- Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, curah hujan yang seharusnya turun selama satu bulan justru turun dalam satu hari karena perubahan iklim ini. Kondisi ini, karena ada perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim hingga keseimbangan alam terganggu.
- Doni Monardo, Kepala BNPB mengatakan, penyebab utama bencana banjir dan longsor karena alih fungsi hutan dan lahan. Dia bilang, hujan ekstrem dan banjir ini seharusnya dapat jadi peringatan bagi seluruh pemimpin daerah dan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang memerhatikan keseimbangan alam.
- Pada 3 Januari 2020, pemerintah mulai menerapkan teknologi modifikasi cuaca (cloud seeding) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk membuat curah hujan di Jabodetabek jadi mengecil. Upaya yang memiliki peluang keberhasilan 70-80% ini diharapkan dapat menurunkan potensi curah hujan hingga 30-40%.
- BMKG memprakirakan, curah hujan tinggi tidak hanya akan terjadi di Jabodetabek. Pasca 5-10 Januari 2020, arak-arakan aliran udara basah justru mengancam wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Seluruh masyarakat diminta waspada dan memerhatikan prakiraan BMKG.
Malam pergantian tahun di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Banten, serta beberapa daerah lain diiringi hujan lebat. Banjir dan longsor pun melanda Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, pada hari perdana tahun baru. Korban meninggal dunia dampak bencana banjir dan longsor di Jakarta, Banten dan Jawa Barat, sampai Sabtu (4/1/20), ada 60 orang. Potensi bencana masih membayangi Jabodetabek.
Banjir di Jakarta, ibu kota negara Indonesia ini sebenarnya bukan cerita baru. Bertahun-tahun Jakarta bertarung dengan genangan air yang datang dari hujan ataupun aliran air dari kota-kota sekitar. Hanya saja, eskalasi banjir makin meningkat setiap tahun.
Kalau melihat perbandingan curah hujan, awal 2020, tertinggi 377 mm perhari, pada 2015 tertinggi 277 mm perhari dan 100-150 mm perhari pada 2016.
Baca juga: BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, hujan punya siklus, hujan ekstrem biasa lima sampai 10 tahun sekali. Belakangan siklus ini memendek. “Jika, seharusnya hujan ekstrem terjadi periode 5-10 tahun sekali, sekarang justru kurang dari itu,” katanya dalam temu media operasi teknologi modifikasi cuaca di Jakarta, Jumat (4/1/20).
Stasiun Jakarta Observatory BMKG menganalisis, statistik ekstrem data series 150 tahun untuk perubahan risiko dan peluang curah hujan ekstrem, sebagaimana periode ulang kejadian 2014 dan 2015 di Jakarta menunjukkan peningkatan 23% bila dibandingkan kondisi iklim 100 tahun lalu.
Kondisi ini, kata Dwikorita, karena ada perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim hingga keseimbangan alam terganggu.
Menurut dia, curah hujan yang seharusnya turun selama satu bulan justru turun dalam satu hari karena perubahan iklim ini.
BMKG sendiri mencatat, terjadi kenaikan suhu di wilayah Indonesia selama 30 tahun terakhir. “Mulai dari 0,1 hingga 1,0 sekian derajat Celsius (kenaikan). Kayaknya kecil, tapi dampaknya bisa parah,” kata Dwikorita.
Baca juga : Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak
Ucapan Dwikorita diamini Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Dia beberapa kali menyebutkan kerusakan lingkungan jadi penyebab meningkatnya dampak bencana di Indonesia.
“Saya ditanya presiden ‘apa penyebab utama (bencana banjir dan longsor)?’ Yang pertama, alih fungsi lahan, dari kawasan hutan, tertutama kawasan konservasi, berubah jadi kawasan perkebunan, pertanian dan tambang,” katanya.
Doni bilang, hujan ekstrem dan banjir ini seharusnya dapat jadi peringatan bagi seluruh pemimpin daerah dan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang memerhatikan keseimbangan alam. “Jangan sampai kita mendapat pendapatan besar, tapi justru dampak kerugian jiwa juga besar,” katanya.
Memaksa hujan jatuh di luar Jabodetabek
Dengan ada prakiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan akan terjadi peningkatan curah hujan pada 5-10 Januari 2020, pemerintah berupaya cepat guna memimalisir dampak.
Pada 3 Januari 2020, pemerintah mulai menerapkan teknologi modifikasi cuaca (cloud seeding) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk membuat curah hujan di Jabodetabek jadi mengecil.
