Mongabay.co.id

Kecintaan Wahyu pada Capung, Satwa Indikator Lingkungan

Wahyu Sigit Rahadi, ketua Indonesia Dragonfly Association di depan karya fotografinya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Bak judul lagu Kla Project, “Tak bisa ke lain hati,”  begitulah Wahyu Sigit Rahardi, Ketua Indonesia Dragonfly Society, mencintai capung. Dia akan mengikuti ke manapun capung terbang. Ke rawa, padang savana, pun lereng curam.

Dia akan menghampiri satwa ini dalam jarak hanya beberapa jari, sambil meyakinkan, dia bukanlah pengganggu, lalu klik. Gambar digital serangga menakjubkan itu pun akan tersimpan dalam kameranya.

Sepuluh tahun lalu, dia kerap membagikan hasil bidikan kepada murid-murid kelasnya. Kala itu, Wahyu masih sebagai guru SMA di Malang, yang akhirnya dia tinggalkan karena kecintaan pada capung.

Baca juga: Indonesia Dragonfly Society, Penjaga Capung Indonesia agar Lestari

Kini, Wahyu membagikan foto-foto capung untuk kelas lebih luas. Dia ingin lebih banyak orang mengerti capung, teman bermainnya sewaktu kecil di Temanggung. Kini, Wahyu tinggal di Yogyakarta.

Sebanyak 94 foto dia pamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, mulai 30 November hingga 8 Desember lalu. Pameran seni foto bertajuk Dragonfly: Pengetahuan dan Citra ini jadi semacam rekaman pendek akan kekayaan jenis capung Indonesia. Sekaligus catatan kecil untuk dedikasi dalam pengamatan odonata.

Kecintaan kepada capung jugalah yang membuat dia memutuskan menamai anaknya, Drepa. Nama itu dari capung jenis Drepanosticta spatulifera (bibitbuwit), kata Wahyu, yang kini susah dijumpai. Capung warna hitam kelam, selalu hadir di tempat yang masih sangat baik. Ada dalam lingkungan kanopi lebat, rawa berpacet, dan lembab.

Belum lama ini, saya berincang-bincang dengan Wahyu, seputar kecintaan dia terhadap capung. Berikut petikan wawancaranya.

Mengapa Anda terdorong fokus mengamati capung?

Ada dua layer saya rasa yang kemudian mempengaruhi. Pertama, adalah keisengan saya memotret di alam khusus capung. Ada respon, “foto-foto capungmu kok banyak sekali dan berbeda-beda.” Pertanyaan itulah yang mendorong saya ingin tahu ruang hidup capung lebih banyak, keragaman capung seperti apa.

Kedua, saya mulai mencari referensi. Saat itu, pada 2009, saya susah menemukan referensi berbahasa Indonesia terkait informasi capung. Saya hanya menemukan satu buku, bukunya Shanti Susanti Puslitbang Biologi LIPI, berjudul Mengenal Capung. Itupun belum bercerita banyak tentang diversity-nya.

Akhirnya tanya ke LIPI, tidak ada ahlinya. Ada Pudji Aswari yang sekarang sudah pensiun, saya ke sana karena beliau melakukan riset capung di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tapi menolak dianggap sebagai ahli capung. Beliau ahli serangga.

Saya kemudian menemukan banyak asosiasi capung di luar negeri, susah menemukan hal yang sama di Indonesia. Tidak ada. Saya menemukan British Dragonfly Society, Minnesota Dragonfly Society. Lho kok ada Worldwide Dragonfly Association, jadi ada asosiasinya di dunia.

Lalu saya kontak. Saat itu, yang menerima adalah Keith Wilson, adminnya. Saya direkomendasikan kontak Vincen J Kalkman, orang Belanda yang memang banyak studi capung di Indonesia.

Setelah lama kontak dengan Vincen, baca jurnal, baca riset-riset capung, disarankan untuk ketemu Rory A Dow, seorang peneliti yang bekerja untuk Netherland Centre for Biodiversity. Dia menguasai capung-capung Asia Tenggara.

Dari situasi seperti itu akhirnya saya otodidak mengenal dunia capung. Aktivitas harian, mingguan, untuk mengenal capung di relung-relung perairan itu saya jalani terus. Bersamaan dengan itu muncul informasi-informasi tambahan. Tidak cuma diversity-nya Indonesia itu kaya tetapi capung juga membawa manfaat di dunia pertanian. Juga untuk assessment lingkungan.

Jadi, jatuh cinta ke capung karena penasaran. Kemudian, ya sudah fokus saja. Dengan capung saya lalu coba ngomong persoalan lingkungan.

