikan dominan menambah polutan air waduk,” ujarnya.

Iim mengamini jika kualitas air telah berubah. Keluhan itu disampaikan Iim kepada Menteri KKP. Menurutnya masa kejayaan petani ikan jaring apung meluntur seiring memburuknya kualitas air. Bahkan, ratusan jaring apung yang semula menjadi sumber uang masyarakat kini banyak sudah tak beroperasi.

“Ukuran ikan kadang tidak ideal sehingga harganya pun kerap berada dibawah pasaran pak,” keluh Iim. Biasanya satu petak rata-rata membutuhkan pakan ikan 1-1,5 ton setiap siklus budidaya selama 3-4 bulan. Namun, sekarang takaran itu sudah tak ideal lagi digunakan. Pasalnya, petani harus berkomporomi dengan waktu panen yang acapkali molor. Otomatis beban modal makin lebar.

Iim berhitung, modal 1 petak kolam dirinya mengeluarkan ongkos hingga Rp20 juta untuk biaya pakan dan benih ikan sebanyak 1 kuintal. Panen lalu, Iim mendapat sekitar 1 ton selama 5 bulan dengan harga jual Rp20 ribu/kg. “Ya kalau dihitung, rata-rata penghasilan Rp2 juta/bulan. Tapi itu belum dipotong pinjaman selama belum panen,” tuturnya.

Iim masih ingat, saat memulai usaha budidaya dirinya merasakan manisnya hasil KJA. Saat air di waduk masih berwarna biru bening. Sekarang, yang ada adalah warna hijau keruh. Ini terutama terlihat di sejumlah lokasi keramba.

Perubahan warna seperti setali tiga uang dengan nasib petani keramba yang temaram. Sebagai petani yang bermodal pas-pasan. Iim dibuat tak berdaya. Sekalipun pindah ke kolam di darat, sesuai anjuran pemerintah, ia pesimis tidak lebih baik dari berbudidaya di keramba.

perlu dibaca : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional

 

 

Menteri Perikanan dan Kelautan Edy Prabowo (tengah) saat meninjau lokasi budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (3/1/2020). Edhy berjanji membantu permasalahan pembudi daya KJA Waduk Cirata. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Alternatif

Sebetulnya, salah satu alternatif solusi memulihkan kondisi air sudah ditempuh dengan cara mengurangi KJA. Akan tetapi, penertiban di waduk seluas 6.334 hektar saat ini dihentikan sementara meski jumlahnya 8 kali melebihi daya dukung waduk. Alasannya, tengah dikaji ulang mengenai kapasitas daya dukung waduk untuk keberadaan KJA.

Menurut Wawan, kajian daya dukung sebelumnya mengacu pada Peraturan Gubernur No.21/2002. Lantaran dianggap sudah terlalu lama, daya dukung waduk tersebut kini dikaji ulang sesuai dengan kondisi saat ini.

Meski demikian, Wawan menuturkan, KJA bukanlah faktor utama pencemar waduk. Sebab, pencemaran utama terjadi akibat limbah industri yang dibuang ke Sungai Citarum yang kemudian mengalir ke Waduk Cirata. Pencemar utamanya memang limbah industri.

Edhy pun mendukung perihal penetapan batas kuota. Edy meminta aspek ekonomi sosial perlu juga dimasukan sebagai pertimbangan selain kajian dari aspek lingkungan.

Sebelumnya, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengeluarkan Surat Keputusan No.660.31/Kep.923-DKP/2019 tentang Jumlah KJA di Waduk Cirata, Waduk Saguling dan Waduk Jatiluhur yang memenuhi daya dukung lingkungan. Adapun jumlah kuota keramba di tiga waduk tersebut yaitu, untuk Waduk Cirata dari 32.000 unit menjadi 7.204 unit, Waduk Saguling dari 93.641 unit menjadi 3.282 unit, serta Waduk Jatiluhur dari 33.888 unit menjadi 11.306 unit.

Sedangkan Kepala Dinas Perikanan Jabar, Jafar Ismail, menjelaskan ketiga waduk yang teraliri Citarum memasok 60% kebutuhan ikan bagi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Di Cirata, perputaran uang dari aktivitas KJA tiap bulannya mencapai Rp10 miliar.

Soal kuota KJA yang ditetapkan pemerintah, ujar Jafar, itu merupakan hasil kajian bersama akademisi dan pihak terkait. Salah satu aspek yang jadi pertimbangan yakni biomassa air. Seandainya ada usulan ditambah tentulah perlu membikin lagi kajian baru.

Penertiban KJA, diakuinya, memang berpotensi menurunkan produksi ikan. Namun begitu, Jafar berpandangan pembatasan KJA bertujuan agar budidaya ikan dapat berkelanjutan dan menuai hasil baik.

baca juga : Tantangan Perikanan Budi daya sebagai Masa Depan Perikanan Dunia

 

Menteri Perikanan dan Kelautan Edy Prabowo (jongkok) meninjau lokasi budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jabar, Jumat (3/1/2020). Edy berencana meningkatkan produktifitas budidaya ikan KJA di waduk itu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Bantuan KKP

KKP sendiri telah menyiapkan sejumlah bantuan bagi pembudidaya KJA di Waduk Cirata untuk beralih metode budidaya guna mendukung program Citarum Harum.

“KKP siap menggelontorkan bantuan kepada pembudidaya melalui berbagai program bantuan seperti budidaya ikan sistem bioflok, bantuan alat berat (excavator), pakan mandiri, untuk pembudidaya yang siap untuk beralih metode budidaya tanpa meninggalkan profesi budidaya yang sudah menjadi keahlian masyarakat. Selain bantuan, kegiatan pendampingan metode dan teknologi oleh para penyuluh maupun unit pelaksana teknis KKP akan terus digalakkan untuk mendukung produksi ikan nasional,” kata Menteri Edhy Prabowo dalam rilis KKP.

Edhy mengkhawatirkan penertiban KJA yang dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat pembudidaya. Namun di lain pihak penertiban tetap harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

“Untuk itu kami perlu dilakukan kajian yang komperehensif terkait daya dukung dan keterhubungan penurunan kualitas waduk Cirata dengan aktifitas budidaya di KJA. Saya setuju untuk penertiban yang dilakukan dapat menyasar ke pengusaha dan KJA yang mangkrak terlebih dahulu, bukan menyasar ke KJA milik masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan berbudidaya ikan” tegasnya.

Dia menambahkan KKP berkomitmen mencari solusi permasalahan overkuota KJA dengan berkonsolidasi bersama pemerintah daerah, TNI/Polri, dan terutama dengan masyarakat sebagai stakeholder. “Kami mohon juga Pemda dan BPWC bersedia untuk menyiapkan lahan yang akan dibuat untuk usaha berbagai kegiatan budidaya dan pengolahan. Bisa untuk usaha pembesaran ikan, cacing sutera, pembenihan, pakan serta usaha budidaya ikan lainnya,” tambahnya.

 

Exit mobile version