Secara teknis, upaya ini dengan cara menyemai garam (NHCL) pada awan yang berpotensi hujan agar turun sebelum mencapai Jabodetabek. “Tapi harus dipastikan dulu, bahwa awan yang akan disemai itu benar bergerak ke arah Jabodetabek,” kata Hammam Riza, Kepala BPPT.
Mengacu prakiraan BMKG, Indonesia akan disambangi aliran udara basah dari Timur Afrika yang berjalan sepanjang ekuator menuju Samudera Pasifik. Aliran udara basah itu akan masuk dari pantai barat Sumatera menuju Kalimantan dan akan menyenggol wilayah kepulauan Jawa melalui Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung.
Berdasarkan jalur itu, awan hujan akan coba dicegat di Selat Sunda dan Laut Jawa, hingga hujan dapat terdistribusi dan Jabodetabek, tidak mengalami hujan seekstrem 1 Januari lalu.
Untuk itu, katanya, penting agar kalkulasi data akurat, mulai dari bentukan awan hujan, hingga arah angin yang akan membawa awan hujan. Tim yang terlibat dalam hujan buatan ini, terdiri dari BPPT, BMKG, BNPB hingga TNI Angkatan Udara.
Untuk penaburan garam ini dengan mengerahkan pesawat jenis CASA 212-200 dan CN-295.
Tiap hari, akan dilakukan empat kali penerbangan (sorti) dengan perkiraan garam ditaburkan mencapai 6-8 ton. “Biasa kalau jumlah segitu kita tabur, dapat menghasilkan hujan sekian juta kubik,” kata Hammam.
Sampai siang 3 Januari, BPPT menyatakan telah tiga kali penerbangan dan terlihat curah hujan yang turun di Jabodetabek minim hingga sore dan keesokan hari.
Upaya yang memiliki peluang keberhasilan 70-80% ini diharapkan dapat menurunkan potensi curah hujan hingga 30-40%. Dengan demikian, kalau pada 1 Januari lalu curah hujan mencapai 377 mm perhari, estimasi jadi hanya sekitar 200 mm perhari, itupun masih tergolong tinggi, kata Hammam. Angka normal curah hujan lebat hanya berkisar 50 mm perhari.
Waspada Kalimantan dan Sulawesi
BMKG memprakirakan, curah hujan tinggi tidak hanya akan terjadi di Jabodetabek. Pasca 5-10 Januari 2020, arak-arakan aliran udara basah justru mengancam wilayah Kalimantan dan Sulawesi.
Dia meminta, seluruh masyarakat waspada dan memerhatikan prakiraan BMKG. “Prakiraan kami adalah peringatan dini. Kami tidak hanya memakai data satelit, juga didukung puluhan radar yang tersebar di seluruh Indonesia. Data-data itu dihitung secara matematis dan modeling dan diverifikasi dengan data lokal,” kata Dwikorita.
Dia menyebut, prakiraan BMKG memiliki ketepatan 80-85%. Namun, katanya, pihak-pihak terkait termasuk masyarakat kerap abai terhadap prakiraan BMKG hingga adaptasi terhadap bencana gagal.
Terkait banjir di Jakarta, dia menyebut sudah memberikan peringatan dini bersama dengan BNPB seminggu sebelum hujan ekstrem yang berujung banjir itu. “Terakhir bersama BNPB kami berikan peringatan dini pada 30 Desember. Ternyata mungkin dianggap kurang dahsyat dampaknya. Barangkali publik mengira ini hanya perkiraan, bukan prakiraan,” katanya.
Ke depan, kata Dwikorita, aliran udara basah yang terjadi pada 11-15 Januari akan masuk ke Kalimantan Barat, kemudian bergerak ke timur melalui Kalimantan bagian Selatan dan Timur.
Terakhir, sebelum masuk ke Samudera Pasifik, aliran udara basah ini akan mampir di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Selain itu, pada 20 Januari diperkirakan ada terobosan udara dingin yang masuk dari Laut Cina Selatan yang disebabkan pengaruh perbedaan tekanan udara dari Tiongkok, Tibet dan Hong Kong. “Jadi kami mohon untuk terus waspada, tanggal-tanggal itu akan ada peningkatan intensitas hujan di wilayah-wilayah yang kami sebutkan.”
Keterangan foto utama: Pemandangan banjir Jakarta, awal tahun lalu. Foto: BNPB