 

Capung pancing jawa. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Bisa cerita soal pengamatan Anda terhadap capung selama ini?

Hampir ke mana-mana, Papua belum. Saya menjalaninya kan sejak 2009 akhir. Ini sebagian koleksi keragaman yang saya punya. Fotografi itu kan sebagai media ketika saya melakukan survei khusus capung. Mendokumentasikan apa saja yang saya jumpai. Ya Sumatera, Kalimantan, Sumba, NTT, Jawa…

Menurut Anda, pulau mana yang punya banyak keragaman capung? Mana yang berkesan?

Papua disebut paling banyak. Kalimantan, nomor dua, Sumatera nomor tiga. Baru kemudian Wallacea. Yang paling berkesan ketika saya mengerjakan Sumba. Karena, kalau wilayahnya itu kan kalau bilang Sumba, savana. Jauh dari relung air. Ternyata, di Sumba banyak relung-relung perairan yang masih bagus. Hanya memang daya tempuh sangat jauh. Pernah saya jalan kaki dari desa terakhir ke titik yang mau saya survei sembilan malam baru sampai. Memakai poter kuda, orangnya jalan. Ada orang lokal juga.

Mengapa harus sejauh itu, apakah ada capung istimewa di sana?

Karena pada waktu itu saya diminta oleh taman nasional, untuk assessment capung yang ada di Sumba. Maka, saya butuh titik-titik perairan di mana saja yang harus saya kunjungi. Ada satu titik yang ternyata jauh sekali. Orang taman nasional belum ke situ.

Untuk memastikan menemukan jenis baru, misal, perlu berapa lama Anda melakukan pengamatan di satu tempat?

Nah itu, Sumba itu butuh waktu dua tahun. Kemarin di Sumatera Selatan, saya butuh satu setengah tahun. Karena ketika survei capung harus pada musim kemarau, hujan, pergantian musim kemarau ke hujan, hujan ke kemarau, itu harus ada. Rentang itu harus teramati.

Itu kaitan dengan pola kehidupan capung. Ada capung yang banyak di puncak musim kemarau, pas musim hujan tidak ada. Kebalikan juga ada. Juga ada capung yang muncul di pergantian musim. Maka saya harus survei di empat titik. Puncak kemarau, hujan, dan pergeseran hujan ke kemarau, atau sebaliknya.

Menurut pandangan Anda, apa keistimewaan capung Indonesia?

Indonesia sebagai negara tropis dengan dua musim, membuka kesempatan makhluk hidup hadir di dua musim itu, termasuk capung. Kalau keragaman, pasti kaya, seperti serangga-serangga lain juga begitu. Kenyataan, dari banyak bacaan, banyak referensi, keragaman di Indonesia itu nomor dua terbanyak setelah Brazil.

Bayangkan, di Inggris itu hanya ada 98 jenis capung. Sudah jadi buku atlasnya. Di Jawa, sampai 170. Padahal, keragaman Jawa masih kalah jauh dengan Papua. Kalah jauh dengan Kalimantan.

Buku atlas capung Indonesia, seperti apa?

Pernah, berhenti pada 1954. Lieftinck pernah jadi direktur Museum Zoologi Bogor, ternyata beliau juga ahli capung. Akhirnya, punya database capung Indonesia yang paling banyak di antara ahli yang lain. Ketika 1954 berhenti dan pulang ke Belanda dengan membawa beberapa spesimen. Sejak saat itu, tidak pernah ada riset-riset capung yang serius, bicara adu data.

Kemudan saya dan teman-teman berupaya meng-update, memposisikan lagi keragaman capung di Indonesia itu sebenarnya seperti apa, ada berapa. Setelah lama koma, tidur.

Jumlahnya bertambah dibanding data Lieftinck. Bukan berarti lingkungan makin baik ketika data makin banyak. Mungkin saja dulu belum terdata. Ini berdasarkan jurnal-jurnal terbaru, riset-riset terbaru, membandingkan dengan data-data museum tentang diversity.

Yang pasti landscape bumi ini makin memburuk, dan pasti ada dampak di setiap elemen hidup termasuk di dalamnya capung.

Ada informasi jenis yang hilang?

Ketika menelusuri beberapa catatan Lieftinck yang endemik sampai sekarang, saya sudah menemukan beberapa jenis. Teman-teman juga belum menemukan lagi beberapa jenis yang disebutkan Lieftinck.

Misal, drepanosticta, capung jarum itu endemisitas tinggi. Jawa punya, Sumatera ada, Kalimantan, punya sendiri. Di Jawa ini ada lima, Drepanosticta sundana, Drepanosticta gazella, Drepanosticta spatulifera, Drepanosticta bartelsi, dan Drepanosticta sibersi. Yang sebersi belum ketemu sampai sekarang. Itu salah satu contoh untuk kroscek data Lieftinck, ada beberapa yang belum kita temukan.

 

Dua anak mengamati foto karya Wahyu Sigit Rahadi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Padahal dalam ekosistem capung punya peran penting…

Ya. Kalau melihat ke foto sebelah sana itu (menunjuk ke salah satu deretan foto), saya mencoba menceritakan bagaimana keterkaitan capung dengan habitat. Sebelah kiri adalah capung-capung yang habitat di ruang terbuka. Sebelah kanan, capung-capung yang sangat tergantung habitat naungan. Ada kayu keras, vegetasi beragam, kualitas udara baik.

Capung-capung yang hidup di naungan sangat tergantung ada tidaknya naungan. Capung di naungan tidak akan pernah ketemu di ruang terbuka. Capung di ruang terbuka, bisa adaptasi di berbagai macam karakteristik habitat, baik tertutup maupun terbuka.

Sebenarnya, ketika ngomong capung jadi indikator atau assessment lingkungan itu baik atau tidak kita mengacu ke capung-capung yang hidup di naungan. Karena mereka sangat tergantung keragaman vegetasi, kualitas udara bagus, air yang baik. Jadi, tidak semua capung bisa dipakai untuk assessment lingkungan.

Kalau fungsi predator, pengendali keseimbangan lingkungan, serangga, hama, itu semua bisa. Capung di kelompok top predator serangga, ia pengendali serangga. Wereng, lalat, lalat buah, nyamuk, beberapa walang sangit juga dimakan, serangga pemakan daun yang kecil juga dimakan.

 Jadi rantai makanan di atas capung apa?

Robber fly. Begini masalahnya, robber fly selalu makan capung jarum. Tetapi robber fly juga akan dimakan oleh capung besar. Ketika memainkan fungsi ekologi di ruang pertanian, capung sangat efektif sebagai pengendali hama.

 Bagaimana ancaman kelestarian capung?

[Manusia] pasti. Bahkan di habitatnya. Perluasan-perluasan permukiman yang menghilangkan habitat capung, khusus di wilayah-wilayah perairan. Sampah juga berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan perairan. Padahal, larva capung itu sangat tergantung pada lingkungan yang masih baik. Karena hidup di perairan. Ia akan berkembang jika biota air sebagai sumber makanan tetap tersedia. Kalau lingkungan air tercemar, bagaimana bisa tumbuh sempurna.

Maka, teman-teman Ecoton Surabaya itu memasukkan capung jadi bagian dari assessment sungai, karena larva capung itu sangat sensitif terhadap kondisi perairan.

Anda lebih suka disebut apa, fotografer atau peneliti?

Pecinta capung saja. Soalnya, kalau ngomong tentang riset, teman-teman dari biologi dan pertanian lebih punya kompetensi yang pas.

Dalam mendokumentasi capung, lewat media film juga?

Sementara ini saya foto. Kalau video teman-teman yang saya ajak. Artinya, saya minta bantuan teman-teman yang memang bergerak di videography.

Apa keistimewaan satwa ini saat mencari pasangan?

Saya seringkali mencoba membangun value belajarlah setia pada pasangan. Pejantan capung itu selalu menunggui betina bertelur dengan cara tandem seperti itu. Menjaga dan menunggui. Ketika betina menenggelamkan diri untuk meletakkan telur, di permukaan air yang tampak adalah jantan. Perilaku itu akan menyelamatkan sang betina dari serangan predator dengan cara capung jantan mengorbankan dirinya.

 Jangan-jangan, anak zaman sekarang juga tidak tahu capung itu apa?

Ya itu. Pengalaman saya berinteraksi dengan anak-anak SD, membedakan belalang dengan capung ada yang tidak tahu. Menyebut capung kaki berapa, sayap berapa itu juga sudah mulai kesulitan.

 Harapan Anda terhadap kehidupan capung ke depan?

Saya itu sebenarnya ingin mendorong kesadaran, ayo perhatikan yang ada di lingkungan kita. Untuk membangun cita-cita kehidupan yang lebih baik tidak usah yang muluk-muluk, mulai yang ada di sekitar kita. Setiap keberadaan mahluk hidup ada fungsinya. Capung itu kan ada di ruang bermain kita, halaman kita.

Di bidang pertanian, mereka punya peran luar biasa tapi disepelekan, diremehkan. Saya hanya ingin membangun pemikiran itu.

 

Keterangan foto utama: Wahyu Sigit Rahadi, ketua Indonesia Dragonfly Association di depan karya fotografinya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Capung sambar garis hitam. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version